Opini
Sanksi: Mantra Sakti Washington yang Mulai Serak

Sanksi. Kata yang diucap berulang-ulang dari podium-podium Washington, seolah menjadi mantra sakti yang mampu mengubah wajah dunia. Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, menyampaikan hal itu pekan ini—dengan nada yang setengah serius, setengah sinis—bahwa AS masih saja meyakini bisa menata ulang dunia dengan tarif dan pembatasan. Seperti seorang penyihir tua yang terus mengucap mantra lama di tengah zaman yang sudah berubah.
Tapi siapa yang bisa menyalahkan Washington? Selama lebih dari tujuh dekade, dunia memang tunduk. Satu kata dari Gedung Putih bisa membuat mata uang jatuh, perusahaan bangkrut, bahkan rezim runtuh. Sanksi menjadi tongkat sihir yang tak tertandingi: ia tak meledak seperti rudal, tapi menghancurkan lebih dalam dan lebih lama. Ia adalah kekerasan dengan wajah legal, tertulis dalam undang-undang, dibacakan dalam konferensi pers.
Namun seperti semua sihir dalam dongeng, mantra pun punya masa kedaluwarsa. Zakharova benar—bukan hanya dari sudut pandang Rusia, tapi dari perspektif siapa pun yang mengamati dunia hari ini. Ketika AS menjatuhkan sanksi demi sanksi, dunia tidak lagi diam atau patuh. Banyak yang justru tertawa kecil—atau paling tidak menghela napas, lalu mencari jalan memutar. Dari Moskow hingga Teheran, dari Caracas hingga Beijing, dunia menemukan celah di balik jaring sanksi. Beberapa menyebutnya “shadow fleet,” beberapa menyebutnya “alternate payment system.” Tapi semua pada dasarnya berkata hal yang sama: “Sihir itu sudah tak mempan lagi.”
Sanksi, hari ini, bukan lagi senjata pemusnah massal, tapi lebih seperti alarm mobil yang berbunyi setiap malam—berisik, mengganggu, tapi tak ada yang benar-benar peduli. Rusia, misalnya, justru menguatkan jejaring ekonomi alternatif sejak 2022. Minyak dijual ke India dan Tiongkok dengan diskon manis. Gandum dan pupuk mengalir ke Afrika dalam paket kerja sama. Proyek infrastruktur ditawarkan ke negara-negara Global South yang bosan dengan syarat-syarat pinjaman Barat yang penuh catatan kaki.
AS tentu saja tahu ini. Mereka punya analis, think-tank, lembaga intelijen. Tapi mengetahui bukan berarti mengakui. Dan mengakui bukan berarti mau mengubah. Sebab di balik kebijakan sanksi yang membabi buta itu, ada sesuatu yang lebih dalam—lebih eksistensial. Amerika tidak sedang mencoba menghukum Rusia, Tiongkok, atau Iran semata. Amerika sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dunia masih tunduk padanya.
Seperti seseorang yang kehilangan kendali di meja makan keluarga besar, Washington mengetuk-ngetuk garpu ke piring, meminta perhatian. Tapi dunia hari ini adalah keluarga besar yang sedang sibuk dengan ponsel masing-masing. Mereka mendengar, tapi tak mendengarkan.
Apakah itu menyedihkan? Sedikit. Tapi juga menyindir. Sebab kekuatan yang dahulu dikagumi karena inovasi dan kepemimpinan, kini terjebak dalam pola lama: kalau kamu tidak setuju, kamu akan disanksi. Tidak ada dialog, tidak ada kompromi, hanya mantra yang diulang-ulang—hingga menjadi serak, hingga kehilangan gema.
Lucunya, sanksi hari ini tidak hanya gagal melumpuhkan lawan, tapi juga mulai melukai teman. Negara-negara Eropa, yang ikut dalam rezim sanksi terhadap Rusia, kini membayar dengan krisis energi dan inflasi. Industri kecil merosot, harga bahan bakar melonjak, dan retorika solidaritas perlahan terdengar seperti beban. Di belakang layar, beberapa negara sahabat mulai bertanya: “Apakah kita masih harus ikut mantra ini?”
Lalu datanglah BRICS. Forum yang dahulu hanya dianggap kumpulan negara berkembang, kini menyusun diri menjadi blok politik alternatif. Mereka bicara soal de-dolarisasi, mata uang bersama, dan sistem pembayaran baru. Mereka mulai bicara dengan suara yang tak lagi ragu-ragu. Bahkan negara-negara di Asia Tenggara dan Afrika, yang dulu bersandar pada IMF dan Bank Dunia, kini melirik ke Timur, ke peluang baru yang tidak datang dengan catatan kecil di kaki halaman.
Dari sudut pandang Indonesia, ini semua terdengar seperti peluang sekaligus peringatan. Kita hidup di antara dua dunia: satu dunia lama yang masih ingin kita patuh, dan satu dunia baru yang menawarkan kemitraan tanpa terlalu banyak kuliah. Kita tahu AS adalah mitra lama, tapi kita juga tahu bahwa dunia tidak bisa terus diatur dari satu pusat. Apalagi pusat yang masih yakin bisa mengatur segalanya dengan sanksi.
Apa yang kita lihat hari ini adalah kegagalan Amerika untuk memahami perubahan. Sanksi bukan lagi instrumen keadilan, tapi refleksi kekuasaan yang panik. Mereka mengklaim menjaga hukum internasional, tapi sanksi yang mereka jatuhkan kerap tanpa legitimasi PBB. Mereka mengaku membela HAM, tapi menjatuhkan sanksi atas negara-negara yang berbeda pandangan politik, bahkan jika itu artinya jutaan rakyat sipil harus menderita.
Dan kita pun bertanya-tanya, sampai kapan mantra ini diucapkan? Sampai kapan dunia harus mendengar suara serak penyihir lama yang tak mau belajar sihir baru? Mungkin hingga dunia benar-benar berbalik, dan Washington sadar bahwa tongkat sihirnya hanya tinggal tongkat biasa—rapuh, retak, dan kehilangan kekuatan.
Tapi yang lebih menarik, mungkin, adalah bagaimana dunia kini belajar sihirnya sendiri. Iran dan Tiongkok membangun sistem keuangan bilateral. Rusia dan India berdagang dengan rupee dan rubel. Bahkan negara-negara kecil seperti Zimbabwe dan Ethiopia mulai mencari cara lepas dari cengkeraman dolar. Dunia sedang menulis mantra baru, dengan bahasa yang lebih beragam, dengan nada yang lebih setara.
Dan di tengah semua itu, Washington tetap berdiri di tengah panggung, mengangkat tongkat dan berteriak “Expelliarmus!”—hanya untuk menyadari bahwa tak ada yang terpental, tak ada yang takut. Bahkan penonton pun sudah berpindah ke pertunjukan lain.
Tulisan ini bukan untuk menertawakan Amerika. Tapi juga bukan untuk memujanya. Ini pengingat, bahwa kekuasaan tanpa refleksi akan menjadi parodi. Dan mantra yang diulang tanpa makna, lama-lama hanya menjadi gumaman kesepian dari masa lalu yang enggan pergi.