Opini
Rusia Diembargo, Tapi Ekonominya Naik Daun

Laporan dari tabloid Jerman Bild membuka tirai yang menyingkap kenyataan mencengangkan: sanksi Uni Eropa (UE) terhadap Rusia tampaknya gagal mencapai tujuannya. Meski Barat berusaha keras mencekik ekonomi Moskow, Rusia justru tetap mengantongi €233 miliar dari ekspor energi. Angka ini terasa seperti tamparan keras terhadap keyakinan bahwa sanksi bisa menjadi senjata ampuh. Bagaimana mungkin aliansi 27 negara, bersatu dalam semangat dan kebijakan, tak mampu menggoyang pondasi ekonomi Moskow?
Sanksi yang kini telah mencapai paket ke-17 sejak konflik Ukraina meletus pada 2022, perlahan berubah menjadi rutinitas penuh semangat yang mulai kehilangan tajinya. Alih-alih kolaps, ekonomi Rusia justru melesat ke peringkat keempat dunia berdasarkan paritas daya beli, hanya di bawah China, Amerika Serikat, dan India. Capaian ini diumumkan Presiden Putin dengan kebanggaan yang tak disembunyikan. Di sisi lain, rumah tangga dan industri Eropa justru tercekik oleh lonjakan harga energi. Sebuah ironi menyakitkan: apakah sanksi ini benar-benar wujud perjuangan demi keadilan, atau luka yang justru ditorehkan ke tubuh sendiri?
Laporan Bild menunjukkan daya tahan yang mengejutkan—bukan dari Eropa, melainkan dari Rusia. Meski pengiriman minyak lewat laut dilarang dan aset senilai $300 miliar dibekukan, Rusia tetap leluasa bernapas. Uni Eropa, yang dulunya pembeli terbesar energi Rusia, kini masih berada di posisi keempat, dengan proyeksi pembelian lebih dari €20 miliar untuk minyak, gas, dan uranium Rusia pada 2025. Rusia pun cekatan mengalihkan pasarnya ke China, India, dan Turki, membuat sanksi UE tampak seperti angin lalu. Bahkan paket ke-17, yang menyasar armada kapal bayangan tanpa asuransi Barat, oleh Bild digambarkan hanya sebagai “setetes air di lautan.”
Kita di Indonesia mengenal ironi ini. Guncangan harga minyak global bukan hal asing bagi kita. Krisis energi tahun 1973, misalnya, membuat pedagang pasar di Tanah Abang hingga nelayan di Makassar kelimpungan menghadapi lonjakan harga bahan bakar.
Namun, dampak paling pedih dari kebijakan sanksi ini justru terasa di ranah kemanusiaan. Di Jerman—jantung industri Eropa—sektor otomotif dan kimia limbung akibat harga energi yang meroket. Rumah tangga ikut terpukul; tagihan pemanas saat musim dingin makin tak terjangkau. Bild secara lugas mengungkap: peralihan dari gas Rusia yang murah ke sumber energi yang lebih mahal membuat rakyat Eropa menanggung beban berat. Sebuah ironi yang menggigit.
Indonesia pun tak luput dari sentuhan gejolak ini. Saat harga LNG global melonjak pada 2022, industri tekstil di Bandung hingga kapal nelayan di Sulawesi ikut terhempas akibat naiknya biaya operasional. Meski Pertamina berusaha menjaga pasokan, tekanan tetap terasa. Sanksi yang ditujukan untuk menghukum Rusia malah berbalik menjadi beban masyarakat Eropa sendiri. Pertanyaannya: sampai kapan kebijakan seperti ini dapat dipertahankan, jika yang paling menderita justru rakyat biasa?
Meski begitu, UE tetap melaju. Seolah tak gentar, mereka terus menambahkan lapisan sanksi, ibarat penjudi yang terus menaikkan taruhan di meja yang jelas merugikan. Mengapa? Ini bukan semata soal Ukraina. Ini tentang menjaga kesatuan politik dan menunjukkan ketegasan terhadap Rusia. Namun celah mulai menganga. Hungaria dan Slovakia terang-terangan mengkritik efektivitas sanksi, menyebutnya lebih merugikan Eropa sendiri. Vincenzo Trani, Presiden Kamar Dagang Italia-Rusia, bahkan meminta pemerintah Italia meninjau ulang posisinya karena ekonomi nasional kian tertekan.
Suara-suara ini bukan sekadar gumaman pinggiran. Mereka mencerminkan kegelisahan yang membuncah bahwa paket sanksi UE, yang kini berjumlah 17, mulai terasa seperti candu: dilakukan berulang meski manfaatnya tak kentara. Kita di Indonesia mungkin teringat krisis ekonomi Asia tahun 1998, ketika tekanan global memperparah kondisi domestik dan masyarakat meminta solusi yang lebih manusiawi daripada sekadar tunduk pada dogma ekonomi.
Sementara itu, Rusia terlihat menari di atas panggung sanksi. Pernyataan Putin tentang pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan internasional bukan sekadar retorika. Data IMF menunjukkan PDB Rusia tumbuh 3,6% pada 2023, mengungguli sejumlah negara Barat. Alih-alih terisolasi, Rusia mempererat hubungan dengan China dan India, pembeli utama minyak yang kini ditolak Eropa. Armada bayangan yang lolos dari batas harga G7 terus menjaga aliran minyak tetap deras.
Manuver ini menyoroti kelemahan mendasar dari sanksi UE: isolasi ekonomi hanya efektif bila tidak tersedia pasar alternatif. Indonesia pun tak asing dengan dinamika ini. Saat Uni Eropa memberlakukan embargo terhadap minyak sawit, Indonesia memperkuat ekspor ke pasar alternatif seperti India dan China. Negara selalu menemukan cara untuk bertahan.
Dampak sanksi di Eropa kian nyata. Perusahaan kimia besar di Jerman yang dahulu jadi simbol kejayaan kini terseok-seok oleh tingginya biaya energi. Getaran efek ini merambat ke Indonesia: ketidakstabilan energi global mempengaruhi harga bahan bakar dalam negeri. Pedagang kecil di Yogyakarta dan sopir truk di Medan ikut menanggung beban. Sanksi UE yang dimaksudkan untuk menekan Rusia, kini terasa seperti bumerang. Apakah sebuah kebijakan masih bisa disebut bijak bila lebih banyak membawa derita daripada hasil?
Di luar aspek ekonomi, dimensi geopolitik dari sanksi ini juga mencolok. Setiap paket sanksi baru justru mendorong Rusia lebih erat dalam pelukan China. Keduanya membentuk blok strategis yang menggoyang tatanan global yang dikuasai Barat. Indonesia, dengan tradisi diplomasi netral dan seimbang antara Timur dan Barat, menyimak dinamika ini dengan seksama.
Sanksi, seperti pisau bermata dua, sering membawa konsekuensi tak terduga. Laporan Bild tak membahas secara eksplisit sisi ini, namun dampaknya kasat mata. Jika UE terus menjalankan kebijakan yang melemahkan posisinya sendiri, bukan tidak mungkin ia justru memperkuat terbentuknya blok baru yang lebih berani dan anti-Barat. Bukankah ironis jika sang pemburu justru terjebak dalam jerat yang ia pasang sendiri?
Paket ke-17, yang menyasar armada bayangan Rusia, kini terasa seperti langkah terakhir dari keputusasaan. Brussels menyebutnya sebagai usaha menutup celah, namun Bild menilainya tak banyak berarti. Rusia, dengan fondasi ekonominya berupa minyak dan gas, masih mampu tersenyum di balik tekanan ini. Sementara itu, rakyat dan industri di Eropa terus menanggung getir.
Indonesia tahu benar pelajaran ini. Sengketa minyak sawit dengan UE mengajarkan bahwa pendekatan keras kepala kerap merugikan kedua belah pihak. Sanksi UE yang terus bertambah kini terasa seperti monumen kegagalan diplomatik. Jika demikian, mengapa terus dijalankan? Apakah karena gengsi, prinsip moral, atau tekanan dari sekutu seperti Amerika Serikat?
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada satu pertanyaan krusial: apa sebenarnya tujuan akhir dari sanksi ini? Lahir dari kemarahan atas invasi Ukraina, kebijakan ini kini tampak terjebak dalam siklus: sanksi baru, dampak minim, dan penderitaan yang meluas. Laporan Bild seolah mengingatkan kita: Rusia tumbuh, Eropa mengeluh, dunia menyimak.
Bagi Indonesia, setiap gejolak kebijakan Eropa adalah riak yang sampai ke pantai-pantai Nusantara. Maka jalan yang ditempuh UE sebaiknya menjadi bahan renungan: apakah kita juga, di masa depan, berpotensi mengejar prinsip sambil mengabaikan akal sehat? Sanksi, yang seharusnya alat kebijakan, kini berubah menjadi bumerang. Namun UE terus melangkah, tetap yakin. Mungkin sudah saatnya berhenti sejenak, dan bertanya: kapan keteguhan berubah menjadi kecerobohan? Jawabannya belum jelas, tetapi waktu akan membisikkan kebenarannya.