Connect with us

Opini

Saat Hukum Mati di Tangan Tentara Israel

Published

on

Hampir sembilan dari sepuluh investigasi militer zionis Israel terhadap dugaan kejahatan perang dan penyalahgunaan wewenang sejak pecahnya agresi di Gaza tak berujung pada hukuman. Sebagian besar kasus ditutup, sisanya menggantung entah di mana. Hanya satu kasus yang berakhir di pengadilan militer, dengan hukuman tujuh bulan penjara bagi seorang tentara yang memukuli tahanan yang sudah terikat dan dibutakan matanya. Tujuh bulan, seharga berapa ratus tulang rusuk dan liter air mata?

Apa jadinya jika hukum tak lagi punya nyawa? Jika yang memegang senjata juga yang menulis aturan mainnya? Di tanah yang dijanjikan kemerdekaan, hukum justru dikuburkan di bawah sepatu bot tentara. Di tanah tempat bendera putih dikibarkan di atas puing, yang berkuasa bukan lagi akal sehat atau rasa keadilan, tapi peluru dan dalih.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sementara itu, pada Februari 2024, di Gaza City, seratus dua belas warga sipil yang kelaparan—ya, kelaparan dalam arti yang paling harfiah dan memalukan bagi abad ke-21—tewas ditembak saat menanti sekarung tepung. Tiga bulan kemudian, sebuah kamp pengungsian di Rafah dibombardir, empat puluh lima jiwa musnah di tengah tenda-tenda dan asa yang koyak. Mereka bukan pejuang, bukan tentara, bukan pengancam eksistensi negara paling bersenjata nuklir di Timur Tengah. Mereka hanya manusia. Atau setidaknya pernah disebut begitu, sebelum didegradasi menjadi statistik dalam laporan militer.

Ironis? Tentu. Tapi lebih dari itu: ini adalah nalar terbalik yang dijadikan norma. Ketika yang menjatuhkan bom juga yang menyelidiki ledakan, jangan berharap ada kejujuran di antara puing-puing. Israel mengklaim melakukan penyelidikan sesuai hukum internasional. Tapi jangan bayangkan sosok netral berjubah toga; yang mereka sebut “investigasi” tak lebih dari panggung boneka, di mana hakim, jaksa, dan terdakwa semua tinggal serumah—dan rumahnya punya lapangan tank di belakang.

Sudah bukan rahasia bahwa sistem militer Israel punya mekanisme internal bernama Fact-Finding Assessment (FFA). Namanya keren, serasa seminar internasional. Tapi jangan tertipu. Dalam praktiknya, unit ini lebih banyak menghasilkan kesimpulan “tidak ditemukan pelanggaran” daripada pertanggungjawaban. Dari 52 kasus yang dilaporkan sejak Oktober 2023 hingga Juni 2025, sebagian besar masih berkubang dalam status “belum terselesaikan.” Ada juga yang ditutup begitu saja. Seolah kematian, ketika terjadi dalam jumlah besar dan cukup cepat, tak lagi perlu dijelaskan. Ia cukup dikubur.

Mereka menyebutnya “proses hukum.” Kita di sini menyebutnya: dagelan berdarah. Di Gaza, hukum tak tewas dalam sekali ledakan. Ia perlahan sekarat, dicekik oleh penyelidikan palsu, dibiarkan mati oleh pengadilan yang melayani pelaku. Jika peluru menembus dada, laporan investigasi justru menembus batas kewarasan. Di tangan tentara Israel, hukum bukanlah alat pengatur moralitas perang, tapi perisai simbolik yang cukup untuk menjinakkan kritik dari luar negeri.

Bayangkan bila hal serupa terjadi di Indonesia. Misalnya, 112 warga Papua ditembak mati saat berebut beras di Wamena, dan kemudian TNI menyatakan, “Kami akan menyelidikinya sendiri.” Apa yang terjadi? Protes nasional, tekanan internasional, mungkin juga amarah kolektif. Tapi di Palestina, dunia terlalu sering menutup mata, telinga, bahkan nurani. Karena si pelaku bukan negara gagal, bukan rezim otoriter, melainkan sekutu strategis yang mengklaim diri sebagai satu-satunya “demokrasi” di Timur Tengah. Tentu, demokrasi yang tank-nya bertenaga veto Dewan Keamanan.

Lalu, pertanyaannya: siapa yang benar-benar peduli?

Kalau keadilan bisa dibeli dengan narasi, Israel sudah memilikinya dalam bentuk lengkap: mereka punya trauma Holocaust sebagai tameng, propaganda “hak membela diri” sebagai pedang, dan jaringan diplomasi sebagai tameng besi. Mereka memainkan kartu korban sekaligus pelaku dengan keahlian yang nyaris membuat Shakespeare iri. Dan kita, penonton global, hanya bisa berdecak atau mencibir sambil menyeruput kopi, sebelum akhirnya kembali men-scroll TikTok.

Tapi ada sesuatu yang lebih menyakitkan ketimbang kejahatan itu sendiri: yaitu diamnya hukum. Lembaga-lembaga HAM internasional, yang dulu dikenal galak dan vokal, kini lebih sering bersuara dalam seminar daripada di medan perjuangan. Komisi-komisi PBB mengeluarkan laporan, lalu disimpan dalam folder cloud, sementara jasad-jasad yang membusuk di Gaza disimpan dalam kantong plastik.

Oh ya, ada juga kasus relawan World Central Kitchen. Tujuh di antaranya tewas dihantam misil “secara tak sengaja,” katanya. Investigasinya cepat sekali, seperti fast food: hangat, cepat saji, dan bisa ditelan begitu saja. Beberapa perwira dipecat, beberapa lainnya ditegur. Tidak ada yang dipenjara. Tidak ada yang bertanggung jawab. Rupanya, dalam matematika militer Israel, nyawa relawan kemanusiaan tidak cukup mahal untuk satu jeruji penjara.

Maka kita sampai pada kesimpulan getir: bahwa keadilan bukan hanya tidak ditegakkan, tapi juga dengan sengaja dibongkar fondasinya. Jika kekuasaan adalah monumen, maka hukum adalah penyangganya. Namun di tanah terjajah itu, penyangga telah dicor ulang agar miring ke satu sisi saja—sisi penjajah, tentu saja.

Di Indonesia, kita biasa berkata “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Di Palestina, hukum tak hanya tumpul—ia absen, disabotase, bahkan dijadikan senjata itu sendiri. Apa yang lebih mengerikan dari peluru? Mungkin adalah laporan penyelidikan yang menyebut bahwa peluru itu tak pernah ada.

Saya membayangkan seorang ibu di Rafah, yang menyusui anaknya dengan air berwarna lumpur dan debu. Ia mendengar bahwa kematian suaminya sedang “ditinjau.” Bahwa mungkin, bila cukup waktu diberikan, militer akan menyimpulkan sesuatu. Tapi waktunya sudah habis. Bayinya sudah menjadi yatim, dan keadilan masih antre di koridor FFA yang pengap.

Namun, yang lebih buruk dari tragedi adalah normalisasi. Ketika pembantaian disebut “insiden,” ketika pemusnahan sipil disebut “kesalahan identifikasi,” ketika kehancuran sistematis terhadap satu bangsa disebut “operasi militer,” maka bahasa pun turut menjadi kaki tangan penindasan. Kita hidup di zaman ketika diksi pun tak luput dari kolonisasi.

Apakah masih ada yang percaya bahwa Israel akan menghukum tentaranya sendiri secara adil? Mungkin ada. Mungkin mereka juga percaya unicorn hidup di hutan Amazon dan bahwa TikTok adalah sumber kebenaran.

Di antara ironi dan absurditas ini, satu hal tetap nyata: Palestina terus berdarah. Dan setiap peluru yang tak dihukum, setiap bom yang tak diadili, bukan hanya merenggut nyawa, tapi juga membunuh kepercayaan kita terhadap kemanusiaan.

Jadi, mari kita simpan baik-baik laporan AOAV itu. Bukan karena kita percaya sistem akan berubah esok hari, tapi karena kita tak boleh lupa. Seperti kata orang bijak: sejarah bukan untuk dendam, tapi untuk menghindari pengulangan. Tapi, apa yang bisa dikatakan ketika sejarah itu sendiri terus diulang, bukan karena kita lupa—melainkan karena yang melakukannya tahu tak akan pernah dihukum?

Dan di situlah letak ironi paling kejam: ketika kejahatan bukan lagi penyimpangan, tetapi sistem. Ketika pembantaian bukan lagi kegagalan, tetapi prosedur standar. Ketika hukum bukan lagi pelindung korban, tetapi pelayan pelaku. Jika hukum memang sudah mati di tangan tentara Israel, maka jangan berharap keadilan muncul dari reruntuhan. Yang ada hanyalah kesunyian yang diatur dengan presisi militer.

Selamat datang di dunia yang katanya beradab.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer