Connect with us

Opini

Sandera Netanyahu, Bukan Hamas, Realitas Pahit

Published

on

Di tengah reruntuhan Gaza City yang masih berasap, kita melihat manusia—bukan robot atau pion—yang seharusnya aman di rumahnya, malah menjadi saksi bisu absurditas politik. Guy Gilboa-Dalal, seorang sandera Israel, muncul dalam video yang seakan berteriak langsung ke dunia: “Kami bukan korban Hamas, tapi korban pemerintah kami sendiri.” Bayangkan, 22 bulan terperangkap di antara tembok kehancuran, nyawa di ujung tanduk, sementara politik domestik dijadikan alat permainan kekuasaan. Sulit dibayangkan, tapi itulah kenyataan.

Dalal berbicara di antara reruntuhan, suara ledakan tidak pernah berhenti. Ia menyebut kekurangan pangan, air, listrik, bahkan gas, sambil mengingatkan bahwa dua juta warga Gaza ikut menanggung beban ini. Kita semua tahu betapa sulitnya hidup tanpa listrik sehari, bayangkan tanpa apa pun selama bertahun-tahun, di bawah ancaman bom yang datang setiap saat. Ini bukan sekadar krisis kemanusiaan; ini kegagalan moral global yang memalukan. Dan Dalal menempatkan diri di tengah absurditas itu, seolah mengatakan: “Lihat, inilah realitasnya. Ini manusia, bukan angka statistik.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang paling menohok adalah klaimnya: “Kami sandera Netanyahu, bukan Hamas.” Di permukaan, Hamas memang memegang kendali fisik. Namun Dalal menegaskan bahwa pembebasan mereka selalu tergantung keputusan Israel sendiri. Jika Hamas siap bernegosiasi, bahkan menawarkan kompromi yang masuk akal, Israel menolak. Pilihan yang tampak sederhana—menyelamatkan manusia—diubah menjadi alat politik. Sebuah ironi yang getir: nyawa manusia diperlakukan sebagai pion dalam permainan kekuasaan domestik, sementara masyarakat dunia menyaksikan tanpa mampu menekan lebih dari sekadar kecaman verbal.

Setiap invasi atau bombardemen di Gaza City, yang disebut Dalal sebagai “kematian,” adalah keputusan Israel. Pemerintah yang menolak perundingan, lebih memilih “menghancurkan Hamas” daripada menyelamatkan sandera, menempatkan rakyatnya sendiri dalam risiko ekstrem. Ini bukan sekadar kritik; ini pengakuan publik dari korban sendiri, bahwa kebijakan pemerintah menimbulkan kematian yang sebetulnya bisa dihindari. Mereka yang seharusnya melindungi justru menjadi penghalang. Ini tragedi moral yang jarang diungkap: ketika strategi politik mengalahkan kemanusiaan.

Dalal bahkan menyindir kehidupan putra pejabat Israel: “Sementara anak PM Netanyahu di Miami, kami di sini berjuang untuk sepotong roti dan Indomie.” Sindiran ini menyayat, menyoroti ketimpangan antara elit yang nyaman dan rakyat yang menderita. Kita semua pernah merasa diabaikan, tapi bagaimana rasanya nyawa kita dijadikan taruhan dalam permainan politik? Pahit. Sangat pahit. Ada satu kesadaran yang mendesak: bahwa ketika kepentingan politik mengalahkan rasa kemanusiaan, tragedi menjadi alat legitimasi.

Seruan Dalal kepada warga Israel untuk protes adalah bentuk desperasi yang penuh makna. Ia tahu bahwa suara rakyat bisa memaksa perubahan—bahwa tekanan domestik mungkin satu-satunya jalan menyelamatkan nyawa. Ironisnya, inilah satu-satunya jalur: bukan perundingan militer, bukan campur tangan internasional, tapi kesadaran kolektif masyarakat yang menekan pemerintah sendiri. Ini seperti orang yang berteriak di ruang kosong, berharap ada yang menanggapi, sementara ruang itu diisi oleh kebijakan keras dan ambisi politik yang dingin.

Kita juga tidak boleh melupakan konteks sejarah. Israel memiliki catatan panjang soal sandera dan pertukaran tahanan. Namun kali ini, pemerintah bersikeras menumpas Hamas meski risikonya sandera terbunuh. Ini bukan kebijakan perang biasa; ini strategi politik yang kejam tapi terselubung rapi di balik bahasa keamanan nasional. Dalal melihat ini dan menyuarakannya tanpa basa-basi. Kita bisa menyebutnya keberanian, atau keputusasaan yang dipaksakan oleh realitas.

Yang menarik, dimensi psikologis sandera. Bayangkan Anda berada di tengah ledakan, tanpa kepastian, mengetahui setiap langkah pemerintah bisa menjadi keputusan terakhir bagi hidup Anda. Dalal bukan hanya menyuarakan ketakutan; ia menuntut perhatian moral. Ada pesan yang jelas: ketika pemerintah mengutamakan agenda politik, nyawa manusia menjadi tawarannya. Ini pelajaran yang menyakitkan bagi kita semua: keputusan politik sering menimpa mereka yang paling tidak bersalah.

“Sandera Netanyahu, bukan Hamas,” adalah kritik reflektif terhadap ketidakadilan struktural. Ini mengingatkan kita bahwa konflik tidak hanya terjadi di medan perang, tapi juga di ruang rapat, parlemen, dan meja kepemimpinan. Dalal menghadirkan perspektif langsung: korban bukan sekadar warga sipil, tetapi korban prioritas politik yang salah arah. Setiap bom, setiap ledakan, adalah konsekuensi dari keputusan yang bisa dikontrol, tapi sengaja diabaikan.

Perlu juga dicatat: Hamas, meski menahan sandera, sebenarnya bersedia berunding. Ada bukti bahwa mereka siap melakukan pertukaran atau pembebasan sandera dengan syarat tertentu, seperti pencabutan blokade atau pembebasan tahanan Palestina. Namun Israel menolak. Pemerintah tampaknya lebih memilih menghancurkan Hamas daripada menyelamatkan sandera. Hasilnya? Dalal dan lainnya tetap terjebak, nyawa mereka dipertaruhkan di medan perang, bukan di meja negosiasi. Ironisnya, pihak yang menahan secara fisik bahkan lebih fleksibel daripada pihak yang seharusnya melindungi sandera itu sendiri.

Video Dalal juga menyoroti dampak luas bagi warga Gaza. Dua juta orang menanggung blokade, kekurangan hak dasar, dan serangan udara yang tak kenal ampun. Kesadaran publik Israel dan dunia tentang ini sangat penting, tapi tampaknya suara mereka teredam oleh narasi politik yang menekankan kemenangan militer ketimbang keselamatan manusia. Di sini muncul dilema moral: apakah kita bisa menilai pemerintah berdasarkan strategi atau berdasarkan rasa kemanusiaan yang dilindungi? Dalal jelas memilih jawaban yang tegas: nyawa manusia harus diutamakan.

Saya rasa kita semua harus merenung. Konflik ini bukan hanya soal Gaza atau Israel, tapi soal bagaimana manusia memperlakukan manusia lain ketika kekuasaan diutamakan. Dalal menegaskan: kesadaran, tekanan moral, dan keberanian publik mungkin satu-satunya jalan keluar dari absurditas ini. Dan ironinya, yang menahan nyawa mereka bukan senjata, bukan tentara, tapi keputusan politik yang dingin, jauh dari kepedulian manusia.

Satu hari nanti, ketika suara ledakan masih terdengar, Dalal berteriak bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang terjebak di persimpangan perang dan politik. Pesan itu sederhana tapi tajam: hidup manusia tidak boleh menjadi pion dalam permainan politik. Ironi terbesar? Mereka yang seharusnya melindungi justru menjadi penghalang. Sandera Netanyahu, memang. Sandera politik, tentu saja.

Kita bisa menutup refleksi ini dengan pertanyaan yang getir: jika satu sandera bisa berbicara tentang absurditas dan ketidakadilan politik, berapa banyak lagi yang menderita dalam diam? Dan kita, sebagai pengamat dari jauh, apakah cukup hanya menonton, atau sudah waktunya menuntut agar para pemimpin Israel bertanggung jawab atas nyawa manusia, bukan sekadar ambisi politik semu? Dalal telah memberi jawaban dalam suaranya: protes, tekanan moral, dan kesadaran publik adalah kunci untuk memutus rantai sandera politik ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer