Connect with us

Opini

Relokasi Warga Gaza: Solusi Kemanuasiaan atau Pengusiran Halus?

Published

on

Ketika pembahasan relokasi warga Gaza ke sejumlah negara, termasuk Indonesia, mencuat, ada baiknya kita mengingat pelajaran sejarah. Relokasi, kata yang terdengar halus, sering menjadi kedok untuk pengusiran. Warga Gaza, yang sudah menderita akibat blokade dan serangan, kini dihadapkan pada ancaman kehilangan akar mereka atas nama kemanusiaan. Luar biasa bukan?

Mengutip laporan NBC News, seorang pejabat transisi AS menyebut relokasi sebagai solusi jangka panjang untuk membantu warga Gaza. Indonesia, katanya, sedang dipertimbangkan sebagai salah satu tujuan. Namun, siapa yang bisa menjamin mereka akan kembali ke tanah mereka? Apakah relokasi ini hanya langkah awal untuk menghapus keberadaan Gaza secara perlahan?

Jika alasan relokasi adalah untuk menyelamatkan nyawa dari serangan Israel, mengapa bukan warga Israel yang dipindahkan? Mereka datang sebagai penjajah, didukung oleh negara-negara Barat yang bersikap bak pahlawan demokrasi. Bukankah lebih masuk akal jika mereka direlokasi ke Eropa atau AS, tempat dukungan untuk mereka sangat besar?

Namun, tentu saja, dunia tidak bekerja seperti itu. Palestina dipaksa menerima kenyataan pahit: tanah mereka dirampas, hak mereka direnggut, dan kini mereka diusir secara halus. Dengan dalih kemanusiaan, dunia seakan-akan lupa bahwa solusi sejati adalah menghentikan penjajahan, bukan memindahkan korbannya.

Relokasi ini seperti memindahkan korban banjir tanpa memperbaiki bendungan yang jebol. Israel tetap menjadi penjajah, melanjutkan proyek perluasan wilayahnya, sementara dunia sibuk mendiskusikan bagaimana “membantu” warga Palestina. Ironis, solusi yang ditawarkan justru memperkuat akar masalah.

Seharusnya, jika keselamatan warga Gaza benar-benar menjadi prioritas, dunia harus menekan Israel untuk menghentikan agresinya. Namun, justru Israel yang terus dilindungi, bahkan dipuji atas “kemajuan” dan “keamanan” yang mereka ciptakan. Kemudian, warga Palestina dibiarkan menjadi pengungsi abadi.

Relokasi adalah manipulasi tanpa senjata, cara halus untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka. Ide ini hanya memperkuat narasi Israel bahwa Gaza adalah tempat yang tidak layak dihuni. Padahal, yang membuat Gaza seperti itu adalah blokade dan serangan tanpa henti yang dilakukan Israel sendiri.

Bayangkan skenario lain: bagaimana jika AS memindahkan warga Israel ke Eropa atau AS sendiri untuk menyelamatkan mereka dari serangan Hamas? Tidak akan ada yang berani mengusulkan itu, karena itu berarti mengakui bahwa Israel tidak memiliki hak atas tanah Palestina. Namun, ide serupa diterapkan kepada rakyat Palestina tanpa banyak perlawanan.

Pendekatan seperti ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga menghancurkan harapan rakyat Palestina untuk kembali ke tanah mereka. Relokasi tidak pernah menjadi solusi untuk konflik yang berakar pada penjajahan. Sebaliknya, itu adalah taktik untuk menghapus jejak keberadaan mereka secara sistematis.

Jika alasan kemanusiaan yang digunakan untuk membenarkan relokasi, mari kita pikirkan ulang apa arti kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan berarti menghormati hak-hak orang lain, termasuk hak untuk hidup di tanah air mereka. Kemanusiaan tidak berarti mengorbankan satu kelompok untuk kenyamanan kelompok lain.

Sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia seharusnya menolak ide ini mentah-mentah. Kita tidak boleh menjadi bagian dari skema yang justru menguntungkan penjajah dan memperpanjang penderitaan rakyat Palestina. Relokasi warga Gaza bukanlah bantuan; itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan.

Relokasi bukanlah solusi, melainkan pengulangan sejarah kelam di mana korban dipaksa menyerah pada penindasan. Dunia seharusnya belajar untuk menuntut keadilan, bukan mengemas ketidakadilan dalam bungkus kemanusiaan. Jika kita membiarkan ini terjadi, maka kita turut serta dalam menuliskan bab baru penjajahan dengan tinta pengkhianatan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *