Connect with us

Opini

Saat K-Pop Mendunia, Populasi Korea Malah Terjun Bebas

Published

on

Tentara Korea Selatan menyusut 20% hanya dalam enam tahun terakhir. Bukan karena perang besar atau desersi massal, tapi karena satu hal yang jauh lebih sunyi dan mematikan: tidak ada cukup anak muda untuk direkrut. Populasi pria usia 20 tahun, tulang punggung wajib militer negeri itu, merosot 30% sejak 2019. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah kabar duka yang dibacakan dengan nada datar oleh Departemen Pertahanan, di tengah derap musik K-pop yang terus bergaung di seluruh dunia.

Ada ironi yang terlalu kentara untuk diabaikan. Dunia memandang Korea Selatan sebagai mesin budaya pop yang tak pernah kehabisan energi: boyband yang memecahkan rekor penjualan album, drama televisi yang membuat penonton global begadang, tren kosmetik dan fashion yang menembus pasar Eropa hingga Timur Tengah. Semua itu menciptakan citra sebuah negeri yang muda, hidup, dan penuh gairah. Namun di balik panggung megah itu, negeri ini diam-diam mengalami krisis kelahiran paling parah di dunia—hanya 0,75 anak per perempuan. Angka yang bahkan Jepang, dengan semua stereotip penuanya, tak mampu “mengalahkan”.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Puncak penduduk Korea Selatan terjadi pada 2020, dengan 51,8 juta jiwa. Kini, proyeksi resmi pemerintah sudah menulis skenario penurunan ke 36,2 juta pada 2072. Angka ini seperti meramalkan sebuah konser besar yang panggungnya kian kosong, satu per satu penonton pulang, dan tak ada yang menggantikan mereka di kursi depan. Dan meski pemerintah mencoba menutupi kekurangan personel dengan teknologi militer canggih, aliansi dengan AS, dan kebanggaan sebagai eksportir senjata, realitasnya mereka kini kekurangan 50.000 prajurit dari jumlah ideal.

Seorang yang bekerja di industri kreatif di Seoul pernah berkata, bekerja di Korea itu seperti ikut audisi tanpa akhir. Semua orang bersaing sekeras trainee K-pop, entah di kantor pemerintahan atau startup. Jam kerja panjang, harga rumah yang gila-gilaan, dan biaya les anak yang hampir setara cicilan apartemen. “Kalau punya anak dua, berarti kamu kaya atau bodoh,” ujarnya, separuh bercanda, separuh pahit. Itu ucapan yang terdengar kejam, tapi nyatanya logis di negeri di mana persaingan dimulai dari taman kanak-kanak.

Budaya pop Korea justru semakin memperkuat paradoks ini. Drakor romantis sering memamerkan pasangan muda yang sukses, hidup di apartemen minimalis penuh cahaya matahari, dan berakhir bahagia. Padahal di dunia nyata, pasangan seperti itu mungkin sedang menunda menikah hingga usia pertengahan 30-an, lalu merasa satu anak saja sudah cukup—kalau pun jadi punya. Dalam konser K-pop, ribuan penggemar meneriakkan lagu cinta dan persahabatan, tapi di luar stadion, generasi yang sama memilih hidup sendiri, berinvestasi pada karier, hobi, atau hewan peliharaan.

Pemerintah sudah mencoba berbagai trik: subsidi kelahiran, cuti orang tua, insentif pajak. Tapi itu seperti menambal atap bocor dengan plester. Masalahnya terlalu dalam. Ia menyentuh struktur sosial, pola pikir, bahkan definisi kebahagiaan di kalangan muda. Perempuan Korea, misalnya, tahu bahwa pernikahan masih berarti menanggung beban rumah tangga hampir sepenuhnya, meski mereka bekerja penuh waktu. Laki-laki pun tak luput, menghadapi tuntutan sebagai pencari nafkah utama di pasar kerja yang brutal. Tidak heran jika banyak yang memilih jalur “no marriage, no kids”.

Dan di sinilah letak absurditasnya: Korea Selatan sedang menjadi tren global, mengekspor citra muda yang memesona, tapi di dalam negeri mereka sedang menua lebih cepat daripada hampir semua negara di dunia. Bagai idol K-pop yang terus tersenyum di panggung meski kakinya penuh luka, negara ini menari di hadapan kamera sambil memendam krisis yang bisa mengubah wajahnya selamanya.

Krisis ini juga berpotensi mengguncang jantung industri hiburan itu sendiri. K-pop dan drakor butuh generasi baru talenta muda—penyanyi, aktor, penulis naskah—yang cukup banyak dan cukup berani mengambil risiko di industri yang keras. Jika basis populasi muda terus menyusut, perebutan talenta akan makin ketat. Mungkin kelak, audisi trainee K-pop akan dibuka untuk siapa saja dari luar negeri bukan sekadar demi keragaman, tapi karena di dalam negeri hampir tidak ada yang mendaftar.

Kita, di Indonesia, mungkin melihat ini sebagai masalah “orang lain”. Tapi ada pelajaran yang bisa diambil. Negeri yang makmur, modern, dan digilai dunia pun bisa terjebak dalam lingkaran setan demografi. Apalagi jika harga rumah di kota besar makin tak terjangkau, biaya pendidikan melangit, dan generasi muda terjebak dalam budaya kerja yang memeras waktu. Rasanya, jika kita tidak hati-hati, kita pun bisa mengalami versi lokal dari cerita ini—meski mungkin tanpa bonus boyband global.

Korea Selatan kini berada di persimpangan yang sulit. Mereka bisa mencoba membalik tren dengan reformasi sosial yang berani—mengubah budaya kerja, membagi peran rumah tangga lebih adil, menyediakan perumahan yang terjangkau. Tapi itu butuh waktu, dan waktu adalah sumber daya yang semakin menipis ketika bicara soal populasi. Setiap tahun yang terlewat berarti generasi yang lebih kecil lagi di masa depan.

Di tengah semua ini, dunia masih akan terus menikmati drakor terbaru, memutar video musik K-pop di YouTube, dan mengagumi inovasi teknologi Korea. Tapi mungkin kita harus ingat bahwa di balik layar LED yang memancarkan cahaya gemerlap, ada negeri yang sedang bertanya-tanya: siapa yang akan memegang mikrofon di masa depan? Dan lebih penting lagi, siapa yang akan duduk di kursi penonton?

Pada akhirnya, krisis demografi Korea Selatan adalah pengingat bahwa kejayaan budaya pop tidak otomatis berarti masyarakatnya hidup sejahtera atau berkelanjutan. Ada perbedaan besar antara menjadi tren di dunia dan bertahan di dunia nyata. Dan dalam hal ini, negeri para idol itu mungkin sedang kehilangan nada dasarnya, perlahan tapi pasti, di tengah sorak-sorai global yang tak pernah berhenti.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer