Connect with us

Opini

Saat Israel Menyamakan Kemenangan dengan Kehancuran

Published

on

Ada ironi yang begitu telanjang ketika sebuah negara yang mengaku memiliki militer paling canggih di kawasan justru melahirkan laporan internal penuh pengakuan pahit: kegagalan, kesalahan, dan keletihan. Dokumen bocor dari militer Israel yang menilai Operasi Gideon’s Chariots sebagai kegagalan total ibarat cermin yang dipaksa ditaruh di depan wajah kekuasaan—mereka melihat apa yang selama ini coba disembunyikan. Bahwa di balik dentuman bom dan propaganda kemenangan, yang ada hanya kehampaan strategis.

Israel, dengan angkuhnya, memproklamirkan dua tujuan besar: menghancurkan Hamas dan membebaskan tawanan. Kedengarannya sederhana, seperti target di papan tulis ruang rapat. Namun realitasnya jauh berbeda. Hamas masih berdiri, masih bergerak, bahkan masih mampu melancarkan serangan terorganisir. Para tawanan pun tetap berada di tangan lawan. Maka apa artinya semua kerumitan operasi, semua darah yang ditumpahkan, jika dua target utama saja tak tercapai? Inilah kegagalan yang tak bisa dibungkus dengan istilah manis seperti “sementara” atau “proses”.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan itu menelanjangi kelemahan mendasar: militer Israel melawan doktrin mereka sendiri. Mereka membiarkan waktu berjalan tanpa batas, membiarkan musuh beradaptasi, membiarkan dunia menonton tragedi tanpa arah. Mereka seolah lupa bahwa dalam perang, waktu bisa menjadi senjata atau racun. Dan kali ini, waktu justru meracuni mereka. Bukannya mengakhiri konflik dengan cepat, Israel terseret dalam perang panjang yang melelahkan diri sendiri.

Yang lebih tragis, dokumen itu menyalahkan distribusi bantuan yang “terlalu longgar”. Sebuah tuduhan yang absurd, mengingat dunia menyaksikan rakyat Gaza mati kelaparan, anak-anak meregang nyawa karena susu formula tak pernah sampai, keluarga menggali sisa makanan dari puing. Jika itu disebut “longgar”, saya tak bisa membayangkan seperti apa bentuk “ketat” menurut mereka. Ada kebutaan moral di sini: penderitaan manusia tidak dilihat sebagai tragedi, melainkan sebagai variabel logistik yang harus dikontrol.

Dan lihatlah bagaimana mereka berputar di lingkaran operasi yang tak kunjung usai. Di Al-Zaytoun, Israel masuk, mengebom, memaksa warga mengungsi, lalu keluar lagi setelah disergap Hamas. Itu diulang tujuh kali. Tujuh kali! Jika diibaratkan pertandingan sepak bola, ini seperti tim besar yang selalu menyerang tetapi justru kebobolan di menit-menit krusial. Hasilnya? Tidak pernah menang mutlak, hanya semakin mempermalukan diri sendiri.

Namun ada hal yang lebih menggelisahkan: krisis moral di tubuh tentaranya sendiri. Menurut laporan, pasukan cadangan mulai enggan kembali, banyak yang absen, sebagian merasa jenuh. Apakah ini mengejutkan? Tidak. Bayangkan Anda seorang tentara cadangan, dipanggil dari kehidupan sipil, lalu dipaksa menjalani perang yang tampak tanpa ujung dan tanpa makna. Bukan lagi soal “membela negara”, melainkan soal bertahan hidup dalam labirin politik dan ego para pemimpin.

Kita di Indonesia tahu betul bagaimana aparat bisa kehilangan motivasi jika merasa diperalat. Dalam konteks lokal, barangkali mirip dengan buruh yang dipaksa lembur tanpa bayaran jelas, tanpa ada kepastian kapan proyek selesai. Lama-lama, orang akan memilih absen, walau risiko besar menanti. Karena tubuh manusia punya batas, dan jiwa manusia lebih lagi.

Ada satu kutipan yang menarik: “Israel membuat setiap kesalahan yang mungkin bisa dilakukan.” Kalimat itu, yang tercantum dalam dokumen, seakan sudah cukup untuk merangkum semuanya. Ia terdengar seperti satire yang lahir dari mulut seorang komedian politik. Bayangkan, negara yang dipuji sebagai kekuatan militer regional, justru dipotret seperti siswa malas yang gagal ujian karena tak belajar dengan benar. Bedanya, kegagalan ini tidak hanya memalukan, tapi juga menelan ribuan nyawa.

Saya rasa, di sinilah letak absurditas paling tajam: Israel ingin mendemonstrasikan kekuatan, tetapi yang tampak justru kelemahan. Mereka ingin menunjukkan kendali, tetapi yang terbaca adalah kehilangan arah. Mereka ingin mendikte narasi global, tetapi justru memberi panggung bagi Hamas untuk menampilkan diri sebagai pihak yang masih mampu melawan, meski dengan keterbatasan ekstrem. Bukankah ini ironis? Seperti gajah yang mencoba menginjak semut, tetapi justru tergelincir oleh pasir yang ditinggalkan semut itu.

Lalu apa artinya semua ini bagi kita yang jauh di Jakarta, Bandung, atau Surabaya? Artinya jelas: perang modern tidak lagi soal siapa punya senjata paling besar, tetapi siapa punya narasi paling kuat. Israel boleh menghancurkan kota, meratakan rumah, menutup akses bantuan. Tapi semakin mereka melakukan itu, semakin dunia melihat kebengisan yang telanjang. Dan dalam dunia yang penuh kamera, kebengisan adalah senjata makan tuan.

Saya tidak romantis membayangkan Hamas sebagai pahlawan tanpa cela. Tapi fakta bahwa mereka masih bertahan, masih mampu menembus barisan musuh yang konon tak terkalahkan, menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: keberanian dan keyakinan bisa mengimbangi, bahkan menundukkan, mesin perang raksasa. Dan setiap kali Israel gagal mencapai tujuannya, setiap kali laporan seperti ini bocor, legitimasi mereka semakin tergerus.

Israel kini berencana melanjutkan dengan “Gideon’s Chariots 2”, sebuah operasi baru yang katanya akan lebih terarah. Tetapi bukankah kegagalan yang pertama sudah cukup jadi pelajaran? Alih-alih introspeksi, mereka justru menyiapkan mobilisasi 130.000 pasukan cadangan lagi. Lebih banyak senjata, lebih banyak bom, lebih banyak penghancuran. Namun jika pola pikirnya tetap sama, hasilnya tak akan jauh berbeda: lebih banyak reruntuhan, tanpa kemenangan yang nyata.

Dalam kaca mata politik global, kebocoran dokumen ini memperkuat citra Israel sebagai kekuatan yang sedang kehilangan pijakan. Dunia menyaksikan bukan saja kehancuran Gaza, tetapi juga retaknya wibawa militer Israel yang selama ini dianggap superior. Setiap kali anak-anak Gaza meninggal karena kelaparan, setiap kali rumah rata dengan tanah, simpati dunia justru semakin condong pada mereka yang tertindas. Israel mungkin bisa menekan media di dalam negeri, tetapi tidak bisa menutup semua mata di luar negeri.

Penutupnya mungkin pahit, tapi perlu diucapkan: Israel sedang tenggelam dalam kubangan yang mereka gali sendiri. Mereka mendefinisikan kemenangan dengan reruntuhan kota, dengan statistik korban, dengan peta operasi. Namun kemenangan sejati tidak diukur dari berapa gedung yang hancur, melainkan dari berapa tujuan strategis yang tercapai. Dan sejauh ini, tujuannya justru berbalik menjadi bumerang.

Sejarah akan mencatat, bukan hanya betapa kejamnya perang ini, tetapi juga betapa kacaunya logika di baliknya. Ketika laporan internal sendiri menyatakan “setiap kesalahan dilakukan”, maka kita tak perlu lagi menambahkan banyak kata. Bukankah itu sudah cukup untuk menyimpulkan semuanya?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer