Connect with us

Opini

Saat Teriakan Bob Vylan Lebih Mengguncang Inggris daripada Bom di Gaza

Published

on

Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan berekspresi kini bisa dijebloskan ke dalam kotak hitam yang diberi label “tindak kriminal.” Inggris—tempat Shakespeare menulis satire tentang raja-raja bebal dan penjilat istana—kini justru menjadi panggung aktual dari lakon yang lebih menggelikan. Seorang rapper berteriak “Death to the IDF” di atas panggung Glastonbury dan, voila, negeri yang katanya melindungi kebebasan berbicara justru memanggil detektif senior untuk menyelidiki. Rupanya, mengutuk pembantai bisa lebih berbahaya daripada membantai itu sendiri.

Bayangkan: satu teriakan di tengah lautan manusia yang larut dalam dentuman musik dan kemarahan nurani, mendadak memicu penyelidikan kriminal. Bukannya mempertanyakan kenapa IDF membombardir rumah sakit dan sekolah di Gaza, Inggris justru sibuk mencabut visa sang musisi dan menginterogasi niat di balik nyanyiannya. Inilah standar ganda paling canggih di abad ini—di satu sisi berkoar soal nilai-nilai kebebasan, tapi di sisi lain memborgol kata-kata yang berani menampar kenyataan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mereka menyebutnya “hate speech“, padahal siapa pun yang menyimak berita—kalau masih punya hati—tahu siapa yang menyemai kebencian di bumi Palestina. Ketika militer Israel menjatuhkan bom ke kamp pengungsi dan anak-anak meregang nyawa di antara puing, tidak ada detektif Inggris yang ditugaskan untuk menyelidiki “hate crime” tersebut. Tidak ada investigasi tentang senjata Inggris yang dikirim sebagai suku cadang pesawat tempur F-35 yang kemudian menghantam rumah warga sipil di Gaza. Tapi ketika seorang rapper berteriak dari lubuk hati tentang kematian yang nyata, Inggris justru bertingkah seolah nyawa IDF lebih penting daripada ribuan anak yang jadi angka statistik di laporan PBB.

Kita sedang menyaksikan transformasi Inggris dari “cradle of democracy” menjadi “cradle of hypocrisy.” Negara yang dulu dijadikan rujukan kebebasan pers, kini berubah menjadi kantor sensor raksasa yang siap mencoret siapa pun yang tak sejalan dengan doktrin luar negerinya. Bukan hanya musisi seperti Bob Vylan yang dicap berbahaya, tapi juga jurnalis seperti Richard Medhurst, yang dicegat enam polisi begitu keluar dari pesawat. Rupanya, membawa mikrofon kini lebih mencurigakan daripada membawa senapan.

Lucunya, alasan penahanan Richard Medhurst adalah karena ia kerap mengkritik kebijakan luar negeri Inggris dan AS. Oh, betapa sensitifnya telinga para penjaga demokrasi ini. Mengkritik genosida adalah “potensi teror,” tapi menjual senjata ke pelaku genosida adalah “hubungan dagang strategis.” Bukankah ini pementasan Orwellian terbaik dalam dua dekade terakhir? Di mana kebenaran adalah kebohongan, dan kebebasan adalah penjara.

Ironi pun memuncak ketika Palestina Action—sebuah kelompok advokasi anti-genosida—akan dijadikan organisasi teroris oleh pemerintah Inggris. Mereka menyebut aksi menyemprot cat merah di pesawat militer sebagai “kerusakan kriminal yang tidak dapat diterima.” Tapi mengirim komponen pesawat pembunuh ke zionis bukanlah kejahatan, melainkan urusan kebijakan luar negeri. Mungkin mereka pikir, darah yang mengucur di Gaza bukan urusan mereka, asalkan tidak ada cat yang mengotori bandara Inggris.

Dalam situasi ini, sangat layak kalau kita menyebut Inggris sedang menata ulang kamusnya. Di negeri ini, menyuarakan kemerdekaan Palestina adalah kejahatan, tapi menjadi supplier kematian adalah kehormatan. Bahkan bendera Hizbullah yang diangkat oleh rapper Irlandia Liam Óg Ó hAnnaidh dianggap “terorisme”—padahal Inggris sendiri punya sejarah panjang menjual senjata kepada rezim yang jauh lebih bengis dari Hizbullah. Satu panji perlawanan dianggap simbol kekerasan, sementara seragam resmi penjajah disebut “representasi pertahanan diri.”

Lebih memilukan lagi, kebanyakan rakyat Inggris—yang masih meyakini bahwa negara mereka adalah mercusuar moralitas dunia—tak sadar bahwa yang mereka saksikan sekarang bukanlah demokrasi, melainkan bentuk baru kolonialisme batin. Negeri itu pernah menjajah setengah dunia dengan kapal layar, sekarang menjajah hati nurani warganya dengan undang-undang anti-teror. Bahkan pikiran pun dilarang merdeka—apalagi jika pikiran itu berkata: “Stop bombing Gaza.”

Di Indonesia, kita terbiasa menyaksikan aparat menindak demonstrasi dengan alasan “tidak ada izin.” Tapi setidaknya, kita tahu itu datang dari negara berkembang yang masih belajar demokrasi. Inggris tidak bisa berdalih demikian. Negara itu telah ratusan tahun mengajari dunia tentang “freedom of speech,” tapi begitu kata-kata itu tak cocok dengan kepentingan luar negeri mereka, semua berubah jadi perkara pidana.

Jadi jangan heran jika suatu hari nanti, festival musik akan dilarang menyebut nama Palestina. Jangan kaget jika seorang penyair dihukum karena puisinya terlalu “anti-apartheid.” Dan jangan anggap mustahil bahwa, suatu saat, tangisan seorang anak Gaza pun akan dianggap sebagai bentuk “hasutan publik.” Ini bukan sekadar lelucon murahan—ini kenyataan absurd dari dunia yang sudah kehilangan arah.

Yang lebih menyakitkan adalah bahwa semua ini dilakukan atas nama “hukum.” Bahwa pasal-pasal itu, yang konon diciptakan untuk melindungi hak-hak sipil, kini justru menjadi borgol yang menjerat aktivisme nurani. Mereka menyebutnya penegakan hukum, padahal itu hanya cara lain untuk menjaga agar tak ada suara sumbang yang mengganggu simfoni kepalsuan.

Maka ketika Inggris menunjuk detektif senior untuk menyelidiki satu seruan dari panggung musik, kita patut bertanya: bukankah negeri ini punya masalah yang lebih besar dari sekadar teriakan seorang rapper? Tapi rupanya, yang lebih mengganggu dari bom yang dijatuhkan ke Gaza adalah kata-kata yang mampu membangkitkan kesadaran. Kata-kata, rupanya, jauh lebih mematikan bagi kekuasaan dibanding senjata.

Di akhir cerita, Inggris sepertinya lebih takut pada mikrofon daripada misil. Dan itulah paradoks terbesar dari sebuah bangsa yang dahulu pernah berkata, “The pen is mightier than the sword.” Kini, pena itu dianggap senjata teroris—jika ia menulis tentang Palestina.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer