Opini
Resolusi Trump untuk Gaza: One Man Solution, One Man Dictates

Trump kembali dengan ide briliannya. Seolah dunia ini adalah bisnis real estate pribadinya, ia memutuskan bahwa Gaza adalah tanah kosong yang bisa diatur sesuka hati. Tidak perlu negosiasi, tidak perlu persetujuan, cukup satu tanda tangan dan dunia harus menerima. Ini bukan lagi one state solution atau two state solution. Ini one man solution.
Ketika dunia sibuk berdebat soal hak asasi, Trump datang dengan resolusi baru: hak untuk memutuskan segalanya sendiri. Palestina? Tak perlu didengar. Dunia Arab? Akan diam seperti biasa. PBB? Hanya pajangan yang akan kembali mengeluarkan kecaman tanpa gigi. Trump tahu itu. Ia tahu dunia hanya akan marah sebentar, lalu melupakan segalanya.
Resolusi ini bukan sekadar perampasan tanah. Ini proyek raksasa yang dikemas dalam slogan kemanusiaan. Gaza tak perlu dihancurkan dengan bom, cukup dengan “pembangunan” yang menggusur rakyatnya. Ini strategi yang sudah sering dipakai. Dari Indian di Amerika hingga warga miskin di kota-kota besar, solusi selalu sama: gusur, pindahkan, dan buat mereka menghilang.
Trump tak peduli dengan sejarah atau hak rakyat Palestina. Baginya, ini hanya bisnis. Ada tanah, ada proyek, ada keuntungan. Dan tentu saja, ada Israel sebagai mitra setia yang selalu siap membantu. Israel tidak perlu repot menghabisi perlawanan Palestina jika AS bisa melakukannya lewat kebijakan resmi. Kenapa perang jika bisa bermain dengan hukum?
AS selalu berbicara tentang demokrasi, tapi dalam kasus ini, demokrasi itu dikubur bersama puing-puing rumah di Gaza. Rakyat Palestina tak punya suara, tak ada referendum, tak ada meja perundingan. Hanya ada keputusan sepihak dari satu orang yang merasa dirinya penguasa dunia. One man dictates, everyone else submits (Satu orang mendikte, yang lain tunduk.). Begitulah skenario yang dipaksakan.
Trump mungkin berpikir ini adalah warisan terbaiknya. Ia ingin dikenang sebagai orang yang “menyelesaikan” konflik Timur Tengah dengan caranya sendiri. Tapi sejarah tak akan mencatatnya sebagai pembawa perdamaian. Sejarah akan mencatatnya sebagai sosok yang mengobarkan api perlawanan global, memaksa dunia untuk memilih: tunduk atau melawan.
Jika negara-negara yang menolak resolusi ini bersatu, AS tidak hanya menghadapi perlawanan dari Palestina, tetapi dari dunia. Trump bisa menggertak, bisa menekan, bisa mengancam, tapi dunia bukan real estate pribadinya. Dan semakin ia bertindak sewenang-wenang, semakin banyak yang akan menolak tunduk. Mungkin ini bukan hanya soal Gaza. Mungkin ini awal dari sesuatu yang lebih besar.
Gaza bukan sekadar tanah yang bisa diatur sesuai keinginan Trump. Gaza adalah simbol ketidakadilan yang terus diperjuangkan. Dan selama ada perlawanan, tak peduli seberapa besar proyek yang dirancang Trump, tak peduli berapa miliar dolar yang digelontorkan, satu hal pasti: rakyat Palestina tak akan diam. Sejarah selalu berpihak pada mereka yang melawan penindasan.