Opini
Rudal Iran Menembus Pangkalan, Satelit Menembus Dusta Israel

Radar tak berbohong. Ia tak punya nasionalisme, tak punya kepentingan politik, dan tentu saja tak bisa diminta bungkam seperti jurnalis di negeri yang merasa diri sebagai demokrasi paling tangguh di Timur Tengah. Radar hanya bicara lewat gelombang dan perubahan permukaan. Dan kali ini, ia bersaksi: setidaknya lima fasilitas militer Israel dihantam langsung oleh rudal Iran selama perang dua belas hari itu. Bukan rumah kosong, bukan lapangan terbuka, tapi pangkalan udara, pusat intelijen, dan basis logistikātulang punggung militer yang selama ini digambarkan nyaris tak tersentuh.
Tapi Anda tak akan menemukan kabar itu di koran Israel. Tak akan Anda lihat breaking news-nya di siaran lokal. Kenapa? Karena negara yang mengklaim diri sebagai pulau stabilitas di tengah lautan kekacauan itu, rupanya memberlakukan sensor militer seketat negara-negara yang selama ini mereka tuding otoriter. Rupanya, saat misil menghantam jantung pertahanan, yang pertama diaktifkan bukanlah sistem peringatan dini, melainkan sistem pembungkaman opini. Yang rusak jangan dibocorkan, yang bocor jangan disebut rusak.
Sementara itu, di kampus seberang lautan, para akademisi di Oregon State University yang tak punya kepentingan langsung dalam perang ini, menatap citra radar dengan keheranan: āIni bukan sekadar luka kecil.ā Enam rudal Iran berhasil melubangi tubuh militer Israel yang katanya dilindungi Iron Dome, Davidās Sling, Arrow, THAAD, dan puluhan sistem pertahanan lainnya. Total 41 serangan menembus sistem pertahananā36 ke fasilitas sipil dan industri, 5 ke pangkalan militer. Kalau ini disebut kemenangan mutlak oleh Israel, maka barangkali kita harus mendefinisikan ulang kata ākemenangan.ā
Israel, tentu, tetap menjaga narasi resmi: āSemua unit tetap berfungsi normal.ā Tentu saja. Karena mengaku lumpuh adalah bentuk kelemahan. Mengaku terkena pukulan adalah dosa besar dalam logika geopolitik Timur Tengah. Maka kata-kata seperti āfunctional continuityā menjadi pelindung ilusi. Tapi bahkan ilusi paling rapi pun tak bisa menutupi kenyataan bahwa 15.000 orang kehilangan rumah, bahwa video-video menunjukkan ledakan di pusat kota, bahwa warga diminta berjaga di dalam āsafe roomā bukan sekali-dua.
Iron Dome selama ini dijual sebagai teknologi keajaiban. Dianggap pagar gaib yang bisa menangkis hujan roket. Tapi realitas tak seindah animasi promosi. Persentase keberhasilan sistem itu merosot hari demi hari, dari lebih dari 90% menjadi 84%, 80%, hingga akhirnya 16% serangan mampu menembus. Dan alasan utamanya bukan keajaiban teknologi Iran, tapi keletihan. Jumlah rudal pencegat terbatas, dan musuhnya tahu itu. Iran memadukan rudal cepat dan drone lambat. Serangan simultan itu membuat sistem pertahanan bingung memilih: yang cepat atau yang licik dulu yang ditangkis?
Tentu saja, para pejabat Iran sedang berpesta narasi. Kartun-kartun yang mengejek Iron Dome tersebar di media lokal mereka, diiringi lagu-lagu revolusi dan klaim ākami menangā. Tapi apakah mereka benar-benar menang? Itu tergantung siapa yang menulis sejarah. Tapi satu hal yang pasti: mereka berhasil menunjukkan bahwa mereka mampu menghantam Israel secara langsung. Dan itu saja sudah cukup untuk mengubah peta psikologis perang. Mereka membuktikan bahwa mereka bukan sekadar penyandang proxy, bukan sekadar pemain bayangan. Mereka bisaādan sudahāmenyerang langsung.
Lalu kita tiba pada absurditas paling menarik dari semua ini: negara yang selama ini menuding Iran sebagai sumber ancaman global, ternyata tak berani mengakui ketika terkena serangan. Bahkan jurnalis seperti Raviv Drucker secara terbuka mengatakan, āAda banyak serangan ke pangkalan militer IDF yang tidak pernah diberitakan.ā Sebuah pengakuan jujur dari seorang yang hidup di dalam sistemābahwa publik mereka dibutakan, bukan demi keselamatan, tapi demi menjaga mitos tak terkalahkan.
Dan di sinilah letak ironinya. Israel yang biasanya lihai dalam operasi informasi, kali ini justru kelabakan mengelola persepsi. Sebab kali ini, musuhnya bukan hanya datang dengan misil, tapi juga dengan kamera satelit dan data akademik dari belahan dunia lain. Fakta tidak bisa disensor selamanya. Terutama ketika rumah-rumah hancur, keluarga mengungsi ke hotel, dan rakyat bertanya: benarkah semua ini di bawah kendali?
Tak perlu kita berpura-pura netral. Ini bukan pertandingan sepak bola. Ini perangādan dalam perang, nyawa, harga diri, dan kebenaran saling tindih tanpa permisi. Tapi sebagai manusia biasa, sebagai orang yang hidup jauh dari medan tempur namun tetap tersangkut dalam pusaran informasi, kita boleh bertanya: mengapa kebenaran begitu mahal? Mengapa yang paling cepat diselamatkan adalah kehormatan naratif, bukan korban yang kehilangan tempat tinggal?
Kalau kita tarik ke konteks lokal, barangkali kita bisa membayangkan bagaimana pemerintah kita akan merespons jika radar dari luar negeri tiba-tiba menunjukkan bahwa markas militer besar di Jakarta dihantam rudal, sementara berita nasional bilang: āSemua terkendali.ā Akankah kita diam, atau kita bertanya-tanya dalam diam yang getir?
Kisah ini tak cuma soal Iran dan Israel. Ini soal bagaimana dunia modernāyang katanya transparan dan berbasis dataāmasih bisa dikunci oleh sensor dan ilusi. Ini soal bagaimana kebenaran hari ini tak lagi dibentuk oleh wartawan di lapangan, tapi oleh gambar satelit dan para akademisi di laboratorium yang sunyi. Dan ini juga tentang bagaimana, bahkan dalam perang teknologi, peran manusia tetap vitalābukan dalam menembakkan senjata, tapi dalam mempertanyakan: siapa yang sebenarnya menang?
Mungkin kita semua sedang berada di titik pergeseran: dari zaman asymmetric dominationāsatu pihak mendominasi totalāke era mutual deterrence, di mana kedua pihak sadar bahwa saling menghancurkan adalah konsekuensi logis dari arogansi. Dalam kondisi ini, diam bisa jadi kemenangan, dan membalas bisa jadi bumerang. Kedua pihak tahu itu. Tapi publik tak selalu diberi tahu. Maka lahirlah sensor.
Akhirnya, kita kembali pada radar. Mesin yang tak bisa berbohong, tak bisa disuap, dan tak bisa dibungkam. Ia hanya menunjuk: di sini ada lubang, dan itu bukan lubang kecil. Jika kebenaran butuh sekian banyak teknologi untuk bisa sampai ke publik, maka mungkin yang benar-benar kita perlukan bukanlah sistem pertahanan baru, tapi sistem kejujuran baru.
Dan semoga, suatu hari nanti, kebenaran tak lagi perlu menunggu satelit Amerika untuk berbicara.