Opini
Represi Politik Erdogan Memicu Krisis Demokrasi Turki

Di jalanan Istanbul yang biasanya sibuk dengan hiruk-pikuk pedagang kaki lima dan bunyi klakson, kini terdengar suara gas air mata dan teriakan demonstran. Orang-orang berkumpul bukan untuk festival, bukan untuk pesta rakyat, tapi untuk mempertahankan hak mereka atas partai politik. Bayangkan, sebuah partai oposisi yang selama ini menjadi suara kritis masyarakat tiba-tiba diserobot oleh pengadilan, diiringi kepolisian yang siap menindak siapa pun yang menolak. Sebuah pemandangan yang absurd, seperti teater politik di mana aturan main seakan-akan dibuat hanya untuk memastikan satu aktor utama tetap menang. Di sinilah kita mulai memahami betapa dalamnya represi politik Erdogan telah meresap ke setiap sendi demokrasi Turki.
Kita semua tahu, demokrasi bukan sekadar simbol, bukan sekadar kata indah di konstitusi. Ia hidup melalui persaingan politik yang adil, hak warga untuk berkumpul, dan suara oposisi yang bebas. Namun, laporan terbaru menunjukkan sebaliknya. Polisi anti huru-hara membubarkan demonstrasi di luar markas utama CHP dengan gas air mata. Partai yang menolak intervensi pengadilan justru dianggap ancaman. Tidak sulit melihat pola: ketika oposisi berani mengangkat kepala, negara—atau lebih tepatnya presiden—menurunkan seluruh instrumen hukum dan keamanan untuk meredamnya. Represi politik Erdogan bukan teori abstrak; ia nyata, berdampak langsung pada warga yang hanya ingin memilih, bersuara, dan hidup dalam demokrasi yang layak.
Apa yang terjadi terhadap CHP hanyalah puncak gunung es. Sejak pengadilan membatalkan kongres regional 2023, pengambilalihan cabang partai melalui penunjukan wali pengadilan telah menimbulkan kemarahan publik. Penahanan wali kota, tokoh oposisi, dan bahkan Ekrem Imamoglu, yang dianggap pesaing serius, tidak hanya menegaskan dominasi politik Erdogan, tapi juga memberi sinyal keras: setiap tantangan akan ditindak. Ironisnya, dalih yang digunakan—korupsi, anti-kudeta, keamanan nasional—seolah-olah menutupi satu tujuan utama: memastikan oposisi diam dan posisi presiden tidak terganggu menjelang pemilu.
Kita bisa melihat dampak nyata dari strategi ini. Pasar saham Turki merosot, kehilangan sekitar $9,2 miliar, bukan karena alam atau krisis global, tapi karena ketidakpastian politik domestik yang diciptakan oleh tindakan represif ini. Rakyat bukan hanya kehilangan suara politik mereka; mereka kehilangan kestabilan ekonomi sehari-hari. Harga barang bisa melambung, investasi terhenti, dan rasa aman secara sosial—yang tidak kalah penting—terganggu. Represi politik Erdogan, dalam konteks ini, merugikan semua orang, tidak hanya lawan politiknya.
Apa yang membuatnya lebih mengkhawatirkan adalah pola yang konsisten. Sejak percobaan kudeta 2016, Erdogan telah memanfaatkan instrumen negara untuk menekan lawan, menggunakan dalih hukum dan keamanan. Setiap penahanan, setiap pembubaran demonstrasi, setiap intervensi pengadilan terhadap partai oposisi menegaskan bahwa demokrasi di Turki kini berjalan di jalur yang menyempit, terbatas, dan rentan terhadap dominasi tunggal. Hal ini bukan sekadar krisis politik, tapi krisis struktural. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung hak warga, malah menjadi alat untuk memusatkan kekuasaan.
Ironi lain muncul ketika warga Turki, yang sehari-hari menghirup udara Istanbul yang sama, menyaksikan oposisi mereka ditekan. Mereka tahu, pemilu dan kebebasan bersuara seharusnya menjadi hak dasar. Namun, ketika aparat negara dibalikkan untuk melayani agenda politik pribadi, rakyat dipaksa menelan pahitnya realitas: suara mereka, aspirasi mereka, bahkan pilihan mereka bisa diabaikan. Represi politik Erdogan menunjukkan bahwa demokrasi, di bawah kekuasaan terpusat, bisa menjadi hiasan kosong, cantik di atas kertas tapi tak bernyawa di lapangan.
Saya rasa, ini juga soal psikologi kekuasaan. Ketika dominasi terlalu lama dibiarkan, kekuasaan itu mulai menelan dirinya sendiri. Erdogan tampak kuat, tetapi kekuatan itu dibangun di atas ketakutan, bukan legitimasi murni. Menekan oposisi mungkin berhasil dalam jangka pendek, tapi di jangka panjang, ia menimbulkan ketidakpercayaan, protes, dan ketegangan sosial yang sulit dipulihkan. Ironis, bukan? Cara memegang kekuasaan yang seharusnya melindungi rakyat justru menciptakan luka bagi rakyat itu sendiri.
Represi politik Erdogan bukan sekadar statistik atau berita yang lewat di feed media. Ia nyata. Ia menyentuh kehidupan sehari-hari warga Turki, dari wali kota yang ditahan, pasar yang jatuh, hingga hak demonstrasi yang dicabut. Ia juga mengubah cara masyarakat melihat politik: dari ruang partisipasi menjadi arena ketakutan. Dan ketika rakyat mulai terbiasa dengan ketakutan itu, demokrasi, yang dulu menjadi jantung kehidupan publik, perlahan-lahan kehilangan nadinya.
Kita bisa belajar dari situasi ini bahwa dominasi politik yang terlalu kuat selalu menimbulkan kerugian luas. Tidak ada presiden atau pemerintahan yang bisa menegaskan kekuasaan mutlak tanpa menimbulkan korban—dan korban terbesar seringkali adalah rakyat biasa. Represi politik Erdogan adalah pengingat pahit bagi siapa pun yang berharap demokrasi dapat tumbuh subur: jika oposisi ditekan, hak politik dibungkam, dan hukum dijadikan alat politik, maka yang tersisa hanyalah bayangan demokrasi, cantik tapi kosong.
Di sinilah kita semua harus berpikir kritis. Mengkritik bukan hanya soal oposisi atau presiden. Ini soal masa depan warga Turki, soal hak untuk memilih, bersuara, dan hidup dalam sistem yang adil. Represi politik Erdogan bukan fenomena sesaat, tapi pola yang membentuk wajah politik Turki sekarang. Dan meski terasa getir, saya percaya, kesadaran masyarakat untuk menuntut demokrasi sejati akan tetap hidup, meski tertindas oleh gas air mata dan dominasi politik.
Ketegangan di Istanbul bukan hanya kisah lokal. Ia adalah cermin dari negara yang menghadapi dilema antara kekuasaan terpusat dan hak rakyat. Represi politik Erdogan, dengan segala ironi dan absurditasnya, menjadi pelajaran bagi kita semua: demokrasi sejati bukan hanya kata, bukan hanya simbol di dinding. Ia hidup ketika rakyat bebas, oposisi dihormati, dan institusi negara berfungsi untuk semua, bukan untuk satu pihak. Dan sampai saat itu tercapai, kita bisa melihat ketegangan itu—gas air mata, pasar jatuh, penahanan politisi—sebagai peringatan pahit bagi semua yang mengaku mencintai demokrasi.