Opini
Sanksi AS ke Iran: Diplomasi atau Drama di Ujung Pedang?

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengumumkan sanksi terhadap warga Iran, Seyed Asadoollah Emamjomeh, dan jaringan pengiriman gas petroleum cairnya, dengan tuduhan mengekspor LPG dan minyak mentah senilai “ratusan juta dolar” ke pasar global. Sementara itu, di Muscat, Oman, para diplomat dari Washington dan Teheran duduk di meja tak kasat mata, bertukar kata-kata sopan dan catatan tertulis, pena mereka mencoret harapan untuk kesepakatan nuklir. Udara dipenuhi ironi: sanksi berhamburan bagai confetti, namun para negosiator bersulang untuk “kemajuan.” Selamat datang di teater megah diplomasi AS-Iran, tempat setiap jabat tangan disertai pukulan terselubung, dan panggung disiapkan untuk tarian di ujung pedang. Ini bukan sekadar negosiasi; ini adalah sandiwara berisiko tinggi, di mana kedua belah pihak memainkan peran dengan lihai, dan penonton—kita—menyaksikan, bertanya-tanya apakah tirai akan turun dengan damai atau kekacauan.
Dalam sirkus diplomatik ini, AS berperan sebagai pengatur acara, mencambuk dengan kebijakan “tekanan maksimum” penuh gaya. Sanksi terhadap Emamjomeh, diumumkan hanya beberapa hari sebelum pembicaraan Muscat, adalah langkah cerdik—layaknya penutup mata seorang penutup mata dalam drama sinetron. Dengan wajah serius, Departemen Luar Negeri menuduh Iran mendanai “tindakan destabilisasi” melalui ekspor minyak, seolah-olah $500 juta dari jaringan Emamjomeh adalah kunci ambisi Teheran. Lupakan fakta bahwa sanksi ini membuat harga minyak Brent melonjak 2% dalam semalam, mencubit dompet dari Jakarta hingga Johannesburg. AS bersikeras ini demi kebaikan bersama—menghentikan mimpi nuklir Iran dan dukungannya untuk kelompok seperti Hezbollah. Tapi, menjatuhkan sanksi pada pengiriman LPG seseorang saat negosiator Iran sedang berkemas ke Oman? Sulit untuk tidak melihatnya sebagai tusukan sengaja. Pesannya? “Kami bicara, tapi kami remas dulu.”
Iran, sebagai pihak yang selalu menantang, menjawab dengan naskah sendiri. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Esmaeil Baqaei, dengan nada layaknya penyair tersakiti, menyebut sanksi itu “ilegal” dan tindakan “intimidasi” yang mengkhianati ketidaktulusan Amerika. Dia tidak sepenuhnya salah. Negosiator Iran, dipimpin Abbas Araghchi yang tenang, tiba di Muscat mengharapkan diskusi serius tentang pencabutan sanksi demi konsesi nuklir. Yang mereka dapatkan? Rantai ekonomi baru. Kemarahan Baqaei mencerminkan kebenaran yang lebih dalam: bagi Iran, sanksi bukan sekadar kebijakan—itu adalah cekikan pada negara yang sudah megap-megap dengan inflasi mendekati 40%. Rakyat Iran, yang berjuang bertahan saat nilai rial anjlok, merasakan dampak sanksi ini jauh lebih keras daripada elit di Teheran. Namun, dalam komedi tragis, pemimpin Iran memanfaatkan penderitaan ini untuk menggalang dukungan, melukis AS sebagai penjahat abadi dalam epik revolusi mereka.
Pembicaraan Muscat sendiri adalah studi tentang ketahanan yang absurd. Meski sanksi menghujani, Araghchi dan utusan AS Steve Witkoff menghabiskan enam jam bertukar catatan melalui mediator Oman, lalu muncul menyatakan pembicaraan “serius” dan “produktif.” Araghchi, dengan pengendalian diri seorang veteran drama ini, mencatat bahwa para ahli teknis—pakar ekonomi dan segera ahli energi atom—tengah menyelami detail rumit untuk menggantikan JCPOA. Tim AS, di bawah arahan Michael Anton dan tatapan elang Marco Rubio, mengangguk, mengklaim “kemajuan lebih lanjut” menuju kesepakatan. Kemajuan? Saat sanksi berjatuhan bagai properti panggung? Ini seperti kedua belah pihak sepakat membangun jembatan sambil saling melempar batu ke pondasi masing-masing. Tuan rumah Oman, dipimpin Menteri Luar Negeri Badr al-Busaidi, layak mendapat tepuk tangan karena menjaga pertunjukan tetap berjalan, menyebut kedua pihak memiliki “aspirasi bersama” untuk kesepakatan berdasarkan “saling menghormati.” Saling menghormati, katanya, sambil sanksi mendarat seperti tamparan.
Mari kita tarik napas dan lihat peta yang lebih luas. AS, di bawah Trump yang kembali berkuasa, memainkan permainan ganda yang sudah akrab. Pada 2018, dia menghancurkan JCPOA, memicu Iran untuk mempercepat pengayaan uranium hingga 60%, hanya selangkah dari tingkat senjata. Kini, dengan sanksi baru ini, Trump seolah mengulang naskah lama, berharap tekanan akan memaksa Iran menyerah. Tapi sejarah berbisik: Iran tidak mudah dilipat. Pada 2022, saat pembicaraan Wina macet, Iran menanggapi sanksi dengan menambah sentrifugal canggih, mempercepat program nuklirnya sebagai kartu tawar. Data dari IAEA menunjukkan Iran kini memiliki cukup uranium untuk beberapa bom nuklir jika diolah lebih lanjut—leverage yang mengerikan. Jadi, mengapa AS berpikir sanksi lain akan membuat Teheran berlutut? Mungkin karena Trump, dalam wawancara Time, dengan santai berkata, “Saya pikir kita akan membuat kesepakatan dengan Iran,” sambil menambahkan ancaman perang jika gagal. Diplomasi dengan palu godam—klasik.
Iran, sementara itu, bukanlah aktor pasif dalam drama ini. Araghchi, dengan pengalaman puluhan tahun, tahu cara memainkan peran korban sekaligus penantang. Dia menegaskan pembicaraan hanya tentang “isu nuklir untuk pencabutan sanksi,” menolak menyentuh program rudal balistik yang dianggap AS dan Eropa sebagai ancaman. Ini bukan hanya prinsip; ini strategi. Iran tahu bahwa menyerah pada rudal atau stok uraniumnya—yang kini mencapai 5.000 kg menurut laporan IAEA—akan melemahkan posisinya. Jadi, mereka menawarkan konsesi kecil, seperti membatasi pengayaan, sambil menuntut AS mencabut semua sanksi, termasuk yang menargetkan IRGC. Ini seperti menawar di pasar: Iran menawarkan apel, tapi AS mau seluruh kebun. Dan di tengah semua ini, rakyat Iran membayar harganya, dengan harga bahan pokok naik 50% dalam setahun, menurut Bank Dunia.
Oman, sebagai sutradara bayangan, layak mendapat sorotan. Badr al-Busaidi, dengan kelembutan seorang diplomat ulung, berhasil menjaga AS dan Iran di meja yang sama, meski suasana dipenuhi curiga. Muscat, kota pelabuhan yang tenang, menjadi panggung sempurna untuk sandiwara ini, dengan Oman memainkan peran penutup celah yang sudah terbukti sejak 2015. Tapi bahkan Oman tidak bisa menyulap keajaiban jika kedua aktor utama terus melempar properti. Laporan menyebut putaran berikutnya dijadwalkan 3 Mei 2025—tanda bahwa pertunjukan belum usai. Tapi dengan sanksi baru, yang menurut Reuters meningkatkan ketegangan regional, apakah kita menuju klimaks damai atau ledakan dramatis?
Sekarang, mari kita bicara tentang penonton: dunia. Sanksi ini bukan hanya urusan AS-Iran. Kenaikan harga minyak memukul negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana harga BBM sudah jadi bahan keluhan sehari-hari. Tiongkok, pembeli besar minyak Iran, mungkin akan mencari pemasok lain, mengacaukannya rantai pasok global. Dan Eropa, yang mengusulkan pembatasan rudal Iran, menonton dengan napas tertahan, khawatir eskalasi nuklir akan mengacaukannya keamanan mereka. Sementara itu, Israel, yang tidak disebut dalam laporan tapi selalu mengintip dari sayap panggung, siap melancarkan serangan jika Iran melangkah terlalu jauh. Ini bukan drama dua pihak; ini opera geopolitik dengan terlalu banyak penyanyi.
Jadi, ke mana arah pertunjukan ini? AS ingin Iran menutup program nuklirnya, tapi sanksi seperti ini justru mendorong Teheran ke sudut, tempat mereka paling berbahaya. Iran ingin sanksi dicabut, tapi menolak kompromi yang melemahkan “garis merah” mereka. Kedua belah pihak, seperti aktor yang lupa dialog, bersikeras pada naskah masing-masing. Araghchi bilang perbedaan masih ada, baik pada isu besar maupun detail, dan “optimisme kami sangat hati-hati.” Hati-hati? Itu seperti bilang api unggun “agak hangat.” Trump, dengan ancamannya tentang perang, menambah bensin ke panggung yang sudah berbau asap. Dan Oman, dengan kesabaran suci, terus menyapu serpihan, berharap kedua bintang ini tidak membakar teater.
Inilah keindahan tragis diplomasi AS-Iran: semua tahu akhir yang diinginkan—kesepakatan yang menjaga perdamaian—tapi tidak ada yang mau menurunkan ego. Sanksi terhadap Emamjomeh hanyalah babak terbaru dalam drama panjang ini, sebuah plot twist yang membuat kita bertanya: apakah ini langkah cerdik atau kesalahan fatal? Saat putaran berikutnya mendekat, satu hal jelas: panggung ini belum akan gelap. Tapi apakah kita akan melihat tepuk tangan atau teriakan? Sayangnya, semua itu masih jadi teka-teki.
Daftar Sumber
- Breaking The News. (2025, April 22). US sanctions Iranian gas shipping network. Diakses dari https://breakingthenews.net/Article/US-sanctions-Iranian-gas-shipping-network/63955823
- The Cradle. (2025, April 26). Third round of Iran-US talks ends with both sides declaring progress made. Diakses dari https://thecradle.co/articles/third-round-of-iran-us-talks-ends-with-both-sides-declaring-progress-made
- Al Mayadeen. (2025, April 26). Araghchi: 3rd round of US-Iran talks ‘extremely serious, technical’. Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/araghchi–3rd-round-of-us-iran-talks–extremely-serious–tec
- Anadolu Agency. (2025). Iran sebut tawaran Trump akan direspons lewat saluran yang sesuai. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2025/03/18/iran-sebut-tawaran-trump-akan-direspons-lewat-saluran-yang-sesuai[](https://m.antaranews.com/amp/berita/4718177/iran-sebut-tawaran-trump-akan-direspons-lewat-saluran-yang-sesuai)
- International Atomic Energy Agency (IAEA). (2025). Reports on Iran’s nuclear programme and uranium enrichment levels. Diakses dari sumber resmi IAEA (data dirujuk melalui laporan media sekunder).
- (2025, April 20). Iran kejar kesepakatan komprehensif. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/internasional/2025/04/20/iran-kejar-kesepakatan-komprehensif[](https://www.kompas.id/artikel/iran-kejar-kesepakatan-komprehensif)
- (2025, April). Oil prices rise after US sanctions on Iranian LPG network. Diakses dari sumber berita terkait kenaikan harga minyak (dirujuk secara umum).
- World Bank. (2024). Iran economic overview: Inflation and cost of living. Diakses dari laporan resmi World Bank tentang kondisi ekonomi Iran.