Connect with us

Opini

Sanksi: Senjata Sunyi yang Membunuh Setengah Juta Jiwa

Published

on

564.000 kematian setiap tahun. Bukan karena perang, bukan karena bencana alam, bukan pula karena wabah global. Angka setengah juta jiwa itu—kebanyakan balita—ditulis dengan tenang dalam jurnal ilmiah ternama, The Lancet Global Health, tanpa headline guntur, tanpa siaran darurat di layar kaca. Mereka tidak mati dalam kobaran api atau di bawah reruntuhan gedung, melainkan perlahan-lahan. Dalam sunyi. Di bawah tekanan ekonomi yang tidak tampak seperti senjata, tapi lebih mematikan dari peluru.

Sanksi ekonomi. Ya, itulah nama formal dari metode pembunuhan yang kini kian digemari oleh negara-negara maju. Senjata modern yang tak mengeluarkan suara, tak membuat korban bersimbah darah di hadapan kamera, dan yang paling menggoda: tidak membuat pengguna senjata ini perlu mempertanggungjawabkan apapun. Karena siapa yang bisa dihukum hanya karena tidak mengirim gandum? Atau karena memblokir akses obat malaria?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sanksi hari ini bukan lagi sekadar alat tekanan politik. Ia telah berevolusi menjadi senjata pemusnah massal paling elegan, paling beradab, dan paling kejam. Tidak perlu menduduki negeri orang. Tidak perlu memobilisasi pasukan. Cukup dengan menutup aliran uang, membekukan rekening, melarang transfer teknologi, dan—voilà!—satu negara bisa diremukkan dari dalam, perlahan, seperti tubuh yang membusuk karena tak diberi makan.

Amerika Serikat, tentu saja, adalah maestro dari seni membunuh tanpa menyentuh ini. Negara yang mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi, pelindung hak asasi, dan pembela umat manusia itu, ternyata sangat lihai menciptakan penderitaan massal hanya dengan tanda tangan. Tak perlu bom Hiroshima hari ini, cukup sanksi yang menyasar sektor keuangan, dan anak-anak akan tetap mati—tidak dalam sekejap, tapi cukup cepat untuk mengukir angka statistik kematian yang mengerikan.

Menurut studi para ekonom Francisco Rodriguez, Silvio Rendon, dan Mark Weisbrot, yang menganalisis data dari 152 negara selama satu dekade, sanksi menyumbang angka kematian yang setara dengan perang. Bahkan kadang lebih parah. Tapi karena korbannya tidak menjerit dalam liputan langsung, kita semua jadi lebih tenang. Satu negara hancur? Oh, itu cuma efek samping. Seperti batuk kering setelah vaksin. Biasa saja.

Ambil contoh Venezuela. Negara yang dulu dikenal sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar dunia ini, diluluhlantakkan oleh sanksi sejak 2017. Ekonominya kolaps 71 persen—ya, tujuh puluh satu persen. Tiga kali lebih dalam dari Depresi Besar di Amerika Serikat. Tapi siapa peduli? Kalau itu terjadi di New York, pasti sudah ada film dokumenter Netflix, buku-buku best seller, dan pidato emosional di PBB. Tapi ini Venezuela. Negara yang punya presiden yang tak disukai Washington. Maka kelaparan, kematian, dan eksodus jutaan warganya cukup dianggap sebagai collateral damage—kerusakan yang bisa ditoleransi.

Suriah? Lebih tragis. Negara itu sudah habis dilumat perang, lalu dihukum sanksi. Gaji tak cukup untuk membeli roti, listrik padam berhari-hari, obat tak tersedia, dan 90 persen rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Tapi Barat tetap teguh: “Kami hanya menargetkan rezim Assad.” Entah bagaimana mereka bisa membayangkan roket sanksi bisa menghindari rumah-rumah rakyat dan hanya menghantam kantor pemerintah. Padahal, bahkan di game Call of Duty pun tidak ada senjata seakurat itu.

Ironisnya, di mata para diplomat yang kerap tampil elegan di forum internasional, sanksi adalah “upaya damai”. Bayangkan, bagaimana bisa mengunci pintu dapur seseorang lalu menyebutnya bagian dari proses perdamaian? Mungkin logika ini hanya masuk akal di ruang rapat para pengatur dunia. Di lapangan, seorang anak balita yang meninggal karena diare dan tak mendapat cairan rehidrasi oral, tidak tahu apa itu embargo. Ia hanya tahu perutnya perih, mulutnya kering, dan ibunya menangis dalam diam.

Bagi sebagian kalangan, menyebut sanksi sebagai “senjata pemusnah massal” mungkin terdengar berlebihan. Tapi apa lagi yang bisa menjelaskan kematian massal tanpa pelaku yang diadili? Kita marah saat mendengar genosida, tapi tenang-tenang saja ketika kematian terjadi akibat sistem keuangan yang sengaja dikeraskan. Seolah-olah mematikan dengan kelaparan dan kemiskinan adalah cara yang lebih sopan daripada memotong leher seseorang di siang bolong.

Di Irak, pada 1990-an, UNICEF melaporkan bahwa lebih dari 500.000 anak-anak meninggal akibat sanksi. Setengah juta anak. Itu sebelum invasi militer dimulai. Tapi apakah ada yang mengutuknya sebagai kejahatan kemanusiaan? Tidak. Karena pembunuhnya bukan orang bersenjata, tapi sistem yang dirancang oleh negara-negara adikuasa dan disahkan oleh PBB. Dan sistem, seperti biasa, tidak bisa dipenjara.

Indonesia sendiri seharusnya lebih peka. Kita pernah merasakan pahitnya embargo militer. Kita tahu bagaimana satu keputusan di Washington bisa mengubah keseimbangan regional. Tapi entah mengapa, kita lebih suka diam ketika negara-negara lain dikebiri lewat jalur ekonomi. Kita belajar sejarah kolonialisme, tapi tidak sadar bahwa bentuk baru dari penjajahan kini datang lewat sanksi. Tanpa kapal perang, tanpa tentara. Hanya lewat dokumen, larangan ekspor, dan blokade keuangan.

Mungkin karena kita terlalu sering mengasosiasikan kekerasan dengan letupan suara. Jika tidak terdengar dentuman, kita mengira semuanya baik-baik saja. Padahal, di rumah sakit-rumah sakit Venezuela, di kamp-kamp pengungsi Suriah, atau di desa-desa miskin Iran, kematian hadir seperti kabut pagi: dingin, sunyi, dan tak bisa diusir dengan wacana moral.

Sanksi bukan hanya tak manusiawi—ia juga munafik. Sebab negara yang sama yang memberlakukan sanksi karena “pelanggaran HAM”, kerap kali bersahabat akrab dengan rezim yang lebih brutal asalkan sejalan secara geopolitik. Hak asasi, rupanya, hanya relevan bila sesuai dengan arah angin kepentingan.

Yang paling menyedihkan adalah bahwa sistem ini bekerja. Karena sanksi mematikan tanpa jejak darah, publik dunia mudah dilenakan. Tidak ada parade mayat. Tidak ada drama evakuasi. Hanya statistik yang terus naik. Dan karena angka-angka itu tak berteriak, maka kita pun tidak merasa perlu bersuara.

Kita hidup di dunia di mana kekejaman dinilai dari estetika kekacauannya. Jika tidak cukup visual, maka ia tidak cukup penting. Dan dalam dunia seperti itu, sanksi menjadi senjata ideal: ia kejam, tapi diam. Ia mematikan, tapi terkesan sah. Ia merenggut nyawa, tapi tak pernah masuk headline.

Mungkin sudah waktunya kita bertanya: berapa banyak nyawa harus melayang agar kita bisa mengakui bahwa “tindakan damai” ini sebenarnya hanya perang dengan wajah yang lebih halus?

Atau jangan-jangan kita sudah terlalu nyaman hidup di dunia di mana pembunuhan harus disponsori media agar dianggap serius?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer