Connect with us

Opini

Retina Dijual: Kisah Recehan Digital di Bekasi

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk kota Bekasi, di bawah terik matahari yang tak kenal ampun, ratusan warga berdesakan di depan sebuah ruko sederhana di Jalan Raya Narogong. Mereka bukan antre bansos, bukan pula menunggu konser gratisan. Mereka menanti giliran untuk menyerahkan sesuatu yang jauh lebih berharga: retina mata mereka. Dengan iming-iming Rp200.000 hingga Rp800.000, World App—aplikasi asing yang tiba-tiba jadi buah bibir—menggoda warga untuk menukar privasi abadi dengan selembar receh digital. Ada yang bilang ini revolusi identitas global, ada pula yang mencium bau busuk eksploitasi. Di antara antrean panjang itu, seorang ibu tua bernama Farida, 60 tahun, mengaku tak paham apa itu data biometrik. “Pokoknya dapat duit,” katanya, polos, sambil menatap alat aneh bernama Orb yang akan memindai matanya. Realitas ini absurd, sekaligus menggelisahkan: kita rela menjual jiwa digital demi sesuap nasi, tanpa bertanya ke mana jiwa itu akan dibawa.

Fenomena ini bukan sekadar cerita lokal Bekasi atau Depok, tempat antrean serupa membeludak. Ini cerminan dunia yang makin gila, di mana privasi jadi komoditas murahan, dan perusahaan seperti Worldcoin—didirikan oleh Sam Altman, sang mesias teknologi—tahu betul cara memainkannya. World App menjanjikan World ID, sebuah identitas digital global untuk membedakan manusia dari bot, katanya. Tapi di balik jargon futuristik itu, ada aroma manipulasi yang tak bisa diabaikan. Data retina, yang lebih unik ketimbang sidik jari, bukanlah sekadar foto selfie yang bisa dihapus dari galeri ponsel. Ini adalah kunci permanen ke identitas seseorang, tak bisa diubah, tak bisa diganti.

Farida mungkin tak tahu, tapi matanya yang dipindai Orb itu berpotensi jadi tiket masuk ke pasar gelap data, di mana akun Worldcoin diperjualbelikan seharga satu dolar di Telegram, seperti laporan MIT Technology Review. Satu dolar! Betapa murahnya harga diri kita di era digital ini, ketika sepasang mata bisa ditukar dengan secangkir kopi kekinian. Di Bekasi, antrean itu bukan cuma soal ekonomi, tapi cermin ketidakpedulian kita pada privasi, yang entah sejak kapan jadi barang usang, tak lagi dianggap berharga.

Indonesia bukan satu-satunya yang terpikat. Di Kenya, 350.000 orang rela antre demi token kripto Worldcoin, hanya untuk kemudian dikejutkan oleh larangan pemerintah pada 2023 karena manipulasi finansial dan pelanggaran privasi. Spanyol, pada Maret 2024, menghentikan operasi Worldcoin setelah menemukan data anak di bawah umur dikumpulkan tanpa izin. Korea Selatan lebih tegas: denda 1,1 miliar won (sekitar Rp12 miliar) dijatuhkan karena transfer data lintas negara yang ilegal. Portugal, Jerman, Inggris—satu per satu negara bangun dari mimpi manis teknologi dan mulai mencium bau busuk. Tapi di Indonesia? Kita masih asyik antre, tergiur recehan, sementara Komdigi dan OJK baru bereaksi setelah media sosial ramai. Ini ironis: negara yang katanya digital-savvy ini ternyata masih lugu, mudah digoda oleh janji manis aplikasi asing yang bahkan tak punya izin resmi.

Coba kita pikir: apa bedanya World App dengan Google Maps atau Meta, yang juga rakus data? Begitu argumen sebagian pengamat, yang menyebut kekhawatiran soal retina berlebihan. Toh, kita sudah biasa membagikan lokasi, foto, bahkan rahasia hati di Instagram, bukan? Tapi ini beda, kawan. Data retina bukan sekadar jejak digital yang bisa dihapus dengan tombol “clear history.” Ini biometrik, permanen, seperti DNA digital yang tak bisa kamu ganti meski pindah planet. Jika bocor, bayangkan: penjahat bisa memalsukan identitasmu untuk masuk ke rekening bank, atau lebih buruk, pemerintah otoriter bisa melacakmu tanpa ampun. Worldcoin bilang data dienkripsi, dihapus setelah digunakan, tapi siapa yang percaya? Kenya, Spanyol, dan Portugal sudah membuktikan: klaim itu rapuh, dan transparansi Worldcoin lebih buram ketimbang kaca kamar mandi.

