Connect with us

Opini

Roti, Darah, dan Dunia yang Diam: Tragedi Gaza di Tengah Keputusasaan

Published

on

Pagi itu di Khan Younis, Gaza, 51 nyawa melayang. Mereka tewas bukan karena membawa senjata, melainkan karena menunggu truk bantuan yang membawa tepung. Lebih dari 200 orang lainnya luka-luka—tubuh mereka bersimbah darah, tergeletak di tanah berdebu yang seharusnya menjadi tempat harapan, bukan pembantaian. Hanya karena mereka mencoba mencari sekarung tepung demi mengisi perut keluarga yang kelaparan, mereka dihukum mati. Kementerian Kesehatan Palestina menyebut peristiwa ini sebagai salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam dalam pekan-pekan terakhir. Di Gaza, kini, bahkan roti bisa jadi alasan kematian. Maka, apa artinya kemanusiaan jika hidup manusia begitu murah di mata dunia?

Laporan CNN menyampaikan angka dan kronologi. Namun bagi mereka yang hidup dalam blokade itu, ini bukan sekadar statistik. Ini adalah jeritan kolektif dari 2,1 juta jiwa yang dikurung dalam kepungan kelaparan, peluru, dan keputusasaan. Hampir 400 warga Palestina tercatat tewas di sekitar pusat bantuan sejak Israel mencabut blokade 11 minggu lalu, menurut data dari Kementerian Kesehatan Palestina. Bantuan kemanusiaan yang masuk? Hanya setetes di lautan kebutuhan. PBB sendiri telah memperingatkan: Gaza berada di ambang kelaparan massal. Namun dunia tampak sibuk dengan urusannya sendiri.

Di Rafah, tragedi serupa terjadi. Delapan orang meninggal saat berusaha mengakses bantuan di lokasi distribusi. Di balik semua itu, Gaza Humanitarian Foundation (GHF)—lembaga yang didukung oleh Israel dan AS—ikut disorot karena mendirikan pusat distribusi di tengah zona perang aktif. Sejak pusat itu berdiri, lebih dari 3.000 orang terluka di sekitarnya. Pernyataan GHF yang menyebut bahwa tidak ada kekerasan di lokasi mereka, terdengar absurd ketika fakta di lapangan menunjukkan darah mengalir hampir setiap hari. Narasi “aman” menjadi kabur saat nyawa melayang hanya beberapa meter dari tenda bantuan.

Mohammed Abu Abed, seorang saksi mata, menceritakan detik-detik tragedi Khan Younis kepada CNN. “Kami menunggu truk pembawa tepung. Tiba-tiba dua rudal menghantam. Tubuh-tubuh tercerai-berai. Daging dan darah di mana-mana,” katanya dengan suara bergetar. “Mereka hanya ingin membawa roti untuk anak-anak mereka. Tapi dibunuh dengan darah dingin.” Pernyataan ini bukan hanya testimoni—ini adalah dakwaan atas sistem yang mempersenjatai kelaparan dan menjadikan distribusi bantuan sebagai lahan pembantaian.

Tentara Israel (IDF) mengklaim mereka tidak mengetahui adanya serangan udara di lokasi. Namun video yang tersebar dari Khan Younis memperlihatkan puluhan jenazah bergelimpangan, darah merembes ke tanah, dan teriakan warga yang histeris. Pertanyaannya: bagaimana bisa sebuah militer yang mengklaim “presisi tinggi” tak tahu-menahu soal serangan yang menewaskan puluhan warga sipil? Bagaimana bisa serangan seperti itu tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan militer yang sangat canggih? Jawaban “tidak tahu” adalah kemewahan yang tak pantas di tengah tragedi sebesar ini.

Di Nasser Medical Complex, rumah sakit terbesar di wilayah itu, para dokter berjuang di tengah kekacauan. Fasilitas kewalahan. Jenazah diletakkan di luar ruangan karena kamar mayat tak lagi mampu menampung. Seorang dokter dari organisasi Medical Aid for Palestinians (MAP) menggambarkan suasana sebagai “kondisi di luar batas imajinasi”. Pasien terbaring di lantai, luka terbuka, menanti perawatan yang tak kunjung datang karena kurangnya tenaga dan peralatan medis.

Seorang ibu, matanya sembab, memeluk jenazah putranya yang masih berusia 20 tahun. “Dia bukan pergi berpesta,” katanya lirih. “Dia hanya ingin membawa makanan untuk adik-adiknya.” Tak ada kalimat yang lebih jujur dan menyayat dari itu. Satu nyawa hilang demi sekarung tepung. Dan entah berapa lagi yang akan menyusul jika dunia terus diam.

Volker Türk, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, menulis di platform X (dulu Twitter): “Israel menggunakan makanan sebagai senjata dan menghalangi bantuan.” Ia menyerukan penyelidikan independen atas serangan terhadap warga yang mengantre bantuan. Namun seruan itu seperti suara di tengah badai—terdengar sejenak lalu tenggelam. IDF, dalam pernyataannya, hanya berkata mereka “menyesali” jatuhnya korban sipil dan sedang menyelidiki peristiwa tersebut. Tapi “penyesalan” terasa terlalu ringan bagi darah yang sudah tumpah dan keluarga yang hancur.

Mereka berdalih bahwa operasi dilakukan demi “keamanan pasukan.” Tapi berapa banyak lagi warga sipil yang harus menjadi korban sebelum dunia mengakui bahwa ini bukan sekadar perang, melainkan pembantaian? Di mana batas antara pertahanan diri dan penghancuran sistematis?

Kita di Indonesia menyaksikan semua ini dari layar—dari televisi, media sosial, dan berita daring. Tragedi itu terasa jauh, tetapi sesungguhnya dekat di hati banyak dari kita. Sejarah perjuangan bangsa ini mengajarkan nilai-nilai kemerdekaan dan solidaritas. Rakyat Indonesia telah lama menunjukkan empati—melalui demonstrasi di Monas, donasi untuk Gaza, hingga gerakan boikot produk yang mendukung penjajahan. Namun bagaimana dengan negara? Meski pemerintah vokal mengecam agresi Israel dalam forum internasional, langkah konkret seperti mendesak PBB untuk memberikan sanksi, menyalurkan bantuan langsung, atau menjalin koordinasi dengan negara-negara Arab untuk menekan agresor, masih sangat terbatas.

Solidaritas bukan hanya tentang ucapan. Ia harus diterjemahkan dalam tindakan nyata. Bukankah jika kita membanggakan dukungan pada Palestina, maka kita juga harus menakar sejauh mana tindakan kita memberi arti? Atau jangan-jangan, diam kita juga bagian dari masalah?

Tragedi ini mengingatkan pada masa-masa tergelap sejarah modern. Dunia pernah diam saat Rwanda berdarah. Dunia juga lamban bereaksi ketika Bosnia dibantai. Kini, Gaza menjadi cermin atas kegagalan kolektif kita dalam merespons krisis kemanusiaan. Dan jika kita biarkan, besok bisa jadi kita yang memohon bantuan, tapi tak ada yang mendengar. Sebab, krisis kemanusiaan tak mengenal batas negara, agama, atau warna kulit. Hari ini Gaza, besok mungkin tempat lain. Siapa tahu?

Laporan CNN itu bukan sekadar laporan berita. Ia adalah cermin. Cermin yang memperlihatkan kegagalan sistem internasional dalam menjaga nyawa manusia. Dan yang paling menyesakkan: bahkan lembaga kemanusiaan yang seharusnya jadi penyelamat pun kini diragukan netralitas dan efektivitasnya. GHF, misalnya, bukannya menghadirkan solusi, justru menjadi sumber konflik karena kedekatannya dengan kekuatan pendudukan.

Apa yang dibutuhkan untuk membuka mata dunia? Apakah ratusan korban belum cukup? Apakah anak-anak yang tewas karena kelaparan dan bom belum memantik empati? Ataukah dunia memang hanya peduli ketika tragedi terjadi di tempat yang lebih “layak dikasihani”?

Tulisan ini bukan hanya tentang Gaza. Ini tentang kita. Tentang bagaimana kita memaknai kemanusiaan. Di negeri yang pernah merasakan pahitnya penjajahan, kita tahu betul harga dari kebebasan dan kemerdekaan. Maka, saat saudara kita di Palestina berjuang untuk sekadar bertahan hidup, apakah kita akan memilih diam?

Solidaritas bisa dimulai dari langkah kecil: menyebarkan informasi yang benar, mendukung lembaga yang terpercaya menyalurkan bantuan, mendorong pemerintah untuk berbuat lebih tegas secara diplomatik. Tidak semua harus turun ke jalan. Tapi semua bisa berbuat sesuatu. Gaza tidak butuh simpati kosong, tapi aksi nyata.

Khan Younis bukan akhir. Ia hanya satu dari ribuan fragmen penderitaan yang terjadi tiap hari di Gaza. Saat tulisan ini berhenti di kertas, realitas di sana terus berjalan. Mungkin pagi ini, ada seorang ibu lain yang kehilangan anak. Seorang dokter yang kehabisan perban. Seorang anak yang terbangun bukan oleh nyanyian pagi, tapi oleh dentuman bom. Gaza menjerit. Dan jeritan itu, jika kita dengarkan baik-baik, adalah panggilan untuk kita semua.

Maka, pertanyaannya: apa yang akan kita lakukan? Menutup mata dan hati? Atau mulai melangkah, walau kecil, demi kemanusiaan yang masih bernapas?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *