Opini
Saat Tentara Israel Tak Lagi Percaya Perang

Laporan terbaru yang dirilis memperlihatkan sebuah kenyataan pahit di tubuh militer Israel. Sebuah survei yang dilakukan terhadap para tentara yang kembali dari Gaza menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka merasa tidak lagi mempercayai cara perang ini dijalankan. Mereka menggambarkan perasaan terasing, terjebak dalam operasi yang tanpa arah jelas, dan sebagian bahkan menyebutkan bahwa mereka melihat para pemimpin sibuk mengklaim kemenangan sementara kenyataan di lapangan justru jauh berbeda. Laporan itu menjadi cermin yang sulit untuk ditolak: ada krisis psikologis yang nyata di tubuh tentara Israel, krisis yang semakin lama semakin dalam.
Ketika sebuah angkatan bersenjata sudah mulai mempertanyakan makna dari peperangan yang mereka jalani, itu pertanda bahwa ada sesuatu yang mendasar yang runtuh. Moral bukan sekadar angka yang bisa ditakar lewat statistik, melainkan kekuatan tak kasatmata yang menentukan apakah sebuah pasukan mampu bertahan atau hancur dari dalam. Para tentara Israel yang diwawancarai dalam laporan tersebut menegaskan bahwa mereka merasa kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada strategi perang, melainkan pada kepemimpinan yang seharusnya memberikan arah. Mereka menyaksikan penderitaan warga sipil Gaza, menyadari bahwa operasi yang mereka jalankan lebih banyak menimbulkan korban di pihak yang tak berdaya ketimbang melawan kekuatan bersenjata sejati. Kesadaran inilah yang menimbulkan dilema moral, sesuatu yang kerap dihindari dalam wacana publik resmi Israel.
Di satu sisi, para pemimpin Israel terus mengumbar klaim kemenangan. Mereka bicara tentang keberhasilan menghantam infrastruktur lawan, melemahkan kemampuan perlawanan, dan menegaskan bahwa operasi masih berada dalam jalur yang benar. Tetapi, di sisi lain, tentara yang kembali dari garis depan justru menyampaikan cerita yang kontras: rasa frustrasi, kebingungan, dan trauma mendalam. Kontradiksi ini melahirkan jurang yang lebar antara narasi resmi negara dengan pengalaman nyata tentara di lapangan. Semakin sering jurang itu ditutup-tutupi dengan klaim sepihak, semakin besar pula kecurigaan dan ketidakpercayaan yang tumbuh di kalangan prajurit.
Kondisi ini tidak bisa dianggap remeh. Dalam sejarah militer, kehancuran moral pasukan sering kali menjadi faktor penentu runtuhnya kekuatan sebuah negara, bahkan lebih cepat daripada kekalahan di medan tempur. Ketika prajurit merasa bahwa perang yang mereka jalani hanyalah alat politik, bahwa mereka hanyalah pion dalam permainan elit, maka rasa rela berkorban akan hilang. Laporan itu jelas menunjukkan tanda-tanda ke arah sana: tentara yang kembali tidak lagi merasa bangga, sebagian merasa hampa, dan yang lain mulai terang-terangan menyalahkan para pemimpin. Bagi sebuah negara yang sangat mengandalkan kekuatan militer sebagai tulang punggung eksistensinya, ini adalah alarm keras.
Lebih jauh, ada dampak psikologis yang menumpuk. Setiap operasi di Gaza tidak hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga trauma mental yang berat bagi tentara. Mereka menghadapi pemandangan yang brutal: anak-anak yang menjadi korban, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan kehancuran yang tidak sejalan dengan narasi heroik yang dijual ke publik. Disonansi ini menggerogoti pikiran mereka. Di rumah, setelah kembali, mereka harus berhadapan dengan masyarakat yang dicekoki propaganda kemenangan, sementara di benak mereka tersimpan memori getir yang tak bisa dihapus. Benturan antara realitas dan propaganda inilah yang berbahaya, karena bisa menimbulkan alienasi mendalam di tubuh tentara itu sendiri.
Jika situasi ini dibiarkan berlanjut, maka dampaknya akan lebih luas daripada sekadar keluhan sesaat. Pertama, tentara yang kehilangan motivasi akan sulit menjalankan operasi dengan semangat penuh. Mereka mungkin patuh pada perintah, tetapi tanpa keyakinan yang utuh, efektivitas tempur mereka akan menurun. Kedua, ketidakpercayaan pada kepemimpinan bisa menular ke masyarakat sipil, terutama ketika semakin banyak cerita bocor dari mereka yang pernah bertugas di garis depan. Di era informasi yang serba cepat, menjaga narasi tunggal hampir mustahil. Apa yang disimpan sebagai rahasia bisa pecah ke publik dalam bentuk testimoni, kebocoran dokumen, atau bahkan gerakan penolakan terselubung. Ketiga, trauma yang tidak tertangani akan menumpuk menjadi masalah sosial: meningkatnya angka depresi, bunuh diri, hingga kekerasan domestik yang dilakukan oleh veteran perang.
Ke depan, jika perang ini tetap diteruskan tanpa perubahan arah yang jelas, maka krisis moral di tubuh tentara Israel akan semakin parah. Mereka akan menghadapi rotasi pasukan yang lebih cepat, sebab setiap prajurit yang kembali membawa beban psikologis berat. Angkatan bersenjata akan kesulitan merekrut prajurit baru dengan motivasi tinggi ketika cerita-cerita kegagalan moral semakin tersebar. Bahkan jika ada dorongan nasionalisme semu, benturan dengan kenyataan di Gaza akan segera mengikisnya. Negara mungkin bisa membeli persenjataan baru, membangun aliansi politik, dan menggelontorkan dana miliaran dolar untuk operasi militer, tetapi tidak ada yang bisa membeli kepercayaan seorang tentara yang sudah retak.
Inilah paradoks yang kini dihadapi Israel: di luar mereka ingin menampilkan citra sebagai pihak yang menang, tetapi di dalam mereka bergulat dengan kenyataan bahwa pasukan mereka sendiri mulai kehilangan keyakinan. Dalam jangka panjang, paradoks ini tidak mungkin dipertahankan. Cepat atau lambat, realitas akan menembus lapisan propaganda. Dan saat itu tiba, bukan hanya tentara yang runtuh moralnya, tetapi juga kepercayaan masyarakat pada negara yang selama ini mengandalkan mitos superioritas militer sebagai landasan legitimasi.
Dengan demikian, laporan yang dirilis bukan sekadar catatan teknis, melainkan alarm yang menandakan perubahan besar di tubuh militer Israel. Tentara yang tak lagi percaya perang bukan hanya masalah disiplin, melainkan krisis eksistensial. Dan jika perang tetap diteruskan dalam kondisi ini, maka kehancuran dari dalam bisa jadi lebih mematikan ketimbang serangan dari luar.
Pingback: Makna Tersembunyi Laporan Militer Zionis 2025