Connect with us

Opini

Sandiwara Walk-Out di Pidato Prabowo di Panggung D-8

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Dalam panggung diplomasi internasional, pidato seorang pemimpin seharusnya menjadi momen refleksi dan ajakan untuk bergerak maju bersama. Namun, di tengah pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menggema di forum D-8 di Kairo, Mesir dengan seruan persatuan dan kekuatan kolektif, tiba-tiba beberapa kursi kosong mencuri perhatian. Ya, aksi walk-out yang videonya ramai tersebar di media itu, seperti sandiwara murahan yang lebih cocok untuk drama kelas bawah daripada forum terhormat negara-negara berkembang.

Apakah mereka tersinggung? Barangkali, tapi apa yang membuat tersinggung? Kalimat Prabowo yang lugas? Ajakan untuk bercermin pada kelemahan kolektif? Atau mungkin fakta bahwa kata-katanya menyentuh luka yang sudah lama dipendam tetapi tidak pernah disembuhkan?

Kita tahu, diplomasi bukan hanya soal kata-kata. Ini juga tentang simbol dan pesan. Ketika seseorang memilih meninggalkan ruangan saat pidato sedang berlangsung, pesan apa yang ingin mereka sampaikan? Apakah mereka merasa superior sehingga tak perlu mendengar masukan dari sesama anggota? Atau, ironisnya, apakah ini bentuk lain dari pengakuan atas kegagalan mereka sendiri?

Sementara sebagian besar delegasi mendengarkan dengan seksama, menghormati isi pidato yang menyerukan persatuan di tengah dunia yang semakin kompetitif, ada yang memilih keluar seolah-olah kata-kata itu terlalu berat untuk ditelan. Padahal, yang disampaikan bukanlah penghinaan, melainkan tantangan untuk bersama-sama bangkit dari keterpurukan.

Menariknya, Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, di laman media sosial justru memberikan apresiasi dengan menyebut pidato Prabowo sebagai “kebenaran yang pahit.” Ini menunjukkan bahwa ada pemimpin yang mampu menghadapi kenyataan tanpa defensif, yang memahami bahwa kritik tidak selalu berarti serangan, melainkan ajakan untuk bertindak lebih baik.

Namun, mereka yang walk-out tampaknya memilih jalan berbeda. Alih-alih menerima kebenaran pahit itu sebagai cambuk, mereka malah memutar punggung, meninggalkan panggung dengan ego terluka. Apa yang lebih memalukan dari itu? Bukan hanya tindakan mereka yang memalukan, tetapi juga implikasi dari pesan yang disampaikan: bahwa mereka tak ingin atau tak mampu menerima kritik.

Jika tindakan ini dilihat dari perspektif Indonesia, bukankah ini juga bisa dianggap sebagai penghinaan? Prabowo berbicara sebagai representasi negara kita, mengusung semangat kolektif demi kebaikan bersama. Ketika walk-out terjadi, mereka bukan hanya meninggalkan pidato seorang pejabat, melainkan menolak gagasan yang diusung Indonesia. Ini bukan sekadar aksi individual; ini adalah tamparan bagi kehormatan bangsa yang mencoba menawarkan visi kebersamaan.

Dampaknya tidak bisa diremehkan. Jika solidaritas yang menjadi inti dari D-8 mulai terkikis oleh egoisme semacam ini, masa depan organisasi itu bisa dipertanyakan. Apa gunanya forum seperti ini jika anggotanya lebih sibuk menonjolkan sikap individual daripada membangun kekuatan bersama? Ketika Prabowo berbicara tentang integrasi dan persatuan, ia bukan hanya berbicara untuk Indonesia, tetapi untuk semua negara anggota. Namun, jika pesan itu diabaikan, apakah itu berarti D-8 sudah kehilangan relevansi?

Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, aksi walk-out ini hanya menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Ajakan untuk maju bersama ditikam oleh egoisme yang memperlebar jurang. Dan jika ini terus dibiarkan, mungkin D-8 hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah: sebuah kelompok yang pernah ada, tetapi gagal bertahan karena anggotanya lebih sibuk dengan harga diri daripada visi kolektif.

Jadi, kepada mereka yang memilih walk-out, selamat atas pertunjukan dramanya. Dunia menyaksikan. Dan semoga, di panggung berikutnya, Anda menemukan keberanian untuk mendengarkan sebelum melangkah keluar.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *