Connect with us

Opini

Runtuhnya Mesin Ekonomi Eropa: Apakah Jerman Bisa Bertahan?

Published

on

Jerman, sang raksasa ekonomi Eropa, kini berada di ujung tanduk. Jika kita percaya pada laporan dari Handelsblatt Research Institute (HRI), yang dikutip oleh RT, ekonomi Jerman tengah meluncur perlahan tetapi pasti ke dalam jurang krisis terparah sejak Perang Dunia II. Dengan prediksi kontraksi ekonomi selama tiga tahun berturut-turut hingga 2025, siapa yang masih berani menyebut negara ini sebagai “lokomotif Eropa”? Mungkin lebih tepat jika kita mulai menyebutnya sebagai “gerbong tua yang berkarat.”

Sebuah negara yang pernah menjadi kebanggaan Eropa, kini terjebak dalam lingkaran setan inflasi, krisis energi, dan demografi yang menyusut. Tiga tahun kontraksi berturut-turut adalah catatan suram yang bahkan tak pernah terjadi selama resesi awal 2000-an. Sebuah era baru telah dimulai—bukan era kemajuan, tetapi era stagnasi dan penurunan.

Apa penyebabnya? Salah satunya, keputusan Jerman untuk mengabaikan energi murah dari Rusia dan beralih ke LNG yang lebih mahal dari AS. Keputusan ini, yang dibungkus dengan narasi “solidaritas terhadap Ukraina,” ternyata lebih mirip aksi bunuh diri ekonomi. Biaya energi yang melonjak telah menghancurkan sektor manufaktur dan bisnis kecil, dua pilar utama ekonomi Jerman. Volkswagen, ikon industri otomotif, sudah mulai merasakan tekanan ini. Jika nama besar seperti itu goyah, apa yang tersisa untuk pemain-pemain kecil?

Namun, krisis ini bukan hanya soal gas dan energi. Jerman juga sedang menghadapi bom waktu demografis. Populasi yang menua dan angkatan kerja yang menyusut adalah resep pasti untuk stagnasi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang kini hanya memiliki potensi 0,5% per tahun, mimpi Jerman sebagai kekuatan global tinggal kenangan.

Dampaknya? Mari kita bayangkan skenario terburuk. Deindustrialisasi mungkin bukan lagi istilah teknis, melainkan kenyataan sehari-hari. Sektor manufaktur, kebanggaan Jerman, bisa runtuh seperti domino, membawa jutaan pekerjaan bersamanya. Perekonomian yang bergantung pada ekspor akan menghadapi pukulan keras saat daya saing global melemah. Dan di tengah itu semua, masyarakat Jerman harus menghadapi harga energi yang selangit dan ketidakpastian yang membelit.

Jika tidak ada perubahan besar-besaran, Jerman bisa menjadi contoh buruk dari bagaimana negara maju kehilangan arah. Kebijakan yang salah, baik di bidang energi maupun ekonomi, akan terus menjerumuskan negara ini ke dalam krisis yang lebih dalam. Saat itu terjadi, apakah Jerman masih bisa mempertahankan statusnya sebagai kekuatan utama Eropa? Atau apakah kita akan melihat negara ini menjadi bayangan dari dirinya yang dulu—sekadar pelengkap dalam sejarah ekonomi global?

Ironi terbesar adalah bahwa semua ini terjadi di bawah nama modernisasi dan keberlanjutan. Namun, apa gunanya semua itu jika harga yang harus dibayar adalah kehancuran ekonomi? Jika Jerman tidak segera bertindak, mungkin satu dekade dari sekarang, dunia akan mengenang negara ini bukan sebagai raksasa ekonomi, tetapi sebagai kisah peringatan tentang bagaimana sebuah bangsa besar bisa hancur oleh keputusan yang salah.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *