Opini
Saat Natal di Suriah Tak Lagi Damai

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Natal adalah simbol kedamaian, sukacita, dan harapan. Di seluruh dunia, perayaan ini dipenuhi dengan tradisi, kebersamaan, dan doa untuk kedamaian. Namun, di Suriah, sebuah negara yang telah terluka oleh perang selama lebih dari satu dekade, perayaan Natal kali ini jauh dari gambaran damai yang biasanya meliputi umat Kristen di dunia. Umat Kristen di Suriah kini merayakan Natal dalam bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian, sebuah kenyataan yang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebelum kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) menguasai wilayah-wilayah tertentu di Suriah, umat Kristen meskipun hidup dalam kondisi yang penuh tantangan, bisa merayakan Natal dengan rasa relative aman. Di bawah rezim Bashar al-Assad, umat Kristen memiliki kebebasan beragama, meskipun ada ketegangan sektarian yang kadang muncul. Namun, dengan masuknya HTS yang mengusung ideologi ekstrem, suasana berubah drastis. Meski pemimpin HTS, Abu Muhammad al-Jolani, berusaha menampilkan citra moderat dan berjanji tidak akan mengganggu kebebasan beragama, kenyataannya di lapangan jauh dari kata damai. Insiden-insiden yang terjadi belakangan ini menunjukkan adanya ketegangan yang semakin dalam, menciptakan ketakutan di kalangan umat Kristen yang seharusnya merayakan Natal dengan sukacita.
Contoh nyata dari ketidakamanan ini adalah insiden pembakaran pohon Natal di kota Al-Suqaylabiyah yang dilakukan oleh militan asing yang berafiliasi dengan HTS. Tidak hanya itu, warga Kristen di beberapa daerah juga merasa terancam dengan intimidasi dari kelompok-kelompok militan yang menebar teror, seperti suara jihad yang diputar keras-keras di kawasan Kristen atau foto kendaraan lapis baja yang beredar dengan pesan ancaman “Hari kalian akan datang, wahai penyembah salib”. Tindakan-tindakan ini jelas menunjukkan bahwa meskipun ada klaim damai dari HTS, di lapangan masih ada kekerasan dan ancaman terhadap umat Kristen.
Bahkan, meski ada langkah cepat dari HTS untuk menangani kasus-kasus tertentu, seperti pemaksaan pengemudi untuk meminta maaf atas tindakan mereka yang menodai gereja atau penangkapan pelaku perusakan di Hama, hal ini tidak cukup untuk membangun kembali kepercayaan umat Kristen. Mereka tidak bisa mengabaikan masa lalu yang penuh dengan trauma dan ketidakpastian, apalagi di tengah kenyataan bahwa beberapa faksi ekstrem di lapangan tetap beroperasi di luar kendali otoritas yang ada.
Bagi umat Kristen Suriah, perayaan Natal kini bukan lagi sekadar momen spiritual, melainkan ujian kesabaran dan keberanian. Mereka merayakan Natal dengan penuh kehati-hatian, mengurangi perayaan yang biasa mereka lakukan, seperti mendekorasi rumah atau membagikan permen di jalan-jalan. Rasa takut meliputi mereka, bukan hanya terhadap kelompok HTS, tetapi juga terhadap potensi ancaman dari kelompok militan lainnya yang lebih radikal. Trauma yang ditinggalkan oleh perang, ditambah ketidakpastian yang dihadirkan oleh rezim yang baru ini, menciptakan atmosfer yang jauh dari kedamaian yang seharusnya menjadi inti dari Natal.
Tentu saja, situasi ini berdampak lebih jauh bagi umat Kristen dan minoritas lainnya di Suriah. Jika situasi ini berlanjut, umat Kristen yang sudah lama mengalami kesulitan akibat perang dan penganiayaan dapat merasa semakin terisolasi dan terancam. Hal ini juga bisa memperburuk hubungan antar komunitas, menambah kesulitan bagi mereka yang berusaha membangun kembali kehidupan di tengah puing-puing perang. Ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang baru dapat semakin memperburuk ketegangan sosial, yang pada gilirannya dapat memicu diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas.
Lebih jauh lagi, jika ketidakpastian ini berlarut-larut, bukan tidak mungkin bahwa beberapa umat Kristen di Suriah akan mempertimbangkan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka demi mencari tempat yang lebih aman. Fenomena ini bukanlah hal baru, karena sejak awal perang, banyak warga Kristen yang memilih untuk mengungsi ke negara lain, dan kemungkinan eksodus ini bisa meningkat jika situasi keamanan tidak membaik.
Pada akhirnya, perayaan Natal di Suriah tahun ini tidak hanya mencerminkan tantangan bagi umat Kristen, tetapi juga gambaran dari ketidakstabilan yang lebih besar yang masih mengancam seluruh masyarakat Suriah. Slogan damai yang sering terdengar saat Natal terasa jauh lebih kosong di tengah kenyataan bahwa banyak orang, termasuk umat Kristen, masih harus merayakan hari yang penuh dengan kedamaian itu dengan rasa takut. Meskipun harapan tetap ada, kenyataannya Suriah membutuhkan lebih dari sekadar klaim damai; yang dibutuhkan adalah langkah konkret untuk menciptakan perdamaian yang sejati bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang agama atau etnis.
*Sumber: Reuters, Greek City Times