Opini
Revolusi Inggris: Dari Empire ke IGD

Di sebuah sudut rumah sakit Furness di Cumbria, Inggris, sebelas perempuan muda datang silih berganti. Mereka bukan pasien biasa. Mereka tahu dosis pasti untuk overdosis yang tak mematikan. Mereka hafal jenis barang rumah tangga yang bisa ditelan agar cukup mengkhawatirkan untuk mendapat ranjang semalam di instalasi gawat darurat. Mereka bukan ingin mati—mereka cuma ingin tidur tanpa rasa takut. Di tempat yang hangat. Di dunia yang katanya modern, tapi tak sanggup memberi tempat berlindung untuk yang rapuh.
Angka tak pernah bohong, tapi juga jarang menggugah. Jadi mari kita beri nyawa pada data ini: dari 45.228 pasien IGD di Barrow-in-Furness tahun lalu, 9 persen berasal dari satu kelompok kecil ini—sebelas perempuan yang terbuang dari sistem. Mereka adalah potret buram dari sebuah negara yang disebut maju, tetapi gagal melindungi yang paling lemah. Total biaya untuk merawat mereka saja mencapai £250.000. Mahal? Ya. Tapi bandingkan dengan harga ketidakpedulian yang jauh lebih besar dan menyakitkan.
Ironi itu menampar ketika kita tahu bahwa mereka melukai diri sendiri bukan karena ingin perhatian, tapi karena sistem tak memberi pilihan lain. Rumah sakit telah menjadi satu-satunya tempat “aman” yang tersisa di tengah kota yang membeku dalam kemiskinan. Dan ini bukan kisah tragis yang hanya terjadi di Cumbria. Di banyak sudut Inggris, dari Blackpool sampai Blackburn, dari Burnley sampai Barrow, semakin banyak orang yang datang ke rumah sakit bukan karena sakit, tapi karena hidup terlalu dingin, terlalu sepi, terlalu kejam.
Tak hanya anak muda. Para lansia juga mulai ikut antre di jalur penderitaan. Mereka dikenal sebagai “revolving-door pensioners“—para pensiunan yang sengaja menelantarkan diri agar bisa dirawat. Ketika musim dingin datang dan tagihan listrik tak terbendung, masuk rumah sakit jadi satu-satunya jalan untuk bertahan. Ini bukan Inggris abad pertengahan, tapi realitas 2025 yang terasa lebih mirip distopia dari novel Orwell.
Barangkali di sinilah kita bisa mulai tertawa—bukan karena lucu, tapi karena getir. Negara yang membanggakan sistem kesehatan gratisnya itu kini menyaksikan rakyatnya berebut sakit agar bisa hidup. Sejak 2010, keberadaan dokter umum dan perawat lingkungan makin menipis. Akibatnya, orang yang tak pernah bisa daftar ke puskesmas, akhirnya langsung berakhir di IGD. Tak heran kalau panggilan ambulans melonjak 61 persen.
Tapi tenang, ada kabar baik. Menteri Kesehatan yang baru akan mengumumkan reformasi terbesar layanan kesehatan sejak NHS didirikan. Tujuannya mulia: dari pengobatan ke pencegahan, dari rumah sakit ke komunitas. Indah, bukan? Tapi entah bagaimana janji itu bersamaan dengan perintah untuk memotong 13.500 pekerjaan di sektor kesehatan. Seperti memberi janji makanan sambil menyita piringnya.
Lalu muncullah tokoh-tokoh seperti Lizzie Holmes, perawat komunitas di kawasan Ryelands, Lancashire. Ia bukan hanya perawat, tapi juga tukang ledeng, pendengar setia, dan kadang penyelamat nyawa. Di tengah lingkungan tanpa dokter dan tanpa harapan, ia mengetuk pintu demi pintu. Pernah, ia memperbaiki saluran air seorang pria paruh baya yang menyendiri. Sebagai imbalan, pria itu bersedia diperiksa. Hasilnya? Pneumonia, dugaan kanker usus, dan penyakit paru-paru kronis. Semuanya tak pernah terdiagnosis. Semuanya karena tak ada yang cukup peduli.
Program sederhana seperti itu, yang tak butuh miliaran pound, justru berhasil menekan kunjungan IGD hingga 11 persen. Lima pasien yang ditangani Lizzie menghemat anggaran rumah sakit sebesar £170.000. Tapi program seperti ini masih dianggap eksperimen, bukan norma. Di negeri yang lebih suka membangun gedung baru daripada memperbaiki rumah-rumah yang sudah rusak, inovasi semacam itu terdengar terlalu remeh.
Dan sementara itu, di kota seperti Blackpool, harapan hidup pria cuma 73 tahun. Enam tahun lebih pendek dari rata-rata nasional. Anak-anak di sana bukan hanya gemuk, tapi juga kekurangan gizi. Bayi diberi susu formula bekas semalam karena orang tuanya tak mampu beli listrik untuk kulkas. Ada yang tak bisa sekolah karena ongkos bus pulang-pergi mencapai £4 sehari. Gizi buruk dan putus sekolah bukan terjadi di pelosok Afrika, tapi di jantung Eropa.
Situasi ini mungkin terdengar seperti kisah eksotik dari dunia ketiga. Sayangnya tidak. Ini adalah kenyataan di negara yang pernah menjadi pusat imperium. Negara yang pernah memaksakan standar sipiliasi ke banyak penjuru dunia, kini tak bisa memastikan anak-anaknya makan dengan layak.
Lebih dari sekadar masalah kesehatan, ini adalah potret sosial yang telanjang. Ketimpangan bukan hanya merampas masa depan, tapi juga memanipulasi harapan. Ketika keluarga mematikan kulkas demi menghemat listrik, lalu diminta ikut program pencegahan diabetes, kita tak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Pencegahan macam apa yang bisa dilakukan oleh perut kosong dan rumah tanpa pemanas?
Dan yang lebih menyedihkan, masalah ini bukan soal kelalaian teknis. Ini tentang sistem yang memilih siapa yang layak mendapat perhatian. Ini tentang negara yang tak lagi adil membagi rasa aman. Kita menyaksikan masyarakat yang tak lagi percaya pada institusi. Bahkan mereka yang dulu dianggap bagian dari solusi—dokter, suster, birokrat—mulai kehilangan kepercayaan diri. “Kami mencoba yang terbaik, tapi saya tak yakin masih bisa berbuat banyak,” kata salah satu pemimpin NHS.
Di sinilah pentingnya menoleh ke realitas lokal. Di negeri kita sendiri, betapa sering kita melihat refleksi serupa. Ketika orang harus menunggu berjam-jam di puskesmas hanya untuk ditanya, “Sudah punya BPJS?” Ketika tetangga kita membawa anak demam ke rumah sakit, tapi disuruh pulang karena tak ada ruang. Jangan-jangan kita sedang menuju jalan yang sama: masyarakat yang makin miskin, dan negara yang makin jauh.
Krisis Inggris adalah peringatan dini. Ia menunjukkan bahwa kesejahteraan bukan soal GDP atau gedung pencakar langit, tapi soal apakah anak-anak bisa makan, lansia bisa tidur, dan perempuan muda tak perlu menelan sabun demi tempat beristirahat. Ia mengingatkan kita bahwa modernitas tanpa empati hanyalah kosmetik murahan. Dan bila sistem kesehatan menjadi benteng terakhir dari keputusasaan sosial, maka kita telah gagal sebagai peradaban.
Tapi tenang saja. Selama kita bisa bikin laporan panjang, bentuk tim reformasi, dan menggelar konferensi tahunan, kita bisa terus berpura-pura sibuk. Sementara itu, perempuan-perempuan muda itu akan terus datang ke IGD. Dengan luka di tubuh dan beban di kepala. Demi tempat tidur. Dan sedikit rasa hangat.