Connect with us

Opini

Retaknya Kepercayaan pada Media di Era Polarisasi

Published

on

Sebuah laporan terbaru dari Pew Research Center kembali mengangkat kenyataan pahit yang semakin sulit diabaikan: retaknya kepercayaan terhadap media bukan hanya persoalan individu, tapi telah menjadi refleksi luka sosial yang dalam. Di Amerika Serikat, masyarakat kini tidak lagi sekadar memilih informasi, tetapi menyaringnya lewat kacamata partai politik. CNN bagi sebagian adalah sumber kebenaran, tapi bagi yang lain, simbol manipulasi. Begitu pula Fox News: tempat berlindung bagi sebagian, tapi sumber kebencian bagi yang lainnya. Kita sedang menyaksikan perpecahan yang tidak hanya melanda cara berpikir, tapi juga cara mempercayai kenyataan.

Pew menemukan bahwa lebih dari separuh Republikan (57%) rutin mengandalkan Fox News sebagai sumber utama informasi. Di sisi lain, hampir setengah Demokrat memilih CNN (48%) dan jaringan-jaringan media lama lainnya seperti ABC, NBC, NPR, bahkan The New York Times. Yang mencolok bukan cuma perbedaan preferensi, tapi jaraknya yang menganga: satu kelompok tak hanya memilih untuk percaya pada satu sumber, tapi secara aktif mencurigai—bahkan menolak—yang dipercaya kelompok lain. Rasa saling tidak percaya ini begitu mengakar, hingga apa pun isi berita menjadi sekunder. Yang utama kini: siapa yang memberitakan?

Kita hidup di zaman ketika otoritas moral media sedang dipertanyakan, dan kepercayaan menjadi komoditas langka. Ini bukan sekadar persoalan di Amerika. Di Indonesia, gejala ini tampak dalam bentuk yang sedikit berbeda, namun dengan pola yang serupa. Polarisasi politik dalam Pilpres atau isu-isu identitas dengan cepat membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu media. Mereka yang menyimak Tempo mungkin menertawakan TV One. Mereka yang percaya pada Narasi kerap dicurigai oleh mereka yang menonton TVRI. Di media sosial, perbedaan ini lebih nyata, bahkan lebih kasar. Perseteruan bukan soal data, tapi soal siapa yang dipercaya dan siapa yang tidak.

Baca Juga: Media Sosial: Sarang Predator, Ancaman Anak di Era Digital

Dalam laporan Pew itu, satu data menyita perhatian: sebagian besar Republikan tidak hanya tidak mempercayai outlet-outlet berita arus utama seperti CNN, PBS, atau NPR, tetapi secara aktif menyatakan “distrust”. Lebih dari 60 persen Republikan mengatakan tidak percaya pada CNN, sementara 58 persen Demokrat justru mengandalkannya. Yang mencolok bukan hanya ketidaksepakatan atas fakta, tapi ketidaksepakatan atas lembaga yang menyampaikan fakta. Bukankah ini berarti konsensus sosial tentang apa yang benar mulai goyah?

Demokrasi—di manapun—butuh dua hal: partisipasi dan informasi. Tanpa informasi yang dipercaya bersama, partisipasi berubah menjadi pertarungan identitas, bukan diskusi. Apa jadinya pemilu jika satu kelompok hanya percaya pada satu portal, sementara yang lain yakin semua media telah dibeli lawan politik? Kita bisa berdebat soal visi-misi, tapi jika yang satu bicara data dari BBC dan yang lain mengutip Joe Rogan, kita tidak sedang bicara pada level yang sama. Kita hidup di dunia yang berbeda, meski berbagi ruang yang sama.

Di Indonesia, hal serupa terasa dalam perdebatan isu Palestina, vaksinasi, atau pemilihan presiden. Isu-isu yang seharusnya menjadi bahan dialog berubah menjadi arena pertempuran narasi. Portal berita alternatif bermunculan, sebagian dengan niat baik, sebagian dengan agenda tersembunyi. Yang mengkhawatirkan adalah ketika media besar mulai kehilangan kepercayaan publik, namun belum ada pengganti yang benar-benar dipercaya lintas kelompok. Masyarakat lalu lari ke media sosial, ke YouTube, ke grup WhatsApp—ruang-ruang yang minim verifikasi dan rentan manipulasi.

Dalam konteks Pew, muncul satu sinyal menarik: media seperti The Joe Rogan Experience kini dipercaya oleh 31 persen Republikan. Ini bukan media dalam pengertian konvensional—bukan koran, bukan televisi, bukan lembaga jurnalistik dengan redaksi yang bertanggung jawab. Tapi justru di sinilah banyak orang merasa didengar. Merasa dijelaskan. Merasa tidak dimanipulasi. Ini pelajaran penting. Mungkin orang tidak selalu butuh media yang “netral” dalam arti teknis, tapi media yang terasa “jujur”. Yang tidak berbicara dari menara gading. Yang bicara seperti manusia kepada manusia.

Baca Juga: Palestina: Melawan Militer, Melawan Narasi Media

Pertanyaannya kemudian: apakah media independen, atau setidaknya media yang berdiri di luar polarisasi politik, bisa mengisi kekosongan ini? Pew menyebut beberapa nama seperti Axios, Forbes, atau The Wall Street Journal yang masih memiliki pembaca dari spektrum ideologi yang lebih seimbang. Tapi jumlahnya kecil. Artinya, harapan tetap ada, tapi rapuh. Di Indonesia, media semacam Project Multatuli, Tirto, atau Tempo—meski tak sempurna—mewakili upaya untuk tetap waras di tengah keruhnya ruang informasi. Namun tantangan mereka bukan hanya politis, tapi juga struktural: pendanaan, tekanan kekuasaan, dan rendahnya literasi publik.

Apa yang bisa dilakukan? Tidak ada jawaban sederhana. Tapi satu hal jelas: kita perlu menumbuhkan kembali kebiasaan mendengar, bukan hanya membantah. Kita perlu ruang-ruang informasi yang tidak dibangun atas kebencian terhadap “yang lain”, tapi atas semangat menjernihkan yang kusut. Media tidak bisa berjalan sendiri. Ia perlu pembaca yang sabar, pemirsa yang kritis, dan masyarakat yang bersedia keluar dari gema suara sendiri. Jika tidak, kita akan terus hidup dalam ruang gema: hanya mendengar yang ingin kita dengar, hanya mempercayai yang memperkuat keyakinan kita.

Laporan Pew itu, pada akhirnya, bukan hanya cermin bagi Amerika. Ia juga cermin bagi kita semua—tentang bagaimana kepercayaan dibentuk, dijaga, dan bisa hilang. Ia menunjukkan bahwa berita bukan hanya soal isi, tapi soal hubungan: antara media dan publik, antara kenyataan dan persepsi. Dan ketika hubungan itu rusak, yang runtuh bukan hanya kepercayaan pada media, tapi juga pada sesama. Maka pertanyaannya bukan lagi: siapa yang benar? Tapi: apakah kita masih bisa percaya bersama?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *