Opini
Saat Pintu Mesir Terbuka untuk Israel, Tapi Tertutup untuk Gaza

Pada saat ribuan warga Israel melarikan diri dari gempuran rudal Iran, Mesir membuka pintunya lebar-lebar. Melalui perbatasan Taba, mereka mengalir masuk ke wilayah Sinai, sebagian melanjutkan perjalanan ke Sharm el-Sheikh untuk mencari penerbangan keluar negeri, sebagian lainnya menetap sementara di hotel-hotel yang tiba-tiba disulap menjadi tempat pengungsian dadakan. Tentara Mesir disiagakan, keamanan diperketat, dan jalur-jalur logistik dibuka demi memastikan mereka bisa lewat dengan aman dan nyaman. Negeri itu memberi mereka jalan, bahkan perlindungan, tanpa banyak tanya, tanpa banyak syarat.
Sementara itu, hanya beberapa hari sebelumnya, ribuan aktivis dari berbagai penjuru dunia yang berkumpul di Kairo untuk membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza justru ditangkap, diusir, bahkan dipukuli. Mereka datang dengan obat-obatan, makanan, dan barang-barang darurat lainnya yang sangat dibutuhkan oleh warga Palestina yang terkepung. Tapi bukan sambutan hangat yang mereka terima. Mesir justru memblokade jalan, membubarkan aksi damai, dan menangkapi orang-orang yang hanya ingin menyelamatkan sesama manusia di tanah yang terluka. Rafah ditutup. Gaza tetap terisolasi.
Dari dua peristiwa ini, satu pertanyaan besar muncul: Mengapa Mesir, yang secara historis berdiri di barisan depan dalam perjuangan Arab, kini tampak lebih bersahabat kepada warga Israel daripada kepada rakyat Gaza? Mengapa orang yang membawa makanan untuk yang kelaparan ditolak, sementara orang yang melarikan diri dari tanah yang sebelumnya mereka bom justru diterima dengan segala kemudahan?
Perlakuan kontras ini tidak bisa hanya dianggap sebagai kebetulan administratif. Ia adalah cerminan dari pergeseran besar dalam orientasi politik Mesir. Dalam beberapa tahun terakhir, Mesir di bawah pemerintahan Abdel Fattah el-Sisi telah menjalin hubungan yang semakin erat dengan Israel—baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Kerja sama intelijen, keamanan perbatasan, hingga koordinasi politik kawasan, menjadi bagian dari dinamika baru pasca era revolusi Arab. Dalam lanskap ini, Gaza bukan sekadar daerah tetangga, melainkan dianggap sebagai sumber gangguan, sumber ketidakstabilan, bahkan ancaman.
Mesir melihat Gaza dengan kaca mata yang berbeda. Bukan lagi sebagai tanah saudara yang menderita di bawah blokade, tetapi sebagai kantong perlawanan yang sulit dikendalikan. Wilayah yang di dalamnya tumbuh kelompok-kelompok yang tidak selalu sejalan dengan visi politik Kairo. Dalam konteks ini, solidaritas kemanusiaan dikalahkan oleh kalkulasi keamanan. Membuka jalan bagi bantuan berarti memperkuat daya tahan Gaza, sesuatu yang tidak dikehendaki oleh aliansi regional yang saat ini dipengaruhi oleh kerja sama antara Mesir, Israel, dan beberapa negara Teluk yang normalisasi hubungannya telah berlangsung.
Namun tetap saja, realitas ini menyakitkan. Ketika warga Israel masuk ke Sinai, pernyataan dari pejabat keamanan Mesir justru lebih menunjukkan kekhawatiran terhadap keselamatan mereka. Bukan karena kehadiran mereka dianggap berbahaya, tetapi karena takut ada serangan terhadap mereka yang bisa merusak citra pariwisata dan stabilitas domestik Mesir. Ini adalah logika ekonomi yang mengalahkan prinsip. Negara itu tampaknya lebih takut kehilangan turis daripada kehilangan hati nurani.
Lebih jauh, hal ini menunjukkan bagaimana definisi kemanusiaan menjadi sangat selektif. Siapa yang dianggap layak ditolong, dan siapa yang dianggap sebagai beban? Warga Israel yang datang karena perang mendapatkan ruang dan rasa aman. Warga Gaza yang telah bertahun-tahun hidup di bawah pengepungan malah dijaga ketat agar tetap terperangkap. Para aktivis yang datang membawa bantuan pun disamakan dengan ancaman keamanan.
Padahal, Gaza dan Mesir tidak hanya berbagi batas geografis, tetapi juga sejarah, darah, dan budaya. Ada masa di mana Mesir menjadi tempat berlindung bagi pengungsi Palestina, tempat lahirnya berbagai gerakan solidaritas Arab. Tapi kini, pagar-pagar tinggi dan aparat bersenjata menjadi penghalang yang kian menebalkan isolasi Gaza. Apa yang dulu dibanggakan sebagai semangat pan-Arabisme kini berganti menjadi kebijakan yang pragmatis dan kaku.
Apakah Mesir sepenuhnya berpihak pada Israel? Tidak perlu sejauh itu. Tetapi jelas, keberpihakan mereka hari ini lebih ditentukan oleh kepentingan politik jangka pendek daripada nilai kemanusiaan. Ketergantungan pada bantuan asing, tekanan dari negara-negara besar, dan hasrat menjaga citra stabilitas ekonomi membuat Mesir memilih diam atas penderitaan Palestina. Dan diam, dalam konteks ini, bukanlah netralitas. Diam adalah bentuk persetujuan yang pasif.
Dalam lanskap politik global hari ini, keadilan dan kemanusiaan tidak lagi menjadi pilar utama. Yang ada adalah keuntungan strategis, kesetiaan diplomatik, dan stabilitas domestik. Gaza, dengan semua luka dan ketabahannya, tidak masuk dalam prioritas itu. Maka yang terjadi adalah pemandangan ganjil: warga negara yang melarikan diri dari perang yang mereka mulai disambut dan dilindungi, sementara korban dari perang itu tetap dipinggirkan, dikunci, dan dilupakan.
Di sinilah letak pengkhianatan terbesar. Bukan hanya terhadap rakyat Palestina, tapi terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Bahwa di dunia yang katanya menjunjung hak asasi, justru orang-orang yang membawa harapan ditolak, dan mereka yang menyebar ketakutan disambut dengan pengamanan ekstra.
Realitas ini menyisakan luka yang dalam bagi siapa pun yang masih memiliki rasa keadilan. Ketika Mesir—negara yang seharusnya berdiri bersama rakyat Gaza karena kedekatan sejarah dan geografi—lebih memilih menjaga hubungan baik dengan Israel demi keuntungan jangka pendek, maka dunia sedang menyaksikan bagaimana solidaritas diruntuhkan oleh kepentingan. Sebuah pergeseran yang membahayakan masa depan kawasan, dan melemahkan harapan akan hadirnya keadilan sejati di Timur Tengah.
Apakah kita akan membiarkan ini terus berlangsung? Apakah kita akan terus menyaksikan pintu-pintu dibuka untuk yang punya kuasa, sementara tetap tertutup rapat bagi yang menderita? Atau kita akan mulai bersuara, meski perlahan, bahwa kemanusiaan tidak boleh dipilih berdasarkan paspor atau afiliasi politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada pemerintah Mesir, tetapi kepada kita semua. Karena jika diam adalah pilihan kita hari ini, maka besok mungkin giliran kita yang akan mendapati pintu-pintu tertutup rapat di hadapan luka yang kita bawa.