Connect with us

Opini

Rencana Evakuasi Gaza oleh Prabowo: Kemanusiaan atau Jebakan Geopolitik?

Published

on

Di tengah gemuruh solidaritas untuk Palestina, sebuah pengumuman mengejutkan dari Presiden Prabowo Subianto mengguncang wacana publik: rencana mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia untuk perawatan medis dan pemulihan trauma. Langkah yang dikemas sebagai misi kemanusiaan ini lantas memicu gelombang reaksi, dari dukungan hangat hingga kecurigaan tajam. Di balik niat mulia, bayang-bayang agenda geopolitik global, terutama usulan kontroversial Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza, menyelimuti rencana ini dengan ketidakpastian. Kekhawatiran bahwa evakuasi ini bisa menjadi bagian dari skema yang merugikan Palestina kini mengemuka, menuntut pertimbangan mendalam.

Rencana Prabowo, yang diumumkan sebagai wujud kepedulian terhadap penderitaan warga Gaza, langsung menuai dukungan dari sebagian kalangan. PBNU, melalui Ahmad Fahrur Rozi, memuji langkah ini sebagai cerminan nilai-nilai Islam dalam menolong sesama. Mereka melihat evakuasi sebagai cara nyata membantu anak-anak, perempuan, dan lansia yang terluka atau trauma akibat perang. Namun, PBNU menambahkan catatan: bantuan sebaiknya dilakukan di wilayah tetangga Gaza untuk memudahkan logistik dan menjaga kedekatan warga dengan tanah air mereka.

Di sisi lain, suara kritis menggema dari tokoh-tokoh berpengaruh. KH Ulil Abshar Abdalla dari NU menyebut rencana ini sebagai “blunder” yang berpotensi fatal. Baginya, memindahkan warga Gaza, meski sementara, bisa selaras dengan agenda Israel untuk mengosongkan wilayah itu, mengingat sejarah pengungsian Palestina yang kerap berujung pada kehilangan hak kembali. Anwar Abbas dari Muhammadiyah dan MUI bahkan lebih tegas, memperingatkan bahwa evakuasi ini berisiko memuluskan rencana Donald Trump dan sekutunya untuk merelokasi warga Gaza secara permanen.

Muhammadiyah sendiri terbelah dalam menanggapi isu ini. Syafiq Mughni, Ketua PP Muhammadiyah, mendukung evakuasi dengan syarat ketat: hanya untuk kebutuhan medis atau pendidikan sementara, dan warga harus dikembalikan ke Gaza setelah pulih. Namun, Anwar Abbas menolak keras, menyebutnya sebagai langkah yang bisa mendukung strategi Israel dan AS untuk mengusir Palestina dari tanah mereka, mengacu pada sejarah pendudukan Yerusalem. Perbedaan ini mencerminkan ketegangan antara idealisme dan pragmatisme.

MUI, sebagai payung organisasi Islam, mengambil sikap dominan menolak. KH Cholil Nafis menegaskan bahwa masalah utama adalah agresi Israel, bukan warga Gaza, sehingga bantuan harus difokuskan pada penghentian kekerasan dan perawatan di lokasi terdekat, seperti Mesir atau Yordania. Sudarnoto Abdul Hakim dari MUI menambahkan bahwa mereka terbuka pada bantuan kemanusiaan, tetapi menentang pemindahan ke Indonesia karena risiko disalahartikan sebagai relokasi permanen yang merugikan perjuangan Palestina.

Kekhawatiran para penentang bukan tanpa dasar. Laporan CNN pada Januari 2025 mengungkap usulan Trump untuk memindahkan 1,5 juta warga Gaza ke Yordania dan Mesir, yang ia sampaikan dalam percakapan dengan Raja Abdullah II. Trump menyebut Gaza sebagai “demolition site” yang perlu “dibersihkan,” dengan relokasi sebagai solusi, baik sementara maupun permanen. Pernyataan ini langsung disambut oleh pejabat Israel seperti Bezalel Smotrich, yang melihatnya sebagai peluang untuk mengurangi populasi Palestina di Gaza.

Yordania dan Mesir menolak keras usulan Trump. Ayman Safadi, Menteri Luar Negeri Yordania, menegaskan bahwa “Palestina untuk Palestina,” sementara Kementerian Luar Negeri Mesir menyebut relokasi sebagai ancaman terhadap stabilitas regional. Penolakan ini bukan sekadar retorika; kedua negara sudah menampung jutaan pengungsi Palestina dan paham betul risiko pengungsian baru yang bisa mengulang Nakba 1948, ketika 700.000 warga Palestina diusir tanpa hak kembali.

Konteks inilah yang membuat kekhawatiran terhadap rencana Prabowo terasa lebih logis. Meski niatnya kemanusiaan, evakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia—yang berjarak ribuan kilometer dari Palestina—membuka ruang untuk penyalahgunaan. Tanpa mekanisme jelas, seperti perjanjian internasional yang menjamin kepulangan, Indonesia berisiko terjebak dalam skema geopolitik yang lebih besar. Israel, yang telah menghancurkan 60% bangunan dan 92% rumah di Gaza menurut PBB, bisa memanfaatkan evakuasi ini untuk mengurangi tekanan kemanusiaan tanpa mengizinkan warga kembali.

Sejarah Nakba menjadi pengingat pahit. Pengungsian yang awalnya disebut sementara sering berakhir permanen, dengan 5,9 juta pengungsi Palestina kini tersebar di seluruh dunia, sebagian besar tanpa hak atas tanah mereka. Anwar Abbas dan Gus Ulil menyoroti bahwa identitas Palestina tidak hanya soal fisik, tetapi juga hak untuk tetap di tanah air. Memindahkan warga Gaza, meski untuk perawatan, bisa melemahkan narasi perjuangan mereka, apalagi jika dunia melihatnya sebagai relokasi.

Kurangnya transparansi dalam rencana Prabowo memperparah kecurigaan. Siapa yang akan dievakuasi? Berapa lama mereka akan tinggal? Bagaimana Indonesia menjamin kepulangan mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab, membuat penentang seperti KH Cholil Nafis mempertanyakan kesiapan Indonesia menghadapi dinamika geopolitik. Berbeda dengan Yordania atau Mesir, yang punya pengalaman langsung dengan krisis Palestina, Indonesia tidak punya preseden menangani evakuasi lintas benua dalam konflik sekompleks ini.

Pendukung seperti PBNU dan Syafiq Mughni berargumen bahwa kondisi Gaza yang kacau—dengan 90% penduduknya terlantar menurut PBB—membuat evakuasi menjadi kebutuhan mendesak. Mereka percaya Indonesia, sebagai negara Muslim besar, bisa menunjukkan solidaritas tanpa mengorbankan hak warga Gaza. Konsultasi Prabowo dengan Qatar, UEA, dan Mesir juga dianggap sebagai langkah untuk memastikan rencana ini tidak melenceng. Namun, argumen ini terasa lemah tanpa jaminan konkret.

Negara-negara Teluk dan sekitar Palestina, yang dikonsultasikan Prabowo, menunjukkan sikap hati-hati. Mesir dan Yordania, yang menolak relokasi ala Trump, kemungkinan hanya mendukung evakuasi ke Indonesia jika bersifat sementara dan terjamin. Qatar dan UEA, yang lebih fleksibel, tetap menekankan hak kembali warga Gaza. Sikap mereka mencerminkan kewaspadaan global terhadap agenda yang bisa mengosongkan Gaza, seperti yang didukung Smotrich dan tersirat dalam pernyataan Trump.

Kapasitas Indonesia di panggung global juga jadi sorotan. Berbeda dengan AS atau Israel, yang punya pengaruh besar, Indonesia tidak punya kuasa untuk memastikan warga Gaza bisa kembali jika ada tekanan eksternal. Pernyataan Trump tentang Gaza sebagai “lokasi fenomenal” dan komentar Jared Kushner tentang “nilai properti” Gaza memperkuat kecurigaan bahwa ada motif ekonomi dan geopolitik di balik usulan relokasi, yang bisa menyeret inisiatif seperti Prabowo ke arah yang tidak diinginkan.

Dukungan pendukung pada aspek kemanusiaan memang tak bisa diabaikan. Menyelamatkan nyawa anak-anak dan lansia dari Gaza, yang kini kehilangan rumah dan akses medis, adalah panggilan moral. Namun, risiko jangka panjang yang dikhawatirkan penentang—kehilangan hak atas tanah dan identitas Palestina—jauh lebih berat. Dalam konflik sekompleks ini, satu langkah keliru bisa mengubah niat mulia menjadi bencana strategis, seperti yang terjadi pada pengungsian masa lalu.

Kekhawatiran penentang akhirnya lebih logis karena berpijak pada sejarah, data, dan dinamika geopolitik. Nakba mengajarkan bahwa pengungsian, sekecil apa pun, bisa jadi pintu masuk untuk pengosongan wilayah. Usulan Trump, yang didukung Israel, menambah urgensi untuk mempertanyakan setiap rencana evakuasi, termasuk Prabowo. Tanpa transparansi dan jaminan kuat, risiko bahwa 1.000 warga Gaza tidak akan kembali lebih besar ketimbang manfaat menyelamatkan mereka sementara. Indonesia harus belajar dari Yordania dan Mesir: solidaritas sejati adalah menjaga Palestina tetap hidup di tanah mereka.

Rencana Prabowo, meski lahir dari kepedulian, berdiri di persimpangan yang rapuh. Niat baik tidak cukup ketika dunia menyaksikan Gaza terkoyak antara kemanusiaan dan ambisi geopolitik. Kekhawatiran bahwa evakuasi ini bisa dimanfaatkan untuk agenda seperti Trump bukan sekadar paranoia, melainkan pelajaran dari sejarah yang berdarah. Hanya dengan langkah hati-hati, koordinasi ketat, dan kejelasan penuh, Indonesia bisa memastikan solidaritasnya tidak berujung pada pengkhianatan tak sengaja terhadap Palestina.

 

*Sumber:

  1. CNN International. (2025, January 25). Trump floats relocating Palestinians from Gaza to Jordan, Egypt. Diakses dari https://edition.cnn.com/2025/01/25/politics/trump-gaza-strip-jordan-egypt/index.html
  2. (2025). Rencana Prabowo Evakuasi 1.000 Warga Gaza ke Indonesia: Pro dan Kontra.
  3. com. (2025). PBNU Dukung Evakuasi Warga Gaza, tapi Sarankan di Negara Tetangga.
  4. co.id. (2025). MUI Tolak Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia, Khawatir Relokasi Permanen.
  5. United Nations. (2024). Gaza: 60% of Buildings Damaged, 92% of Homes Destroyed.
  6. (2024). 5.9 Million Palestinian Refugees Worldwide.
  7. co. (2025). Anwar Abbas dan Gus Ulil Kritik Rencana Evakuasi Prabowo.
  8. Al Jazeera. (2023, October). Egypt and Jordan Reject Forced Displacement of Palestinians.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *