Opini
Rudal Iran, Ketakutan Israel, dan Waktu yang Hilang

“Peluncuran terbaru Iran kini masuk akal…”—kata-kata itu terdengar seperti bisikan yang mengguncang, membawa kita pada kenyataan baru, di mana waktu untuk berlindung kini menyusut drastis—mengubah rasa aman menjadi kemewahan yang tak lagi dijamin. Israel, melalui pernyataan resmi mereka, mengakui adanya perubahan taktik signifikan dari pihak Iran: dari penggunaan peluncur tetap dalam jumlah besar menjadi penggunaan 3-4 peluncur mobile yang bergerak cepat, menembak, lalu menghilang. Pada 17 Juni 2025, pukul 06:26 WIB, laporan dari thread analis terbuka di X oleh Arya (@AryJeay) menegaskan bahwa waktu peringatan dini kini hanya sekitar 10 menit—atau bahkan kurang—dibandingkan 30 menit sebelumnya. Di balik angka-angka ini, membayang ketegangan yang terus mendesak, memaksa kita bertanya: bagaimana memahami langkah-langkah ini tanpa kehilangan perspektif kemanusiaan?
Laporan tersebut menggambarkan strategi adaptif Iran yang semakin presisi. Peluncur mobile, seperti transporter-erector-launchers (TELs) yang mengangkut rudal Zelzal dan Qiam, sebenarnya bukan hal baru. Menurut Wikipedia, TELs sudah digunakan Iran sejak perkembangan awal program rudalnya pasca-Perang Iran-Irak 1980–1988. Namun kini, penggunaan hanya 3–4 unit yang bergerak secara lincah, di medan yang luas, menciptakan tantangan serius bagi sistem deteksi dini Israel. Kecepatan gerak peluncur mobile dan tembakannya yang instan membuatnya sulit dilacak secara real-time. Ditambah lagi, menurut IDF sebagaimana dikutip The Jerusalem Post (13 Juni 2025), Iran memiliki sekitar 2.000 unit rudal balistik—angka yang cukup untuk menopang pendekatan taktis ini dalam jangka waktu yang panjang. Kita bisa bertanya: apakah ini menunjukkan ketangguhan dan kecanggihan Iran dalam bertahan hidup, atau justru menandakan mereka mulai menekan semua sumber daya tersisa?
Serangan balasan Iran pada 13–14 Juni 2025 memberikan gambaran nyata akan dampaknya. Menurut laporan CBS News, tiga warga sipil tewas dan puluhan lainnya terluka akibat rudal yang jatuh di Tel Aviv dan sekitarnya. IDF mencatat bahwa sekitar 50 rudal tidak dicegat karena diarahkan ke area terbuka, namun sejumlah rudal yang “lolos” tetap menciptakan luka yang dalam, baik fisik maupun psikologis. Bayangkan suara sirene yang membelah malam, detik-detik panik saat orang-orang berlarian mencari perlindungan—dan kini, dengan waktu respons yang makin sempit, bagaimana hati mereka bertahan? Ini bukan sekadar soal angka, tetapi kisah tentang ketegangan dan kelelahan mental, yang setiap harinya menggerus daya tahan warga sipil.
Israel juga tidak tinggal diam. Mereka menyesuaikan sistem peringatan domestik mereka. Home Front Command, sebagaimana dilaporkan oleh The Times of Israel, sebelumnya memberikan waktu antara 15 hingga 30 menit bagi warga untuk mencapai tempat perlindungan—jangka waktu yang dianggap cukup untuk menyelamatkan nyawa. Namun kini, dengan ancaman rudal hipersonik dan peluncur mobile yang tak mudah diprediksi, waktu itu menyusut drastis. Laporan mencatat 80 orang luka-luka dan tiga jiwa meninggal dunia karena tidak sempat mencapai tempat perlindungan. Ini bukan semata kegagalan sistem, tetapi juga ujian atas kepercayaan publik terhadap perlindungan negara. Apakah sistem yang dibangun selama puluhan tahun cukup tangguh untuk menghadapi perubahan ini, atau justru mulai memperlihatkan batas teknologis dan logistiknya?
Strategi Iran, meskipun tampak cerdas dan adaptif, juga menunjukkan sisi rentannya. Thread analis terbuka di X, termasuk dari pengguna seperti @RicefrmrGothrdr, mencatat bahwa volume rudal yang diluncurkan Iran kini menurun secara signifikan—dari 80–100 rudal di hari pertama menjadi hanya 15–30 rudal di hari-hari berikutnya. Efek destruktifnya pun terlihat mengecil. Pertanyaannya: apakah ini cukup untuk menekan Israel ke meja negosiasi? Kemungkinan besar tidak. Namun demikian, mobilitas dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh peluncur mobile tetap menjadi “senjata psikologis” yang efektif. Seperti dianalisis oleh Total Military Insight (30 Juni 2024), sistem ini lebih sulit diprediksi dan dilumpuhkan, menciptakan ruang abu-abu yang mempersulit Israel mengambil langkah tegas tanpa kalkulasi risiko yang tinggi.
Konflik ini pun mulai berdampak ke ranah internasional. Negara-negara Eropa menyatakan kekhawatiran mereka terhadap potensi eskalasi regional yang lebih luas. Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Jerman pada 15 Juni 2025, disebutkan bahwa beberapa negara mulai meninjau ulang kesiapan mereka menghadapi potensi keterlibatan tidak langsung, baik dalam bentuk evakuasi warganya maupun pengetatan kerja sama militer di kawasan. Langkah-langkah ini mencerminkan bahwa konflik antara Iran dan Israel, meski terlihat regional, berpotensi menyeret kepentingan global—dan itu menjadikannya jauh lebih berbahaya dari sekadar serangan saling balas rudal.
Iran, dengan jaringan basis rudal bawah tanah seperti di Bakhtaran (data Wikipedia), tampaknya berusaha memperkuat daya tahan logistik mereka. Namun seperti setiap sistem pertahanan, ia pun punya celah. Israel, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat, berpotensi memperkuat sistem pertahanan THAAD untuk menambal kelemahan deteksi yang selama ini jadi celah. Dengan sistem radar jarak jauh dan intercept berbasis ketinggian tinggi, THAAD memberi peluang untuk menghadapi ancaman mobile yang sulit diprediksi. Maka pertanyaannya: di mana ujung dari perlombaan ini? Apakah kedua pihak akan terus berlomba dalam inovasi militer tanpa henti, atau akan tiba satu titik di mana suara damai, betapa pun samar, masih bisa didengar?
Hingga saat ini, di dini hari yang sunyi, pukul 06:26 WIB, tanggal 17 Juni 2025, dunia masih berada di ambang ketidakpastian. Pernyataan resmi dari IDF menyebutkan bahwa Iran tengah merencanakan penggandaan stok rudal balistiknya—sebuah sinyal bahwa krisis ini belum akan mereda. Namun bagi warga biasa, baik di Iran maupun Israel, isu ini tak lagi semata persoalan politik atau militer, tapi soal bertahan hidup. Suara sirene, laporan korban jiwa, dan waktu respons yang kian sempit membentuk gambaran perang modern yang menyayat: perang di mana kemenangan bukan lagi soal mengalahkan, tapi soal tetap hidup hari demi hari.
Di tengah tumpukan data, taktik militer, dan narasi negara, dimensi manusia tetap tak boleh hilang. Konflik ini bukan hanya soal rudal dan peluncur, tapi juga soal keluarga yang harus memutuskan apakah mereka punya cukup waktu untuk lari ke bawah tanah, anak-anak yang terbangun karena ledakan, dan orang tua yang berdoa agar rumah mereka tidak menjadi sasaran berikutnya. Dan dari tempat kita berdiri, jauh dari medan perang, kita tetap bisa memilih untuk tidak memalingkan wajah. Barangkali kita tak bisa menghentikan rudal, tapi kita bisa merawat empati—dan dengan itu, menjaga nurani tetap hidup.
Mungkin, dari refleksi yang terus kita rawat, akan tumbuh langkah-langkah kecil menuju akhir dari siklus panjang ini. Sebab dalam setiap konflik, selalu ada pilihan: memperpanjang penderitaan atau mulai menata kemungkinan damai. Dan siapa tahu, di tengah hingar-bingar sirene dan suara ledakan, akal sehat masih bisa berbicara—jika kita mau mendengarkannya.