Opini
Rencana Baru AS di Lebanon: Apartheid Modern

Di selatan Beirut, jalan-jalan sempit yang penuh hiruk pikuk pedagang dan anak-anak sekolah kini dibayangi rencana besar yang datang dari seberang lautan. Aroma kopi yang biasa menguar dari kedai pinggir jalan bisa saja tergantikan bau penggeledahan di setiap pos pemeriksaan. Rumah-rumah yang berdiri rapat, dengan balkon dipenuhi jemuran pakaian, terancam berubah menjadi pemandangan muram di balik pagar kawat dan penjagaan senjata. Begitulah wajah masa depan yang ditawarkan Amerika Serikat kepada Lebanon: sebuah apartheidscape yang dikemas dengan bahasa diplomasi.
Lebanon hari ini sedang berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, tekanan dari Amerika Serikat dan sekutu Baratnya kian mencekik, menjanjikan “keamanan” yang sejatinya hanyalah keamanan semu, keamanan yang lahir dari kepatuhan penuh pada diktat asing. Di sisi lain, ada pilihan untuk melawan, mempertahankan senjata perlawanan, meski risiko yang datang adalah serangan militer, embargo ekonomi, dan isolasi diplomatik. Seolah dunia ingin memaksa Lebanon memilih: menjadi protektorat modern dengan wajah kolonialisme yang baru, atau tetap berdiri dengan kepala tegak meski dihantam badai.
Laporan Al-Akhbar menyingkap sebuah skenario yang nyaris absurd bila kita pikirkan dengan nalar sehat. Wilayah selatan Beirut—yang menjadi basis sosial Hizbullah—akan diperlakukan layaknya kamp pengungsi Palestina. Pintu masuk dijaga ketat, setiap orang digeledah, setiap mobil diperiksa, setiap barang yang masuk diawasi. Alasan yang dipakai tentu mulia—demi keamanan. Tetapi siapa yang percaya, bila keamanan itu justru berarti mematikan denyut ekonomi, memutus aliran logistik, dan mengintimidasi masyarakat sipil?
Lebih ironis lagi, rencana itu tidak akan dijalankan oleh tentara Lebanon. Negara diperlakukan seakan-akan tidak berdaulat, dianggap tidak mampu menjaga wilayahnya sendiri. Sebaliknya, sebuah pasukan asing—mungkin Arab, mungkin campuran—akan diturunkan. Pertanyaannya sederhana: bukankah itu artinya Lebanon bukan lagi Lebanon, melainkan wilayah mandat baru di bawah pengawasan asing? Seperti tanah jajahan, hanya saja kini dibungkus dengan jargon modern: stabilitas, perdamaian, rekonstruksi. Kata-kata yang enak dibaca, tapi pahit bila dirasakan.
Di selatan, rencana lain sudah menanti: sebuah buffer zone selebar tiga kilometer. Apa artinya? Pengusiran massal. Rumah-rumah dihancurkan, desa-desa dikosongkan, tanah ditinggalkan. Lahan produktif diubah menjadi “tanah mati,” seperti yang secara terang-terangan diucapkan para pejabat AS dalam pertemuan dengan pejabat Lebanon. Mereka bahkan tidak malu menyebutnya wasteland. Lihatlah betapa gamblangnya logika penjajahan modern ini. Mereka ingin tanah kosong, bukan masyarakat yang hidup. Mereka ingin ruang steril dari manusia, supaya perlawanan tak punya akar.
Dan jangan salah, semua ini bukanlah tawaran imbal balik. Delegasi Amerika yang datang ke Beirut—dipimpin senator Lindsey Graham hingga utusan khusus Thomas Barrack—jelas menyampaikan pesan: Lebanon harus lebih dulu melucuti Hizbullah, baru setelah itu mungkin, hanya mungkin, Israel akan mempertimbangkan langkahnya. Tapi tanpa jaminan. Tanpa kesepakatan tertulis. Tanpa kompensasi. Bahkan terang-terangan dikatakan, “tidak ada jaminan AS akan memaksa Israel melakukan sesuatu.” Jadi, yang diminta jelas: menyerah dulu, soal hasil urusan nanti. Kalau itu bukan kolonialisme, apa namanya?
Yang menarik, elite Lebanon sendiri terbagi. Ketua Parlemen Nabih Berri masih menolak ide buffer zone, menegaskan pentingnya rakyat kembali ke desa mereka, pembangunan dilanjutkan, dan serangan Israel dihentikan. Tapi di sisi lain, Perdana Menteri Nawaf Salam terlihat paling akomodatif. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang paling cepat menyerap tuntutan AS, paling sigap mengamini skenario asing. Dalam bahasa sederhana, ia adalah politisi yang lebih peduli pada selera tuan besar ketimbang suara rakyatnya sendiri. Dan inilah penyakit klasik dunia Arab: elite yang dengan mudah dipikat oleh kursi, dana, atau pujian dari luar negeri, sementara rakyat di bawah harus menanggung akibatnya.
Lebih jauh, ada ancaman lain yang tak kalah serius: masa depan UNIFIL. Pasukan penjaga perdamaian yang sejak 1978 hadir di Lebanon kini menjadi bahan tawar-menawar. AS dan Israel ingin mempersempit, bahkan mengakhiri mandatnya. Tapi sebelum itu, mandat UNIFIL ingin diubah: bukan lagi sekadar peacekeeper, melainkan pasukan yang diberi kewenangan menegakkan perlucutan senjata di selatan Litani. Bayangkan, pasukan internasional diberi lisensi untuk melawan Hizbullah secara langsung. Itu bukan lagi penjaga perdamaian, melainkan pasukan perang yang menyamar dengan bendera biru PBB. Rakyat selatan yang selama ini relatif menerima kehadiran UNIFIL, bisa saja berubah total—dari toleransi menjadi perlawanan. Dan kita semua tahu, ketika rakyat merasa tanahnya diambil, reaksinya tidak pernah bisa ditebak dengan tenang.
Kalau kita tarik lebih luas, apa yang dialami Lebanon bukanlah kasus tunggal. Ini bagian dari pola besar: Gaza diblokade, Suriah dipreteli, Irak ditekan, Yaman dihancurkan, dan kini Lebanon dipaksa tunduk. Semua itu ujungnya sama—mengamankan superioritas Israel di kawasan. Seolah-olah seluruh dunia Arab harus diatur, dipetak-petakkan, agar satu negara kecil bernama Israel bisa tidur nyenyak. Ironis, bukan? Puluhan juta orang harus menderita demi kenyamanan satu entitas yang lahir dari kolonialisme sejak awal.
Saya rasa, kita di Indonesia pun bisa belajar dari kisah ini. Bukankah kita pernah dijajah dengan logika serupa? Dulu, Belanda membawa jargon “perdagangan” dan “peradaban,” padahal intinya adalah eksploitasi. Dulu, rakyat kita dipaksa menanam komoditas yang tidak mereka makan, demi keuntungan orang asing. Kini Lebanon dipaksa menyerahkan senjata yang mereka anggap sebagai pelindung, demi keamanan semu yang hanya menguntungkan pihak lain. Bedanya hanya pada istilah. Kolonialisme selalu berganti baju, tapi wajahnya sama: rakus, manipulatif, dan tanpa empati.
Jadi, apa pilihan Lebanon? Menyerah, atau melawan. Tidak ada jalan tengah yang benar-benar aman. Menyerah berarti menjadi negara boneka, kehilangan martabat, dan perlahan mati sebagai bangsa yang berdaulat. Melawan berarti menanggung penderitaan, tetapi dengan kepala tegak, dengan harga diri yang utuh. Pilihan pahit ini mungkin terdengar tragis, tetapi begitulah sejarah bangsa-bangsa: kedaulatan tidak pernah diberikan gratis, ia selalu harus diperjuangkan.
Pada akhirnya, absurd bila kita berharap kolonialisme akan berubah jadi dermawan. Dari dulu sampai sekarang, ia hanya tahu satu bahasa: dominasi. Maka, pertanyaan yang harus dijawab rakyat Lebanon bukanlah “apa kata Washington?” melainkan “apa yang ingin kita wariskan kepada anak-anak kita?” Apakah mereka akan mewarisi negeri yang tunduk, atau negeri yang berdiri meski luka? Itulah sejatinya inti dilema hari ini. Lebanon tidak sedang memilih antara perang atau damai. Ia sedang memilih antara dijajah atau bermartabat. Dan dalam pilihan semacam ini, tidak ada keraguan yang benar-benar aman.
Pingback: Lebanon: Antara Tunduk Atau Melawan Keras - vichara.id
Pingback: Langkah Mundur Menteri Lebanon Picu Krisis Politik