Opini
Retorika Politik Tusk dan Macron Hadapi Trump!

Setelah tiga tahun berusaha menahan agresi Rusia, Eropa tiba-tiba disuguhkan pemandangan baru yang lebih menggelikan: seorang sekutu besar mereka, Donald Trump, mengancam akan memulai perang tarif. Tak hanya itu, Trump bahkan mengusik kedaulatan negara sahabatnya, Denmark, dengan ide gila merebut Greenland. Perdana Menteri Polandia Donald Tusk dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, para pemimpin Eropa, lantas berteriak akan “melawan” kebijakan proteksionis Trump, dengan nada yang mengingatkan kita pada pertempuran para ksatria yang mengacungkan pedang—hanya saja, mereka lebih senang mengacungkan argumen kosong di podium.
Dari Brussels, Tusk tampaknya kebingungan memikirkan “paradoks yang kejam”: bagaimana bisa Eropa, yang seharusnya bersatu menghadapi ancaman Rusia, kini bisa terjerat dalam konflik dengan sekutunya sendiri? Jangan khawatir, Tusk, jawaban sederhananya adalah—ini bukan paradoks, ini adalah kenyataan politik global yang disambut dengan anggukan dari Macron dan Tusk. Keberanian mereka memang luar biasa, meski hanya terbatas pada seruan di ruang rapat, bukan aksi nyata di lapangan.
Macron berapi-api di hadapan para pemimpin Uni Eropa, dengan mengatakan bahwa Eropa adalah “kekuatan yang teguh” dan akan melawan Trump jika diterpa tarif. Sebuah klaim yang sangat mengingatkan kita pada protagonis superhero yang mengumbar kekuatan tanpa pernah benar-benar menghadapi musuh. Sebuah pernyataan yang mengesankan, tentu saja, tetapi bisa dibaca dengan mudah sebagai pernyataan yang lebih cocok di panggung teater daripada diplomasi internasional. Jika benar-benar siap, mengapa Eropa tidak langsung memperlihatkan aksi yang lebih konkret, bukan sekadar bicara?
Lalu ada Kaja Kallas, pejabat tinggi kebijakan luar negeri Uni Eropa, yang menyebutkan bahwa jika AS memulai perang tarif, yang akan tertawa adalah China. Benar sekali, Kaja. Taruhannya memang besar, dan China bisa jadi akan meraup keuntungan dari kekacauan perdagangan. Tapi bukankah lebih baik Eropa berhenti membual tentang dampak buruk yang mungkin timbul dan mulai menyiapkan langkah konkret? Saling ancam memang mudah, namun menghadapi AS dalam perang tarif membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata manis di rapat kabinet.
Macron dan Tusk, dua tokoh politik yang masing-masing memiliki kekuatan simbolik, jelas ingin mempertahankan citra sebagai pemimpin yang tidak bisa dipermainkan. Namun, apakah mereka benar-benar siap berhadapan dengan Trump yang tak kenal kompromi? Perang tarif adalah permainan yang sangat berisiko—dan jika Eropa benar-benar ingin melawan, mereka harus siap menghadapi dampaknya. Tidak ada jaminan bahwa para pemimpin Eropa ini bisa menanggulangi semua akibat dari pertarungan ini. Trump tahu betul bagaimana menekan negara-negara yang terlalu bergantung pada perdagangan global. Dengan semua retorika yang dikeluarkan, sebenarnya, Eropa sedang menunjukkan ketidakberdayaan dalam menghadapi ancaman nyata.
Dalam situasi seperti ini, memang sangat menggugah untuk melihat Eropa yang masih meraba-raba dalam mencari strategi balasan. Dengan semua ancaman yang telah Trump lontarkan, satu hal yang pasti: Macron dan Tusk lebih suka tampil sebagai pahlawan yang menegaskan kekuatan Eropa di depan Trump, meski faktanya mereka tahu bahwa risiko yang dihadapi begitu besar. Apakah mereka siap untuk membayar harga mahal dari kebijakan “balas dendam” terhadap AS? Itu adalah pertanyaan yang belum ada jawabannya.
Sementara itu, Denmark, yang merasa terancam dengan pernyataan Trump soal Greenland, bersikap tegas dengan menegaskan bahwa “Greenland tidak untuk dijual.” Tidak seperti Eropa yang hanya berbicara, Denmark langsung bertindak dengan mempertahankan kedaulatan mereka. Di sisi lain, Uni Eropa terus bergumul dengan ancaman proteksionisme, bertanya-tanya bagaimana mereka akan menghadapi tekanan lebih lanjut. Mungkin sudah saatnya Eropa lebih realistis dan lebih siap menghadapi konsekuensi dari “perang tarif” yang sedang mereka bicarakan, daripada sekadar berteriak keras tanpa tindakan konkret.
Begitu banyak retorika yang mengumbar keseriusan, namun sedikit sekali yang mampu mengubah fakta politik yang ada: Eropa belum siap berperang dengan Trump. Seperti yang sudah kita duga, klaim Macron dan Tusk hanya akan tinggal sebagai omongan kosong jika mereka tidak segera menunjukkan langkah-langkah nyata. Mungkin, dunia hanya akan terus menyaksikan pertemuan diplomatik yang semakin berlebihan, sementara Trump tertawa sambil memerintahkan tarif baru yang akan menggerus perekonomian Eropa. Tusk, Macron—ini lebih dari sekadar perseteruan perdagangan. Ini adalah ujian sejati untuk Eropa, dan jawabannya belum jelas.