Di Indonesia, situasinya makin pelik. PT Terang Bulan Abadi, yang mengoperasikan World App, ternyata tak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik. Mereka numpang izin PT Sandina Abadi Nusantara, sebuah pelanggaran yang bikin Komdigi geram. Pada 4 Mei 2025, operasi Worldcoin dibekukan, tapi apa artinya bagi ribuan warga seperti Farida yang sudah menyerahkan retina mereka? Data itu entah di mana sekarang—mungkin di server Silicon Valley, mungkin di tangan broker data gelap. Komdigi berjanji menyelidiki, tapi langkah mereka reaktif, seperti menutup kandang setelah kambing kabur. UU Perlindungan Data Pribadi, yang baru berlaku, seharusnya jadi tameng, tapi implementasinya masih seperti bayi yang belajar jalan: goyah dan penuh risiko.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari dunia? Korea Selatan menunjukkan bahwa denda besar bisa jadi pukulan telak bagi perusahaan nakal. Spanyol mengajarkan bahwa larangan cepat bisa mencegah kerusakan lebih lanjut. Kenya mengingatkan kita soal eksploitasi kelompok rentan—cerita yang terulang di Bekasi, di mana warga miskin jadi sasaran empuk. Tapi pelajaran terbesar adalah soal literasi. Di negara-negara itu, warga yang sadar haknya mendorong pemerintah bertindak. Di Indonesia, kita masih sibuk memuja teknologi tanpa bertanya: apa harga yang harus dibayar? Farida dan ribuan lainnya tak tahu bahwa retina mereka bisa jadi amunisi untuk pelacakan massal, penipuan finansial, atau bahkan pelatihan AI tanpa izin, seperti yang dikhawatirkan di Jerman.

Ada ironi cerdas di sini: Worldcoin menjual mimpi identitas global, tapi justru membuat kita kehilangan identitas sejati. Mereka bilang ini untuk masa depan, tapi masa depan macam apa yang dibangun di atas ketidaktahuan? Di Bekasi, warga yang tak kunjung dapat imbalan akhirnya menyerbu kantor Worldcoin pada 5 Mei 2025. Amarah mereka sah, tapi juga tragis. Mereka marah karena duit tak kunjung datang, bukan karena privasi mereka dirampok. Ini cerminan kita: lebih peduli pada dompet ketimbang data yang tak ternilai. Padahal, di pasar gelap, akun Worldcoin dijual seharga satu dolar, tapi dampak kebocoran data bisa menghantui seumur hidup.

Bagi yang sudah terlanjur menyerahkan retina, nasib mereka kini bergantung pada langkah pemerintah. Komdigi harus lebih dari sekadar memblokir situs; mereka perlu menuntut Tools for Humanity, pengelola Worldcoin, untuk menghapus data warga Indonesia. Pengguna bisa melapor ke Komdigi atau BSSN, tapi jujur saja, harapan itu tipis. Data biometrik bukan kaos bekas yang bisa dikembalikan ke toko. Sekali bocor, ia abadi, seperti kutukan digital. Satu-satunya jalan adalah waspada: pantau akun bank, aktifkan autentikasi dua faktor, dan jangan lagi tergoda aplikasi misterius yang menjanjikan surga.

Narasi ini bukan cuma soal Worldcoin, tapi tentang kita. Kita yang mudah tergiur, yang lupa bahwa di dunia digital, tak ada yang gratis. Setiap klik, setiap pindaian, punya harga. Farida mungkin tak akan pernah tahu ke mana retina matanya pergi, tapi kita bisa belajar dari kekeliruannya. Indonesia harus bangun: literasi digital bukan sekadar jargon, tapi tameng. Pemerintah harus lebih cepat, bukan cuma mengejar kereta yang sudah melaju. Dan kita, ya kita, harus berhenti jadi domba yang rela digiring demi sejumput koin. Dunia menonton, dan di antara antrean panjang itu, ada cermin besar yang memantulkan wajah kita: polos, rapuh, dan sedikit terlalu percaya pada mimpi teknologi.

Jadi, apa pilihanmu? Ikut antre demi recehan, atau mulai bertanya: apa yang sebenarnya mereka ambil dari matamu? Tersenyum miris boleh, tapi jangan lupa berpikir. Karena di dunia ini, mata yang tak waspada adalah mata yang paling mudah dibutakan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *