Opini
Runtuhnya Citra AS: Trump, Israel, dan Kebangkitan Tiongkok

Di ujung musim semi 2025, dunia memandang Amerika dengan sorot mata yang berbeda—dingin, skeptis, bahkan kecewa. Laporan Democracy Perception Index 2025, yang menyurvei 111.273 jiwa dari 100 negara, menggambarkan runtuhnya citra AS di panggung global. Donald Trump, kembali ke Gedung Putih, kini lebih dibenci ketimbang Putin, Xi Jinping, bahkan kalah pamor dari Kim Kardashian. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah cermin kegelisahan kolektif kita tentang arah dunia. Apa artinya ketika simbol demokrasi kehilangan cahayanya?
Bayangkan duduk di warung kopi di Jakarta, mendengar obrolan tentang Amerika yang kini terasa jauh, asing. Dulu, AS adalah impian—Hollywood, jeans Levi’s, janji kebebasan. Kini, laporan itu bilang, mayoritas dunia memandang AS negatif, terutama di Eropa, tempat kepercayaan anjlok paling dalam. Trump, dengan retorikanya yang kasar, menyebut Uni Eropa “mengerikan” dan “dibentuk untuk menipu AS,” seperti dikutip laporan tersebut. Ucapan itu bukan cuma gertakan; mereka mencabik soft power AS, meninggalkan luka di hati sekutu lama.
Laporan ini, dirilis oleh Alliance of Democracies Foundation dan Nira Data, bukan sekadar angka. Survei daring dari 9 hingga 23 April 2025 ini menangkap denyut perasaan global: 110.000 lebih responden, dari kampung di Afrika hingga kota-kota Asia, menyuarakan kekecewaan. Trump, dalam daftar tokoh dunia, terpuruk di dasar—di bawah Putin, Xi, bahkan tokoh pop seperti Taylor Swift. Ini bukan soal politik semata, tapi tentang bagaimana satu orang bisa mengguncang persepsi dunia. Pernahkah kita bertanya, seberapa rapuh citra sebuah bangsa?
Di Indonesia, misalnya, kita punya sejarah rumit dengan AS. Dari bantuan Marshall Plan pasca-kemerdekaan sampai kritik atas kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, kita selalu bimbang antara kagum dan curiga. Laporan ini bilang, dukungan AS untuk Israel jadi pemicu utama penurunan citra. Konflik Gaza, dengan laporan korban sipil yang mengerikan, membuat dunia marah. Di Timur Tengah dan Asia Selatan, Israel kini negara dengan reputasi terburuk. Bahkan di Jerman, sekutu setia, opini publik berbalik. Apa yang tersisa dari narasi “dunia bebas” kalau keadilan terasa pincang?
Saya teringat percakapan dengan seorang teman di Yogyakarta, yang bilang, “Dunia lagi capek sama Amerika yang sok jagoan.” Mungkin dia ada benarnya. Laporan ini menunjukkan Tiongkok, untuk pertama kalinya, mengungguli AS dalam persepsi global. Di Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, Tiongkok dipandang “kebanyakan positif.” Ini bukan cuma soal uang atau infrastruktur Belt and Road; ini soal narasi. Tiongkok menawarkan stabilitas, sementara AS terlihat kacau, terpecah oleh retorika Trump dan kebijakan luar negeri yang memicu amarah.
Tapi, benarkah Tiongkok sebegitu menawan? Di Eropa, persepsi tentang Tiongkok tetap negatif, mungkin karena nilai demokrasi masih dijunjung. Namun, di negara-negara berkembang, di mana pragmatisme sering menang atas idealisme, Tiongkok adalah mitra yang tak banyak omong soal hak asasi. Indonesia, sebagai pemain besar di ASEAN, merasakan tarik-menarik ini. Kita butuh investasi Tiongkok, tapi juga waspada pada pengaruhnya. Laporan ini, dengan datanya yang tajam, memaksa kita bertanya: ke mana arah kita dalam tatanan dunia yang bergeser?
Kembali ke AS, penurunan citra ini punya dampak nyata. Diplomasi jadi sulit ketika dunia tak lagi percaya. Bayangkan AS coba galang dukungan untuk sanksi terhadap Iran atau Rusia—siapa yang akan ikut kalau kepercayaan sudah pudar? Ekonomi juga kena. Citra buruk bisa mengurangi minat pelajar internasional, turis, atau investasi di AS. Soft power, yang dulu dibangun lewat Coca-Cola dan MTV, kini rapuh. Laporan ini bilang, kebijakan luar negeri AS, terutama soal Israel, jadi biang keladi. Dukungan untuk Netanyahu, yang kini menghadapi surat perintah ICC atas dugaan kejahatan perang, membuat AS terlihat munafik di mata banyak orang.
Israel sendiri dalam posisi lebih buruk. Laporan menyebutnya sebagai negara dengan reputasi terendah, terutama di Timur Tengah dan Asia Selatan. Konflik Gaza, yang terus bergulir dengan laporan korban sipil, mencoreng nama Israel bahkan di negara-negara Barat. ICC, dengan langkah beraninya menargetkan Netanyahu dan mantan menteri Yoav Gallant, menambah tekanan. Di warung-warung kopi di Jakarta atau kafe di Kairo, orang tak lagi melihat Israel sebagai korban, tapi sebagai pelaku. Ini pergeseran besar, dan AS, sebagai pendukung utama, ikut tenggelam dalam lumpur persepsi itu.
Ada ironi di sini. AS, yang selama dekade-dekade memproklamasikan diri sebagai benteng demokrasi, kini dipandang sebagai kekuatan yang memecah belah. Laporan ini bilang, persepsi tentang AS kini terpisah jauh dari bagaimana AS memandang dirinya sendiri. Di Amerika, Trump mungkin dirayakan oleh basisnya sebagai pemimpin yang “mengguncang sistem.” Tapi di luar, dia adalah simbol kekacauan. Kita, sebagai bagian dari dunia, ikut merasakan getarannya. Di Indonesia, misalnya, kita sering skeptis pada kekuatan besar, tapi juga bergantung pada mereka untuk perdagangan, keamanan, teknologi. Ketika AS goyah, dunia ikut limbung.
Lalu, apa artinya semua ini untuk kita? Laporan ini bukan cuma tentang AS atau Israel atau Tiongkok; ini tentang bagaimana kita, sebagai manusia, menimbang nilai-nilai yang kita pegang. Demokrasi, yang dulu dielu-elukan, kini dipertanyakan. Ketika AS, sebagai ikonnya, terpuruk, apakah kita masih percaya pada janji kebebasan? Atau kita mulai melirik model lain, seperti yang ditawarkan Tiongkok, yang menjanjikan ketertiban tanpa keriuhan? Pertanyaan ini menggantung, tak mudah dijawab.
Pada akhirnya, laporan ini adalah panggilan untuk refleksi. Dunia sedang berubah, dan kita tak bisa hanya jadi penonton. Indonesia, dengan posisinya yang strategis, punya peran untuk memilih jalan tengah—bekerja dengan AS, Tiongkok, dan lainnya tanpa kehilangan jati diri. Kita pernah belajar dari sejarah: kekuatan besar bisa naik, bisa jatuh. Tapi yang bertahan adalah mereka yang mendengar denyut zaman. Laporan ini, dengan segala datanya, adalah cermin. Pertanyaannya, apa yang kita lihat di dalamnya?
Kita mungkin tak punya jawaban pasti. Tapi di warung kopi itu, di tengah aroma robusta dan obrolan ringan, ada harapan kecil bahwa dunia, meski retak, masih bisa menemukan keseimbangan. Mungkin bukan lewat kekuatan besar, tapi lewat kita—manusia biasa yang terus bertanya, merenung, dan mencoba memahami.