Opini
Retorika Eropa di Atas Kuburan Gaza

“Pembunuhan terhadap warga sipil yang sedang mencari bantuan di Gaza tidak bisa dibenarkan.” Demikian kata Kaja Kallas, Perdana Menteri Estonia yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Komisi Eropa. Kalimat itu meluncur setelah ratusan warga Palestina dibantai di titik distribusi bantuan. Kalimat yang pendek, jelas, dan—sayangnya—datang terlalu lambat. Diucapkan setelah terlalu banyak kepala anak-anak dibungkus kantong plastik putih, setelah terlalu banyak reruntuhan jadi saksi bisu dari sistem yang tak peduli. Dan ya, seperti biasa, kalimat itu diikuti dengan frasa favorit mereka: all options remain on the table. Tapi meja siapa yang mereka maksud? Dan apakah di atas meja itu juga tergeletak potongan tubuh warga Gaza yang putus asa?
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, tak mau ketinggalan. Dengan wajah penuh keprihatinan digital, ia menulis bahwa “civilians cannot be targets. Never.” Pernyataan yang heroik di atas kertas, tapi sunyi di medan nyata. “The images from Gaza are unbearable,” lanjutnya, seolah baru menyadari bahwa ada manusia yang sekarat di luar batas layar iPhone-nya. Entah kenapa, kalimat itu lebih terdengar seperti ratapan seorang influencer yang menonton dokumenter horor, ketimbang pernyataan politik dari pemimpin benua yang selama ini menyuplai impunitas pada mesin pembunuh bernama zionisme.
Lalu datanglah suara yang tak terafiliasi langsung dengan kekuasaan negara: Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967. Ia bukan diplomat yang duduk nyaman di kantor kaca, tapi pengamat yang turun ke lumpur realitas. Dengan bahasa yang jernih dan luka yang terbaca, ia menyindir Von der Leyen: “So little, so late.” Francesca tahu, dan dunia pun tahu, bahwa para pemimpin Eropa telah memberikan Israel 21 bulan penuh lampu hijau untuk membabi buta. Sekarang mereka mengerem, bukan karena sadar, tapi karena tekanan publik mulai memukul balik.
Ironisnya, yang membuat kita terhenyak bukan sekadar pembantaian. Dunia sudah terlalu sering menyaksikan kekejaman. Yang bikin dada sesak adalah teater kemunafikan yang dipentaskan dengan sempurna oleh para elite global. Dengan jas rapi dan diksi diplomatik yang hangat di lidah, mereka mengutuk… sambil tetap mengizinkan ekspor senjata. Mereka meratap… sambil melanjutkan perjanjian dagang. Mereka prihatin… sambil membungkam suara-suara protes di dalam negeri. Inilah tragedi modern: kemanusiaan dikemas dalam konferensi pers, sementara kematian dijadikan statistik.
Kita tidak perlu terlalu jauh untuk mengerti absurditas ini. Lihat saja bagaimana wacana publik di Indonesia pun terbelah antara empati dan eufemisme. Ada yang membela rakyat Palestina dengan sepenuh hati, ada pula yang sibuk menyamakan agresi dengan “konflik dua pihak”. Kita tahu, narasi “dua pihak” adalah bahasa yang digunakan oleh mereka yang tak ingin mengakui keberpihakan. Dan keberpihakan adalah kata yang menakutkan bagi mereka yang ingin tetap nyaman dalam ilusi netralitas.
Mari kita sejenak bermain logika. Kalau warga sipil tidak boleh jadi target, lalu siapa yang menargetkan mereka? Jika Israel adalah pelaku, lalu mengapa tak ada sanksi? Jika pelanggaran hukum internasional telah berulang kali terbukti, mengapa pengadilan dunia hanya bertindak separuh hati? Dan jika jawabannya selalu kembali pada “kompleksitas geopolitik”, “lobi”, atau “keseimbangan strategis”, maka izinkan saya menyimpulkan: ini bukan lagi soal hukum, ini soal siapa yang diizinkan untuk membunuh tanpa dihukum.
Dalam konteks lokal, kita pun tak bisa sepenuhnya tenang. Indonesia memang bersikap tegas di forum-forum internasional, tetapi tekanan terhadap solidaritas rakyat juga semakin terasa. Demonstrasi dibatasi, wacana dikendalikan, dan label “radikal” dengan mudah disematkan pada mereka yang bersuara lantang. Padahal, diam di hadapan ketidakadilan adalah dosa. Dan menjadi saksi bisu pembantaian adalah bentuk keterlibatan paling memuakkan yang pernah ada.
Beberapa orang mungkin bertanya, “apa gunanya kita marah-marah di media sosial? Apa artinya satu opini di tengah lautan ketidakpedulian?” Tapi mari ingat: perubahan besar seringkali dimulai dari kegelisahan kecil. Teriakan di trotoar, poster yang ditulis tangan, utas Twitter yang menyindir tajam—semuanya adalah bentuk perlawanan terhadap dunia yang ingin membuat kita terbiasa dengan kengerian. Normalisasi genosida adalah puncak dari kekalahan moral. Dan diam adalah partisipasi diam-diam dalam kejahatan itu.
Jadi, saat kita membaca pernyataan para pemimpin Uni Eropa, jangan buru-buru terharu. Tanyakan selalu: Apa yang telah kalian lakukan selama ini? Kapan kalian menghentikan aliran senjata ke Israel? Kapan kalian menekan rezim yang telah terbukti melanggar hukum internasional berulang kali? Jika jawaban mereka hanya putaran kata, maka kita tahu: kemanusiaan di meja kekuasaan adalah dagangan, bukan prinsip.
Dan seperti yang ditulis Francesca dengan getir, “Only sanctions can stop Israel.” Tapi sanksi tak akan datang dari mereka yang memiliki saham dalam penjajahan. Kita tak bisa berharap banyak dari institusi yang lebih takut kehilangan pasar daripada kehilangan integritas. Kita hanya bisa terus bersuara, mengganggu, mengingatkan bahwa dunia masih punya hati—meskipun pemimpinnya sering kali tidak.
Inilah zaman ketika kita perlu memilih: menjadi manusia yang menolak diam, atau menjadi angka dalam statistik ketidakpedulian. Gaza bukan sekadar tempat di peta. Ia adalah cermin retak yang menunjukkan wajah dunia saat ini—penuh luka, penuh dusta, dan penuh harapan yang nyaris pupus. Tapi selama masih ada yang menulis, masih ada yang bersuara, masih ada yang marah, maka api kemanusiaan itu belum padam. Dan semoga, suatu hari nanti, sejarah akan mengadili bukan hanya para pembunuh… tetapi juga mereka yang bersorak pelan dari jauh.