Opini
Sakit Mental, “Hadiah” dari Kekejaman Israel di Medan Perang

Ada satu hal yang tak dapat disangkal dari peristiwa belakangan ini: Israel, yang dikenal dengan arsenal militernya yang serba canggih dan kekejamannya tanpa ampun, ternyata tidak kebal dari konsekuensi tindakan tidak manusiawinya sendiri. Sebuah laporan mengejutkan dari Yedioth Ahronoth mengungkapkan bahwa setidaknya enam tentara Israel telah bunuh diri dalam beberapa bulan terakhir akibat tekanan psikologis yang luar biasa. Tapi, jangan salah paham. Ini bukan hanya sekadar “kelelahan kerja.” Ini adalah hasil langsung dari brutalitas tanpa batas yang dilakukan terhadap rakyat Palestina dan Lebanon.
Mari kita bahas fakta-faktanya.
Menurut laporan, ribuan tentara Israel kini membutuhkan perawatan kesehatan mental. Bahkan, angka bunuh diri di kalangan mereka diperkirakan lebih tinggi dari yang tercatat secara resmi. Tentu saja, militer Israel belum bersedia membuka data sebenarnya. Mengapa? Mungkin mereka sibuk membuat laporan “kemenangan” dari kehancuran Gaza dan Lebanon, sambil mengabaikan kenyataan bahwa pasukan mereka sendiri mulai runtuh secara mental.
Ironisnya, mereka yang melakukan tindakan brutal ini justru menjadi korban dari tindakan mereka sendiri. Apa yang Anda harapkan ketika seorang tentara terlibat dalam tindakan seperti menabrakkan tank ke tubuh manusia, mengklaim bermain bola dengan kepala anak-anak Palestina, atau menghancurkan tempat tidur anak-anak sambil tertawa? Kekejaman semacam ini bukan hanya melukai korban, tetapi juga menghantui pelaku.
Bayangkan seorang tentara kembali ke rumah setelah bertugas, membawa pulang kenangan tentang rumah-rumah yang dihancurkan, bayi-bayi yang dibunuh, dan keluarga yang dihapus dari keberadaan mereka. Bagaimana mereka bisa tidur di malam hari? Tidak heran jika sekitar sepertiga dari mereka menunjukkan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Bahkan, jumlah trauma psikologis ini kini melebihi luka fisik yang mereka alami di medan perang.
Tentu, militer Israel memiliki departemen kesehatan mental. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Lucian Tatsa-Laur, kepala departemen tersebut, krisis mental ini baru akan terlihat jelas ketika operasi militer selesai. Jadi, seberapa buruk situasinya sekarang jika ini hanyalah awal dari mimpi buruk mereka?
Namun, mari kita jujur. Bahkan jika setiap tentara diberi akses terapi terbaik, tidak ada yang bisa menghapus rasa bersalah atas tindakan genosida, kekejaman seksual, dan penghancuran sistematis terhadap kehidupan manusia. Kekejaman tanpa batas ini telah menciptakan “medali kehormatan” baru bagi militer Israel: sakit mental yang tak tersembuhkan.
Dan inilah pelajaran yang perlu kita ambil. Perang tanpa moral bukanlah kemenangan; itu adalah kekalahan dalam bentuk paling tragis. Kekejaman yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina tidak hanya menghancurkan korban, tetapi juga menghancurkan pelaku. Brutalitas, ternyata, bukanlah jalan menuju kejayaan, melainkan tiket satu arah menuju kehancuran mental dan moral.
Jadi, jika Israel masih ingin memproklamirkan diri sebagai “kekuatan tak terkalahkan,” mungkin mereka perlu menambahkan catatan kecil di bawahnya: “Kecuali di dalam kepala tentara kami sendiri.”