Opini
Retorika Tsahkna: Provokasi Eropa yang Mengobarkan Konflik

Di sebuah ruang konferensi yang dingin di Tallinn, Menteri Luar Negeri Estonia Margus Tsahkna menatap kamera France 24 dengan sorot mata tajam, memperingatkan bahwa Rusia bisa menginvasi perbatasan NATO dalam beberapa tahun. Nada suaranya tegas, hampir profetik, seolah masa depan perang sudah terpampang di hadapannya. Pernyataan ini, meski menarik perhatian, bukanlah hal baru. Ini adalah bagian dari pola komunikasi alarmis yang kini menjadi ciri khas sejumlah pemimpin Eropa dan NATO, yang dengan sengaja—atau tidak—menuangkan bensin ke bara ketegangan geopolitik dengan Rusia. Alih-alih meredakan konflik, pendekatan ini justru memperburuk situasi, mengorbankan peluang diplomasi demi narasi ancaman yang berisiko menjadi ramalan yang memenuhi dirinya sendiri.
Tsahkna mengklaim bahwa Rusia sedang membangun infrastruktur militer dalam skala besar, menyiapkan rencana untuk mengerahkan pasukan dalam jumlah belum pernah terjadi sebelumnya di perbatasan NATO. Ia menyebutkan pengalaman sebagai menteri pertahanan pada 2016-2017, ketika ia melihat 120.000 tentara Rusia siap bergerak dalam 48 jam di seberang perbatasan Estonia. Namun, ia juga mengakui bahwa saat ini perbatasan itu “kosong” karena Rusia fokus di Ukraina. Kontradiksi ini mengundang pertanyaan: jika ancaman langsung tidak ada, mengapa ia memproyeksikan invasi dalam beberapa tahun? Pernyataan ini bukan sekadar spekulasi; ini provokatif, dirancang untuk menciptakan urgensi yang dapat memobilisasi dukungan domestik dan internasional, tetapi dengan biaya yang mahal.
Pendekatan ini bukan monopoli Estonia. Negara-negara Eropa lain, dari Polandia hingga Jerman, juga kerap menggunakan narasi ancaman Rusia untuk membenarkan kebijakan mereka. Jerman, misalnya, telah meningkatkan anggaran pertahanannya hingga €100 miliar melalui inisiatif Zeitenwende sejak 2022, dengan Menteri Pertahanan Boris Pistorius menyebut Rusia sebagai “ancaman eksistensial.” Inggris dan Prancis mendorong pengiriman “pasukan penjamin” ke Ukraina pasca-konflik, sebuah langkah yang didukung Estonia dan Baltik lainnya. Data NATO menunjukkan bahwa belanja pertahanan aliansi melonjak dari $1,03 triliun pada 2020 menjadi $1,2 triliun pada 2024, sebagian besar didorong oleh narasi ancaman Rusia. Namun, apakah peningkatan ini benar-benar respons terhadap ancaman nyata, atau sekadar reaksi terhadap ketakutan yang dibangun sendiri?
Narasi alarmis ini berpuncak pada risiko eskalasi yang nyata. Ketika Tsahkna memprediksi invasi dalam “beberapa tahun,” ia tidak hanya menciptakan kecemasan di kalangan publik Eropa, tetapi juga memancing reaksi dari Rusia. Moskow, yang telah berulang kali membantah niat menyerang NATO—seperti disampaikan Putin yang menyebut klaim ini “omong kosong”—mungkin merasa terpojok. Laporan intelijen AS pada 2023 menunjukkan bahwa Rusia telah meningkatkan latihan militer di perbatasan Baltik, dengan 30 manuver besar sejak 2022, yang bisa dianggap sebagai respons terhadap retorika Barat. Siklus ini—peringatan Barat memicu tindakan Rusia, yang kemudian digunakan untuk membenarkan lebih banyak peringatan—adalah definisi dari ramalan yang memenuhi dirinya sendiri.
Sejarah memberikan pelajaran yang relevan. Sebelum invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, AS mengeluarkan peringatan berulang tentang serangan “dalam beberapa hari,” yang akhirnya terbukti benar, meski dengan waktu yang meleset. Namun, peringatan publik ini, disertai pengiriman senjata senilai $3 miliar ke Ukraina sebelum invasi, mungkin telah memperkuat persepsi Rusia bahwa Barat sedang mempersiapkan konfrontasi. Menurut laporan Foreign Affairs pada 2023, beberapa analis berpendapat bahwa pengumuman intelijen AS yang terbuka mempercepat keputusan Rusia untuk bertindak, karena Moskow merasa kehilangan elemen kejutan. Jika pendekatan serupa kini diadopsi Eropa, seperti yang dilakukan Tsahkna, bukankah kita mengulangi kesalahan yang sama, memprovokasi respons yang justru ingin kita hindari?
Lebih jauh, pendekatan ini mengorbankan diplomasi demi postur militer. Data dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) menunjukkan bahwa dialog keamanan antara Rusia dan NATO telah merosot tajam sejak 2014, dengan hanya tiga pertemuan tingkat tinggi antara 2020 dan 2024. Tsahkna, dengan optimisme militernya, menyoroti penguatan NATO—kehadiran permanen 10.000 pasukan di Baltik, masuknya Finlandia dan Swedia, serta peningkatan anggaran pertahanan 20% di banyak negara anggota—sebagai jaminan bahwa “biaya bagi Putin akan tinggi.” Namun, tanpa saluran diplomatik yang kuat, penguatan ini hanya meningkatkan ketegangan, bukan stabilitas.
Publik Eropa juga menjadi korban. Survei Eurobarometer pada 2024 menunjukkan bahwa 62% warga Eropa merasa cemas tentang kemungkinan konflik dengan Rusia, naik dari 45% pada 2021. Di Estonia, di mana Tsahkna berbicara, ketakutan ini lebih akut, dengan 78% penduduk khawatir tentang keamanan nasional, menurut jajak pendapat lokal. Retorika alarmis tidak hanya menciptakan kecemasan, tetapi juga mempolarisasi masyarakat. Di Jerman, misalnya, partai sayap kanan AfD memanfaatkan skeptisisme terhadap narasi anti-Rusia untuk mendapatkan 16% suara dalam pemilu regional 2024, menunjukkan bahwa tidak semua warga Eropa membeli narasi ancaman ini.
Pendekatan Tsahkna dan sekutunya di NATO juga mengabaikan realitas strategis Rusia. Dengan 80% angkatan bersenjatanya terkonsentrasi di Ukraina, menurut laporan International Institute for Strategic Studies (IISS) 2024, Rusia kekurangan kapasitas untuk mengancam NATO secara langsung dalam waktu dekat. Anggaran militer Rusia sebesar $84 miliar pada 2024 pucat dibandingkan dengan $1,2 triliun NATO, dan sanksi Barat telah melemahkan ekonominya, dengan kontraksi PDB 2,1% pada 2023. Mengapa, dalam konteks ini, Eropa memilih untuk memperbesar ancaman daripada mengejar de-eskalasi?
Alternatif yang lebih bijak ada di depan mata. Eropa bisa mengadopsi komunikasi berbasis bukti, hanya memperingatkan ancaman dengan intelijen yang dapat diverifikasi, seperti yang dilakukan Norwegia, yang lebih terukur dalam menanggapi Rusia. Dialog melalui OSCE atau saluran bilateral bisa dihidupkan kembali, seperti yang pernah berhasil meredakan ketegangan pada 1970-an melalui Perjanjian Helsinki. Terakhir, Eropa harus mendidik publik tentang keamanan tanpa menabur kepanikan, membangun kepercayaan alih-alih ketakutan.
Tsahkna dan pemimpin Eropa lainnya mungkin berniat melindungi kepentingan nasional mereka, tetapi pendekatan alarmis mereka lebih merusak daripada membangun. Dengan memproyeksikan invasi yang belum tentu terjadi, mereka memicu siklus konfrontasi, mengorbankan diplomasi, dan membebani publik dengan kecemasan. NATO, dengan kekuatan militernya yang tak tertandingi, seharusnya percaya diri untuk mengejar stabilitas, bukan memicu api yang bisa membakar semua pihak. Dalam permainan geopolitik ini, kata-kata adalah senjata—dan Eropa perlu belajar menggunakannya dengan lebih bijak.
Sumber:
- Tsahkna, Margus. Wawancara dengan France 24, di mana ia memperingatkan tentang potensi invasi Rusia ke perbatasan NATO dalam beberapa tahun dan menyebutkan pengalamannya sebagai menteri pertahanan Estonia pada 2016-2017.
- Putin, Vladimir. Pernyataan publik yang dikutip dalam laporan, menyebut klaim ancaman Rusia terhadap NATO sebagai “omong kosong” yang bertujuan membenarkan peningkatan anggaran militer Barat.
- Witkoff, Steve. Wawancara dengan Tucker Carlson, di mana ia menyatakan bahwa Rusia “100% tidak” tertarik untuk menyerang negara-negara NATO.
- Pistorius, Boris. Pernyataan sebagai Menteri Pertahanan Jerman, yang menyebut Rusia sebagai “ancaman eksistensial” dalam konteks inisiatif Zeitenwende.
- Foreign Affairs (2023). Artikel analisis yang membahas dinamika sebelum invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, termasuk dampak peringatan intelijen AS terhadap keputusan Rusia.
- Data resmi tentang belanja pertahanan aliansi, yang meningkat dari $1,03 triliun pada 2020 menjadi $1,2 triliun pada 2024.
- International Institute for Strategic Studies (IISS) (2024). Laporan tentang postur militer Rusia, yang menyebutkan bahwa 80% angkatan bersenjata Rusia terkonsentrasi di Ukraina dan anggaran militer Rusia sebesar $84 miliar pada 2024.
- Eurobarometer (2024). Survei yang menunjukkan 62% warga Eropa merasa cemas tentang kemungkinan konflik dengan Rusia, naik dari 45% pada 2021.
- Organisation for Security and Co-operation in Europe (OSCE). Data tentang penurunan dialog keamanan antara Rusia dan NATO, dengan hanya tiga pertemuan tingkat tinggi antara 2020 dan 2024.
- Jajak Pendapat Lokal Estonia (2024). Survei yang menunjukkan 78% penduduk Estonia khawatir tentang keamanan nasional.