Opini
Retak di Tubuh Zionis: Gaza Jadi Medan Kepalsuan

Dalam ruang pengap bernama rapat kabinet keamanan, dua sosok penting dari tubuh kekuasaan zionis saling menatap dengan amarah membuncah. Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan yang lebih suka peta tanah daripada jumlah korban sipil, tiba-tiba meledak. Bukan karena rudal perlawanan menghantam Sderot atau karena blokade gagal meruntuhkan semangat Gaza, tapi karena Jenderal Eyal Zamir, Kepala Staf baru, berani menyuarakan realitas: menduduki Gaza butuh waktu bertahun-tahun. Bukan sebulan. Bukan satu kampanye pemilu. Bertahun-tahun. Dan dengan biaya yang tak sedikit.
Ketika Zamir mengusulkan agar serangan tetap terbatas dan terfokus pada infiltrasi terbatas, Smotrich mencak-mencak, menuduh sang jenderal munafik, tidak konsisten, bahkan mengungkit pendahulunya, Herzi Halevi, yang sebelumnya dihujat karena mengatakan hal serupa. Ironi yang tajam—penghinaan yang dilemparkan ke jenderal lama kini diputar balik untuk membungkam jenderal baru. Di negeri yang mengaku “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”, adu argumen lebih mirip pentas drama daripada perdebatan yang lahir dari nalar sehat.
Tapi kita tahu, ini bukan sekadar soal argumen. Ini perang antara fantasi kolonial dan kenyataan lapangan. Smotrich tidak sedang berpikir tentang logistik, ia sedang bermimpi tentang tanah-tanah kosong yang bisa diisi dengan pemukim Yahudi dan bendera biru-putih. Sementara militer, meski tangannya berlumur darah anak-anak Gaza, tahu betul bahwa merebut Gaza sama artinya dengan menyulut perang gerilya tak berujung. Mereka belajar dari Irak, dari Afghanistan, bahkan dari Lebanon. Tapi Smotrich dan koleganya hidup dalam dongeng lama yang tak kunjung tamat: bahwa semua bisa dikendalikan asal punya senjata lebih besar, drone lebih canggih, dan propaganda yang cukup kuat untuk membuat publik lupa bahwa dunia sedang menonton.
Dan memang, dunia menonton. Tapi lebih sering menonton sambil mengunyah popcorn, bukan dengan hati yang berdegup oleh empati. Tontonan ini sudah berlangsung terlalu lama, dengan aktor-aktor lama yang gonta-ganti kostum tapi tetap memainkan plot yang sama: demonisasi Palestina, glorifikasi militer zionis, dan pembiaran terhadap pembantaian yang dibungkus kata-kata “hak membela diri”. Maka tak heran bila konflik internal seperti ini justru terasa segar—sejenak kita melihat keretakan dalam kubu yang biasanya solid dalam kekejamannya.
Namun, celah ini juga menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: ketakutan. Ketakutan akan perang panjang yang tidak bisa dimenangkan. Ketakutan akan kejatuhan legitimasi di mata warga zionis sendiri. Karena, seberapa sering pun media mainstream menyembunyikan kebobrokan, para prajurit di garis depan tetap akan bertanya: “Untuk apa kita bertempur, kalau tujuan akhirnya adalah kuburan massal tanpa ujung?” Smotrich mungkin bisa berpidato penuh semangat di parlemen, tapi dia tidak akan pernah berada di terowongan sempit tempat para pejuang Palestina menyergap pasukan elit. Dia tidak akan pernah tahu rasanya tidur dengan rompi antipeluru dan mata yang tak pernah benar-benar terpejam.
Ketegangan ini muncul bersamaan dengan langkah Knesset yang mengesahkan resolusi kedaulatan atas Tepi Barat dan Lembah Yordan. Undang-undang ini tidak punya bobot hukum internasional, tapi punya makna politis yang tajam: pesan terang bahwa proyek aneksasi tak akan berhenti. Bahkan saat dunia masih mencoba menjahit kembali potongan-potongan solusi dua negara yang sudah lapuk, rezim ini memilih merobek kainnya lebih jauh. Didukung 71 suara, termasuk dari partai oposisi Yisrael Beiteinu, ini bukan sekadar kebijakan sayap kanan. Ini konsensus penjajahan yang makin leluasa.
Maka jangan heran jika Wakil Presiden Otoritas Palestina, Hussein al-Sheikh, menyuarakan keprihatinan dan menyerukan pengakuan internasional atas negara Palestina. Tapi seruan ini, meskipun terdengar diplomatis, sering kali tenggelam dalam absurditas politik Arab yang justru mendukung PA sebagai satu-satunya wakil sah Palestina, sembari menutup mata terhadap kehancuran Gaza dan meningkatnya gelombang perlawanan rakyat. Dalam dinamika hari ini, pernyataan PA bukan representasi perlawanan, melainkan gema dari jalur negosiasi yang sejak lama kehilangan wibawa di mata rakyatnya sendiri. Di saat faksi-faksi perlawanan mempertaruhkan nyawa, PA masih sibuk menyusun resolusi yang hanya menjadi headline singkat di media—lalu hilang ditelan angin.
Dari jauh, kita di Indonesia menyaksikan ini seperti menonton cerita suram yang terus diputar ulang. Tapi jangan anggap ini cuma masalah Timur Tengah. Di balik semua itu, ada pelajaran penting tentang bagaimana kekuasaan dibangun atas kebohongan, dipertahankan lewat kekerasan, dan disokong oleh propaganda. Smotrich bisa saja memaki jenderalnya, tapi sesungguhnya yang ia lawan bukan hanya tentara yang lebih realistis. Ia melawan waktu. Karena sejarah tidak pernah berpihak pada penjajah yang keras kepala. Selalu ada titik balik. Bahkan apartheid Afrika Selatan pun tumbang. Bahkan tembok Berlin runtuh. Gaza mungkin luluh lantak hari ini, tapi siapa tahu esok suara takbir dari reruntuhan itu justru menjadi tanda bangkitnya harapan yang tak bisa dibunuh oleh bom atau embargo.
Dan kalau pun kita ingin sedikit menyindir: betapa lucunya ketika sebuah negara yang mengklaim sebagai pusat inovasi dunia, tidak mampu menyusun satu strategi keluar dari wilayah sempit bernama Gaza. Mereka bisa bikin aplikasi pengenalan wajah canggih, tapi tak bisa mengenali kenyataan bahwa 2,3 juta jiwa bukan angka statistik, melainkan manusia. Mereka bisa menjual teknologi spionase ke negara-negara di seluruh dunia, tapi tak mampu membaca bahwa makin dalam mereka menggali, makin cepat kuburannya sendiri.
Dalam jangka pendek, bisa jadi mereka menang. Tapi kemenangan macam apa yang lahir dari kehancuran rumah sakit, dari bayi yang mati kehabisan oksigen, dari air bersih yang diracuni, dari sekolah yang jadi puing? Dunia boleh diam, tapi sejarah tidak. Dan sejarah tak pernah mencatat nama-nama penjajah dengan tinta emas.
Maka ketika Smotrich marah karena tentara tak cukup brutal, sesungguhnya ia sedang menampar wajahnya sendiri. Sebab tentara itu hanyalah refleksi dari negara yang kehilangan arah. Negara yang tak tahu kapan harus berhenti. Negara yang menyangka bisa memenangi hati dunia dengan kampanye media, sembari menginjak leher rakyat yang diperbudaknya.
Di akhir kisah ini, yang akan dikenang bukan siapa yang paling lantang meneriakkan perang, tapi siapa yang bertahan dalam reruntuhan sambil tetap memegang kunci rumahnya, walau rumah itu sudah rata dengan tanah. Gaza, meski gelap dan sepi malam ini, masih punya cahaya kecil yang tak bisa dipadamkan Smotrich atau siapapun yang bercita-cita menjadi tuan atas tanah yang bukan miliknya. Dan kadang, suara paling kuat bukan datang dari senjata, tapi dari seorang anak yang bertanya pada ayahnya: “Kenapa mereka membenci kita?”
Pertanyaan itu akan terus bergema. Dan suatu hari, jawabannya akan mengubah dunia.