Opini
Rencana Trump untuk Gaza Tak Realistis!

Donald Trump, sang jenius geopolitik abad ini, kembali dengan rencana briliannya: mengambil alih Gaza, menggusur warganya, lalu membangun surga dunia yang katanya akan lebih indah dan lebih damai. Sebuah ide yang begitu cemerlang hingga bahkan tentara zionis sendiri menggelengkan kepala, bertanya-tanya apakah ini visi masa depan atau sekadar lamunan seorang mantan presiden yang terlalu lama menatap matahari Florida.
Mari kita pahami logika Trump. Menurutnya, warga Gaza akan dengan suka hati meninggalkan rumah mereka yang dibombardir, melupakan sejarah dan identitas mereka, lalu berbaris rapi menuju pengasingan yang lebih “modern.” Tentu saja, mereka akan bahagia, katanya, seperti ayam yang dengan senang hati masuk ke kandang penjagalan karena dijanjikan pakan lebih enak sebelum leher mereka dipotong.
Masalahnya, tidak ada satu pun negara yang tertarik dengan tawaran Trump ini. Yordania menolak. Mesir menutup pintu. Bahkan negara-negara Teluk yang biasanya bermain mata dengan proyek gila Washington kali ini memilih pura-pura sibuk. Siapa yang mau menampung jutaan pengungsi yang diusir dari tanah mereka sendiri demi memuluskan proyek kolonial gaya baru ala Amerika?
Yang lebih menggelikan, militer zionis sendiri ragu-ragu. Mereka, yang biasanya tak punya urat malu untuk menggusur warga Palestina, tiba-tiba memiliki momen kontemplatif. Mereka sadar bahwa ini bukan hanya soal membangun properti ala Las Vegas di tanah yang dijarah, tetapi juga mempertaruhkan legitimasi global mereka yang sudah setipis benang.
Tapi tentu saja, bagi Trump, ini semua hanyalah detail kecil yang tak perlu dipikirkan. Ia membayangkan Gaza sebagai Disneyland versi Timur Tengah, lengkap dengan taman hiburan dan hotel mewah, sementara warga aslinya akan dikirim ke “komunitas baru yang lebih indah dan lebih aman.” Sebuah gagasan yang akan membuat bahkan arsitek apartheid tersohor pun terkikik geli.
Lebih konyol lagi, Trump berjanji tak akan ada satu pun tentara AS yang terlibat dalam proyek kolonisasi ini. Hebat! Jadi, bagaimana cara dia berencana untuk “mengambil alih” Gaza? Dengan kekuatan kata-kata magis? Dengan selembar surat perintah yang ditandatangani dengan tinta emas? Atau cukup dengan mencuitkan keinginannya di media sosialnya yang nyaris tak relevan?
Di sisi lain, warga Gaza tak butuh retorika bodoh tentang kebahagiaan di pengasingan. Mereka tahu bahwa tanah yang hendak direbut itu bukan sekadar sebidang properti, tapi warisan dan identitas mereka. Mengusir mereka berarti melanjutkan proyek kolonial yang telah berjalan selama puluhan tahun, dengan bumbu absurditas baru dari pemimpin yang menganggap dirinya sebagai dewa penyelamat.
Sementara itu, pejabat zionis yang masih memiliki sedikit kesadaran tak ingin langsung dicap sebagai penjahat perang terang-terangan. Tapi seperti biasa, kritik terhadap rencana ini langsung dianggap sebagai pembangkangan. Seorang jenderal yang sekadar mempertanyakan efektivitas rencana ini langsung dipanggil dan “diberi pengertian.” Bukankah ini menunjukkan betapa rapuhnya bangunan kebijakan ini?
Dan tentu saja, Trump menutup pidatonya dengan janji surgawi. Gaza, katanya, akan menjadi tempat paling spektakuler di dunia. “No US soldiers would be needed,” ujarnya, seakan-akan ini sekadar proyek properti dan bukan soal kehidupan jutaan orang. Mungkin dalam pikirannya, dunia adalah episode panjang dari acara realitasnya, dan semua orang hanya pemeran figuran dalam pertunjukan megahnya.
Yang lebih menyedihkan, ide gila seperti ini bahkan masih mendapat panggung. Seolah-olah ada kemungkinan bahwa pemindahan paksa bisa dilakukan dengan “sukarela,” seolah-olah Palestina adalah sebidang tanah kosong yang siap dibangun tanpa konsekuensi. Sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada proyek kolonial yang berakhir dengan kedamaian, tetapi bagi Trump, sejarah hanya ada jika bisa dijadikan bahan jualan.
Maka, kita sampai pada kesimpulan paling ironis dari semua ini: rencana ini tak hanya absurd, tetapi juga memalukan. Bahkan di antara para penjajah, ada batas tertentu untuk kegilaan. Trump, dengan egonya yang tak terbatas, melampaui batas itu. Jika dunia masih memiliki sedikit akal sehat, rencana ini seharusnya langsung dilempar ke tempat sampah, bersama dengan mimpi-mimpi imperialisme yang sudah kadaluarsa.