Opini
Rough Rider: $1 Miliar untuk Kegagalan di Pasir Yaman

Di tengah gemerlap kekuasaan Washington, di mana dolar-dolar berhamburan seperti confetti di parade kemenangan yang tak pernah terjadi, Operasi Rough Rider lahir. Laporan NBC News mengungkap realitas yang nyaris absurd: lebih dari $1 miliar telah dikucurkan sejak Maret untuk menghajar Ansarullah di Yaman, namun hasilnya? Gerakan itu tetap berdiri tegak, meluncurkan rudal ke Bandara Ben Gurion, seolah menertawakan armada canggih Amerika. Kegagalan ini bukan sekadar angka, melainkan cermin dari ambisi yang terlalu congkak, yang kini membuat kita bertanya: apa gunanya kekuatan super jika hanya menghasilkan asap dan utang?
Bayangkan, 2.000 munisi, termasuk 75 rudal Tomahawk yang masing-masing berharga jutaan dolar, ditambah ratusan bom seberat 2.000 pon, diluncurkan dengan keyakinan bahwa Ansarullah akan bertekuk lutut. Tapi Yaman, tanah yang sudah luka oleh perang saudara, bukanlah sasaran empuk. Drone-drone AS yang dikirim untuk memata-matai hasil serangan justru ditembak jatuh, meninggalkan Pentagon dalam kabut intelijen. Tanpa boots on the ground, Amerika seperti petinju buta yang menghantam udara, hanya untuk mendengar tawa lawan dari kejauhan. Biaya logistik pun membengkak: 73 penerbangan C-17 hanya untuk mengangkut satu sistem Patriot. Ini bukan lagi operasi militer; ini adalah ekstravaganza pemborosan.
Lalu, tiba pengakuan pahit. Trump, yang dulu berjanji akan membuat Amerika “great again,” kini menelan ludah sendiri. Operasi Rough Rider, yang dimulai 15 Maret dengan nama gagah bak film koboi, berakhir dengan kesepakatan yang dimediasi Oman. AS menghentikan serangan, dan Ansarullah setuju untuk tidak menyerang kapal-kapal Amerika—tapi hanya itu. Serangan ke Israel? Tetap lanjut. Pelayaran komersial di Laut Merah? Masih terancam. Perang saudara di Yaman? Tak tersentuh. Seperti kata Dana Stroul, mantan pejabat Pentagon, “Kalian bisa kirim kapal lewat Laut Merah dan bilang sukses, tapi inti konfliknya? Nol perubahan.” Ironis, bukan? Negeri adidaya menawar separuh kemenangan, lalu menamainya keberhasilan.
Mari kita ke angka-angka, karena di sinilah absurditasnya mencuat. Lebih dari $775 juta untuk munisi saja, belum termasuk biaya transportasi dan dua sistem Patriot yang harganya bikin dompet menangis. Totalnya? Lebih dari $1 miliar, atau kalau dihitung dalam konteks lokal, cukup untuk membiayai pembangunan ribuan sekolah di pelosok Indonesia. Tapi apa yang didapat? Ansarullah masih berdiri, lebih kuat, lebih berani. Rudal mereka menembus langit, seolah berkata, “Kalian punya dolar, kami punya semangat.” Sementara itu, AS kehilangan drone, kehilangan muka, dan kehilangan arah. Stroul, kini di Washington Institute, menyindir halus: “Washington punya perhatian pendek dan kesabaran yang lebih pendek lagi.” Kalau ini bukan definisi kegagalan, apa lagi?
Tapi tunggu, cerita ini belum selesai tanpa drama internal. Administrasi Trump, yang konon bersatu di bawah bendera MAGA, ternyata retak. Jeffrey Goldberg, editor The Atlantic, secara tak sengaja masuk ke grup Signal pejabat senior, dan apa yang ia temukan? JD Vance, sang wakil presiden, mengeluh, “Trump nggak tahu apa yang dia hadapi.” Ini bukan lagi soal strategi; ini soal ego yang bertabrakan di ruang rapat. Jenderal Erik Kurilla, yang diberi kuasa besar, mendapati dirinya terjebak dalam debat tentang seberapa jauh AS harus terlibat. Hasilnya? Kebijakan yang setengah hati, operasi yang setengah matang, dan dunia yang menyaksikan Amerika tersandung di panggung global.
Kalau boleh jujur, seperti komedi tragis. AS, dengan segala teknologi dan kekuatannya, tak mampu menundukkan kelompok yang beroperasi dari pegunungan Yaman. Ansarullah, didukung Iran, bukan sekadar gerilyawan; mereka adalah simbol ketahanan yang membuat Pentagon pusing. Kegagalan ini bukan cuma soal militer, tapi soal pemahaman. AS meremehkan lawan, mengira bombardir bisa menyelesaikan segalanya. Padahal, seperti kata pepatah Jawa, “Wong cilik yen wis nekad, sing gedhe bakal kalah.” Orang kecil kalau sudah bertekad, raksasa pun bisa tumbang.
Sekarang, mari kita tarik napas dan refleksikan. Operasi Rough Rider adalah cermin dari pola lama: intervensi militer tanpa strategi jangka panjang. Yaman bukan Irak, bukan pula Afghanistan, tapi AS tetap menggunakan resep usang—hujani bom, lalu berharap damai. Hasilnya? Laut Merah masih rawan, perdagangan global terganggu, dan Ansarullah jadi legenda. Kesepakatan dengan Oman, meski disebut “kemenangan” oleh beberapa pejabat, hanyalah selubung untuk menutupi luka. Trump mungkin akan mengklaim keberhasilan karena kapal AS aman—untuk sementara. Tapi dunia tahu, ini bukan kemenangan; ini adalah kompromi yang lahir dari kelelahan.
Dari sudut pandang kita di Indonesia, kisah ini terasa jauh, tapi juga dekat. Kita tahu betapa mahalnya harga ambisi yang salah arah. Bayangkan jika Rp15 triliun—ekuivalen $1 miliar—dihabiskan untuk proyek yang gagal di negeri ini. Publik akan berteriak, media akan menggonggong, dan DPR akan menggelar sidang maraton. Tapi di AS, kegagalan ini diterima dengan pundak terangkat, seolah $1 miliar hanyalah receh. Ini adalah ironi dari kapitalisme militer: uang mengalir, senjata meledak, tapi solusi? Entah di mana.
Lalu, apa pelajaran dari semua ini? Pertama, kekuatan militer bukan jawaban untuk setiap masalah. Ansarullah, dengan segala keterbatasannya, membuktikan bahwa semangat dan strategi bisa mengalahkan dolar. Kedua, intelijen adalah nyawa dari operasi militer. Tanpa data yang solid, AS hanya menebak-nebak, dan tebakannya salah. Ketiga, dunia tidak lagi takut pada Amerika. Yaman, negeri yang dilanda kelaparan dan perang, berani menantang adidaya. Ini adalah tanda zaman: hegemoni AS mulai retak, dan celahnya terlihat di pasir-pasir Sana’a.
Sebagai penutup, mari kita tersenyum miris. Operasi Rough Rider, dengan nama yang gagah dan biaya yang fantastis, berakhir seperti film Hollywood yang gagal: banyak ledakan, tapi ceritanya kosong. Ansarullah tetap berdiri, rudal mereka masih melayang, dan AS? Kembali ke meja perundingan, menelan pil pahit yang disebut realitas. Kita, sebagai penonton, hanya bisa menggelengkan kepala. Dunia ini, dengan segala kegilaannya, mengajarkan satu hal: kadang, yang paling kuat justru yang paling rapuh. Dan di Yaman, Amerika belajar itu dengan cara yang sangat, sangat mahal.