Connect with us

Opini

REPowerEU dan Luka Lama Eropa Timur: Ketika Kebijakan Energi Tak Lagi Adil

Published

on

Uni Eropa sedang berpacu dengan waktu. Melalui program REPowerEU, Brussel berambisi memutus total ketergantungan energi pada Rusia sebelum tahun 2027. Visi ini, pada permukaannya, tampak terhormat: membangun kemandirian energi kawasan, menanggapi invasi Rusia ke Ukraina, dan mengamankan masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan. Namun di balik narasi besar ini, terselip sebuah kenyataan getir: tidak semua negara anggota berdiri di titik start yang sama. Bagi negara-negara seperti Slovakia dan Austria, REPowerEU terasa bukan sebagai kebijakan bersama, melainkan beban yang dipaksakan dari atas.

Slovakia saat ini tengah menghadapi ancaman denda €16 miliar karena memutus kontrak jangka panjang dengan Gazprom. Di sisi lain, Austria juga terus menyuarakan keberatan atas langkah-langkah energi Uni Eropa yang dianggap terlalu cepat dan tidak memperhitungkan kenyataan geografis serta ketergantungan historis mereka pada energi Rusia. Kedua negara ini, bersama beberapa anggota Eropa Timur lainnya, merasa bahwa kebijakan REPowerEU lebih mewakili kepentingan negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, dan Belanda—yang punya sumber daya, infrastruktur LNG, dan diversifikasi energi yang jauh lebih siap.

Slovakia, misalnya, mendapatkan 85% pasokan gasnya dari Rusia. Infrastruktur yang mereka miliki sejak era Perang Dingin seluruhnya didesain untuk menerima gas dari timur. Mengubah arah aliran energi dalam waktu tiga atau empat tahun bukan hanya mahal, tapi juga berbahaya secara sosial dan ekonomi. Ketika Ukraina menghentikan transit gas Rusia awal tahun ini, Slovakia harus beralih ke jalur alternatif seperti TurkStream untuk menghindari pemadaman massal. Tanpa dukungan penuh dari Uni Eropa, transisi ini terasa seperti menyeberang sungai dengan jembatan yang belum dibangun.

Austria juga tak jauh berbeda. Meski memiliki kekuatan ekonomi yang lebih besar dibanding Slovakia, ketergantungannya pada gas Rusia tetap signifikan. Vienna telah berulang kali memperingatkan bahwa keputusan energi harus realistis, bukan sekadar simbol politik. Dalam beberapa bulan terakhir, Pemerintah Austria menyatakan keprihatinan bahwa kecepatan penghapusan energi Rusia akan menekan industri, menaikkan harga energi, dan menciptakan ketidakpuasan sosial yang bisa mengguncang stabilitas politik.

Yang membuat kebijakan REPowerEU makin dipertanyakan adalah mekanisme pengambilan keputusannya. Tidak seperti kebijakan luar negeri atau keamanan yang membutuhkan konsensus, REPowerEU cukup didukung oleh 15 dari 27 negara anggota untuk dilaksanakan. Ini berarti suara negara-negara yang terdampak langsung bisa dikesampingkan. Dalam sistem yang disebut sebagai “demokrasi Eropa”, ini adalah ironi: minoritas bisa saja terabaikan demi gambaran besar yang tak selalu mencerminkan kondisi semua negara anggota.

Kondisi ini menghidupkan kembali luka lama negara-negara Eropa Timur yang selama ini merasa diperlakukan sebagai lapis kedua dalam arsitektur Eropa. Mereka bergabung dengan Uni Eropa dengan harapan akan mendapat perlakuan setara. Namun kini, ketika mereka menyuarakan keterbatasan dan realitas yang dihadapi, suara mereka dianggap sebagai penghalang agenda besar Eropa. Ketika solidaritas berubah menjadi paksaan, maka yang tumbuh bukan persatuan, melainkan perasaan ditinggalkan.

Program REPowerEU juga belum disertai dengan dukungan pendanaan yang sepadan untuk negara-negara yang paling rentan. Dana yang dijanjikan untuk proyek infrastruktur energi alternatif, seperti LNG terminal atau jaringan interkoneksi gas lintas negara, masih minim dibanding kebutuhan nyata di lapangan. Bahkan SPP, perusahaan gas milik negara Slovakia, menyatakan bahwa transisi energi yang terlalu cepat akan membuka risiko litigasi dari kontrak-kontrak lama—seperti yang kini mengancam mereka dengan tagihan €16 miliar dari Gazprom.

Kebijakan harga minyak Rusia juga menunjukkan betapa kompleks dan tidak seragamnya posisi antarnegara Eropa. Saat Komisi Eropa hendak menurunkan batas harga minyak Rusia dari $60 menjadi $45 per barel sebagai bagian dari sanksi ke-18 terhadap Moskwa, beberapa negara langsung mengajukan keberatan karena lonjakan harga minyak global akibat eskalasi Timur Tengah. Bahkan Ursula von der Leyen sendiri mengakui bahwa batas harga $60 “masih relevan” dalam kondisi saat ini. Penundaan itu menunjukkan bahwa ketika kepentingan negara-negara besar terganggu, kebijakan bisa berubah. Tapi saat negara kecil yang terdampak, fleksibilitas itu seolah tak berlaku.

Yang dibutuhkan Eropa hari ini bukan hanya semangat menjauh dari energi Rusia, tetapi juga keadilan dalam transisi. REPowerEU harus berubah dari proyek simbolik menjadi kebijakan nyata yang mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan tiap negara. Tidak semua negara memiliki pelabuhan LNG, akses ke laut, atau jaringan listrik yang kuat. Negara-negara yang terkurung daratan seperti Slovakia atau yang memiliki sejarah keterikatan dengan sistem energi Timur seperti Austria, membutuhkan waktu lebih panjang, bantuan teknologi, dan subsidi besar untuk bisa beralih tanpa mengguncang fondasi sosial mereka.

Sebagian kalangan menyebut keberatan Slovakia dan Austria sebagai bentuk nostalgia atau ketergantungan yang “tidak mau berubah”. Tapi hal ini menyederhanakan persoalan. Seperti halnya Indonesia dalam konteks Asia, negara-negara Eropa Timur perlu diakui sebagai bagian integral dari proyek Eropa yang tidak bisa hanya didorong oleh satu narasi tunggal dari pusat kekuasaan. Jika Uni Eropa ingin mempertahankan kohesinya di masa depan, maka kebijakan energi harus menjadi contoh bagaimana suara semua negara dihargai—bukan sekadar angka dalam pemungutan suara.

Slovakia dan Austria hari ini mengingatkan kita bahwa transisi besar tidak bisa berhasil tanpa empati dan kesetaraan. Dalam dunia yang sedang berubah cepat, keadilan dalam proses kadang jauh lebih penting daripada kecepatan hasil. REPowerEU bisa menjadi warisan penting bagi masa depan Eropa, tapi hanya jika dirancang bukan sekadar untuk melawan musuh eksternal, melainkan juga untuk menjaga kepercayaan internal. Tanpa itu, bukan hanya energi yang terancam padam—tetapi semangat persatuan itu sendiri.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *