Opini
Rudal Yaman Guncang Tel Aviv: Ben Gurion Terancam Blokade

Pagi itu, langit Tel Aviv kelabu, tiba-tiba sirene peringatan menggema, memecah sunyi. Suara itu bukan sekadar bunyi—ia jeritan yang membawa kengerian. Seperti dilaporkan Al Mayadeen, sebuah rudal dari Yaman melesat pada Minggu awal, memicu alarm di kota-kota seperti Netanya, Holon, hingga Ra’anana. Warga berlarian mencari perlindungan, jantung berdegup kencang, menanti ledakan yang akhirnya terdengar, meski militer Israel mengklaim rudal berhasil dicegat.
Di saat yang sama, malam di Gaza menjadi saksi kengerian lain. Lebih dari 90 nyawa melayang akibat serangan udara Israel, termasuk pengungsi di tenda-tenda rapuh, seperti dicatat Al Mayadeen. Angka itu bukan sekadar statistik—ia wajah, nama, dan mimpi yang sirna. Perang, meski jauh, mengingatkan kita: ketakutan itu universal, mampu menyentuh hati, bahkan saat kita hanya menonton dari layar ponsel.
Serangan ini bukan yang pertama. Pada 4 Mei 2025, Houthi menargetkan Bandara Ben Gurion dengan rudal balistik hipersonik, melukai beberapa orang, menurut The Times of Israel. Ruang udara ditutup sementara, lebih dari 70 penerbangan dibatalkan, kata Yedioth Ahronoth. Maskapai seperti Lufthansa dan Air France menangguhkan operasi, terpaksa mengalihkan rute. Gangguan itu nyata, sebuah tamparan bahwa jarak ribuan kilometer tak lagi jadi penghalang.
Lalu, pada 11 Mei, serangan lain terjadi. The Guardian (12 Mei 2025) melaporkan sirene kembali menggema di Tel Aviv, memaksa ruang udara ditutup selama 20 menit. Beberapa penerbangan dialihkan ke bandara seperti Ramon di Eilat, menurut Sky News (12 Mei 2025). Houthi, dengan rudal mereka, terus mengirim pesan: mereka bisa menyentuh Israel, kapan saja, dari Yaman yang jauh.
Puncaknya, pada 17 Mei, seperti dibagikan Ahmed_hassan_za di X, serangan lain mengguncang. Flightradar24 menangkap momen itu dengan jelas. Penerbangan ISR724 dari Budapest dialihkan ke Haifa, 90 kilometer dari Tel Aviv. Dua pesawat lain, ELY5136 dan ISR730, berputar-putar di lepas pantai, tak bisa mendarat di Bandara Ben Gurion. Reuters (18 Mei 2025) melaporkan ruang udara ditutup 30 menit karena serangan rudal Houthi.
Maskapai seperti Ryanair menunda penerbangan, sebuah keputusan yang mencerminkan ketidakpastian. The Wall Street Journal (18 Mei 2025) mencatat bahwa rudal hipersonik Houthi sulit dicegat, bahkan oleh sistem canggih seperti Arrow 3 atau THAAD. Kegagalan ini membuat maskapai was-was. Seorang pejabat penerbangan Eropa, dikutip Sky News (18 Mei 2025), berkata: “Risiko di Ben Gurion terlalu tinggi.” Langit Israel kini penuh ketidakpastian.
“Kami bertindak atas kewajiban moral, kemanusiaan, dan agama,” kata Yahya Saree, juru bicara Houthi, seperti dikutip Al Mayadeen.
Mereka menyebut ini “blokade udara,” sebuah respons atas apa yang mereka sebut genosida di Gaza. Houthi bahkan mengklaim keberhasilan memblokade kapal-kapal terkait Israel di Laut Merah sebelumnya. Tapi, benarkah ini sebuah blokade? Jerusalem Post (18 Mei 2025) mencatat Bandara Ben Gurion kembali normal pada pagi 18 Mei. Gangguan itu nyata, tapi singkat—seperti riak di permukaan air yang cepat reda.
Namun, riak kecil ini, jika terus berulang, bisa jadi gelombang yang menghantam keras. Financial Times (18 Mei 2025) menyebut Israel bergantung pada penerbangan internasional untuk terhubung dengan dunia. Jika serangan berlanjut, maskapai seperti KLM atau British Airways mungkin berhenti terbang ke Tel Aviv. Bloomberg (18 Mei 2025) memperkirakan kerugian ekonomi mencapai ratusan juta dolar, terutama karena pariwisata terancam ambruk.
Pariwisata menyumbang 3% PDB Israel, tapi serangan ini bisa mengulang krisis 2023, ketika kunjungan turis anjlok 80%, menurut Haaretz (7 Maret 2025). Bayangkan seorang turis yang bermimpi melihat Yerusalem, tapi membatalkan rencana karena takut pesawatnya dialihkan. Atau seorang pebisnis yang menunda perjalanan karena khawatir sirene tiba-tiba berbunyi. Koneksi terputus, harapan memudar—semua karena langit yang tak lagi aman.
Efeknya lebih dari sekadar ekonomi. The Guardian (18 Mei 2025) melaporkan serangan Houthi menciptakan ketidakpastian di kalangan maskapai. Setiap sirene yang berbunyi membawa ketakutan yang tak terucap. BBC (18 Mei 2025) mencatat jutaan warga Israel berlarian mencari perlindungan saat sirene menggema pada 17 Mei. Ketidaktenangan itu meresap, menjadi bagian dari keseharian yang tak pernah benar-benar damai.
Di sisi lain, Yaman menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Al Mayadeen melaporkan Bandara Sanaa kembali beroperasi pada 10 Mei, melayani 575 penumpang, meski baru diserang Israel. Ini bukan hanya soal infrastruktur—ini tentang semangat yang tak padam. Mereka bangkit, meski di tengah gempuran. Tapi, ketahanan ini juga menyisakan ironi. Perang terus berinovasi, tapi kedamaian tetap sebuah mimpi yang jauh.
Saya teringat seorang teman di Jakarta, yang pernah bilang, “Aku takut, meski perang itu jauh.” Mungkin karena kita tahu, di lubuk hati, konflik ini bukan sekadar “urusan mereka.” The Economist (18 Mei 2025) memperingatkan eskalasi Houthi bisa meluas, menarik Iran atau kelompok lain di Timur Tengah. Sementara itu, nyawa terus melayang—di Gaza, di Yaman, di mana saja perang merenggut.
Israel tak tinggal diam. Haaretz (18 Mei 2025) melaporkan mereka bekerja sama dengan AS untuk meningkatkan sistem pertahanan udara, seperti Arrow 3 dan THAAD. Tapi, tantangan tetap ada. The Wall Street Journal (18 Mei 2025) menyebut rudal Houthi sulit dilacak, sebuah ancaman yang terus berkembang. Serangan balasan Israel ke Sanaa, menurut Al Arabiya (18 Mei 2025), menunjukkan siklus kekerasan yang tak kunjung usai.
Middle East Eye (18 Mei 2025) mencatat Houthi memanfaatkan serangan ini untuk menekan Israel secara psikologis. Setiap pesawat yang berbalik, setiap sirene yang berbunyi, adalah pengingat bahwa damai masih jauh. BBC (18 Mei 2025) mengutip seorang analis: serangan Houthi tak cukup melumpuhkan Israel, tapi cukup membuat mereka tak tenang. Ketidaktenangan itu sendiri sebuah kemenangan, bukan?
Saya termenung, menatap langit pagi yang cerah di luar jendela. Di sini, burung masih berkicau, angin masih sejuk. Tapi, di belahan dunia lain, langit adalah sumber ketakutan. Seorang ibu di Gaza mungkin memeluk anaknya, berdoa malam ini tak ada ledakan. Seorang ayah di Tel Aviv mungkin menatap langit, khawatir sirene kembali berbunyi. Perang itu nyata, meski kita hanya melihatnya dari kejauhan.
Pagi ini, di mana pun kita berada—mungkin di balkon sambil mendengar burung berkicau—kita masih bisa merasakan damai, meski sementara. Tapi, di belahan dunia lain, damai adalah kemewahan. Serangan Houthi, gangguan di Ben Gurion, dan penderitaan di Gaza adalah luka nyata yang menggurat di hati banyak orang. Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin hanya berdoa—atau sekadar berharap, suatu hari, sirene tak lagi berbunyi.