Opini
Rearmament Eropa: Ambisi Besar, Realita Penuh Rintangan

“Satu dari empat rekrutan baru di militer Jerman mengundurkan diri dalam enam bulan pertama.” Laporan ini seharusnya menjadi sinyal bahaya. Namun, di tengah ambisi besar Eropa untuk meningkatkan kekuatan militer, fakta ini hanya terdengar seperti lelucon pahit. Mereka ingin rearmament, tapi bahkan mengisi barisan tentara saja sudah menjadi tantangan monumental.
Ambisi rearmament Eropa tampak seperti seorang pria tua yang bermimpi menjadi petinju profesional setelah pensiun. Rencana besar, dana miliaran euro, dan janji-janji manis politisi seolah mengindikasikan kebangkitan kekuatan militer benua biru. Tapi ketika menghadapi realitas, mereka harus berurusan dengan birokrasi lambat, tentara yang kian menua, dan mentalitas masyarakat yang menganggap perang hanyalah kisah dalam buku sejarah.
Ketakutan yang Tak Terjawab
Dari perspektif realisme, ketergantungan Eropa terhadap AS sudah terlalu akut. Ketika Trump mengancam menarik dukungan untuk NATO dan Ukraina, politisi Eropa tiba-tiba tersadar bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan Washington. Jerman, sebagai salah satu negara Eropa dengan ekonomi terbesar, dipaksa berpikir ulang tentang strategi pertahanannya.
Namun, realitas berbicara lain. Bundeswehr, yang seharusnya menjadi tulang punggung pertahanan Jerman, justru semakin menyusut. Jumlah pasukan stagnan di angka 181.000—jauh dari target 203.000 pada 2031. Bukan hanya itu, rata-rata usia tentara meningkat menjadi 34 tahun. Tampaknya, yang tersisa dari pasukan Jerman hanya seragam dan janji kosong.
Sementara itu, Rusia terus memperkuat militernya, China memperluas pengaruhnya, dan AS semakin malas bermain sebagai polisi dunia. Jika realisme mengajarkan bahwa negara bertindak demi kepentingannya sendiri, maka Eropa jelas kalah dalam permainan ini. Mereka takut, tapi tidak cukup takut untuk melakukan sesuatu secara konkret.
Kerja Sama yang Macet
Para penganut liberalisme selalu percaya pada kerja sama internasional. NATO dan Uni Eropa adalah simbol keyakinan bahwa Eropa bisa bersatu dalam pertahanan kolektif. Tapi jika Eropa ingin bergantung pada NATO, siapa yang akan memimpin? Prancis? Inggris? Jerman? Sayangnya, mereka lebih sibuk berdebat daripada bertindak.
Liberalisme di sini tampak seperti teori akademik yang tak pernah menyentuh realitas. Pembentukan pasukan Uni Eropa masih menjadi wacana, bukan aksi nyata. Negara-negara seperti Hungaria dan Turki memiliki kepentingan sendiri yang sering kali bertentangan dengan rencana besar NATO dan UE. Ketika ancaman nyata datang, semua kembali kepada kepentingan nasional masing-masing.
Bahkan di dalam negeri, Jerman mengalami stagnasi. Menteri Pertahanan Boris Pistorius telah berusaha melakukan reformasi, tapi kendala birokrasi dan inefisiensi sistem membuat perubahan berjalan seperti siput yang malas. Jika Eropa masih mengandalkan strategi ini, maka impian rearmament hanyalah mitos modern.
Kompleks Militer-Industrial yang Gagal Berkembang
Jika ada satu kelompok yang benar-benar menikmati wacana rearmament, itu adalah industri pertahanan. Perusahaan seperti Rheinmetall, Airbus Defense, dan BAE Systems menunggu dengan sabar saat Eropa membuka keran anggaran. Tapi ada satu masalah: produksi senjata butuh lebih dari sekadar uang.
Fasilitas produksi tidak bisa tiba-tiba menggandakan output dalam semalam. Jerman bahkan butuh 13 tahun hanya untuk membangun fasilitas latihan penyelaman untuk angkatan lautnya. Jadi, jika mereka berpikir bisa membangun tank, kapal perang, dan jet tempur dalam hitungan bulan, itu hanya mimpi kosong.
Selain itu, masyarakat Eropa bukanlah AS yang rela menyuntikkan triliunan dolar ke industri militer tanpa perlawanan. Banyak yang masih memprioritaskan anggaran kesejahteraan sosial dibanding persenjataan. Ini menciptakan dilema: politisi ingin terlihat kuat, tapi tidak ingin kehilangan suara rakyat. Hasilnya? Banyak rencana tanpa eksekusi.
Mentalitas Pasifis dan Generasi yang Tak Peduli
Dulu, menjadi tentara adalah kebanggaan. Sekarang? Itu dianggap pekerjaan untuk mereka yang tidak punya pilihan lain. Di Jerman, wajib militer sudah lama dihapus, dan generasi muda lebih memilih bekerja di startup atau menjadi influencer ketimbang bertugas di barak. Mengapa memilih disiplin ketat dan risiko tinggi jika bisa menghasilkan uang dari TikTok?
Mentalitas pasifis juga merasuki politik dan masyarakat Eropa. Sejarah dua Perang Dunia menciptakan trauma yang membuat militerisasi bukan lagi prioritas. Sementara AS, Rusia, dan China masih melihat kekuatan militer sebagai alat utama diplomasi, Eropa malah sibuk berdiskusi tentang etika perang tanpa mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Bahkan mereka yang bergabung ke militer cepat kecewa. Infrastruktur buruk, sistem administrasi yang berbelit, dan kurangnya fasilitas modern membuat banyak tentara keluar dalam hitungan bulan. Ketika orang-orang lebih tertarik pada kenyamanan, siapa yang mau menghadapi kerasnya medan tempur?
Rearmament yang Gagal Sebelum Dimulai
Eropa ingin memperkuat militernya, tapi realitas tidak mendukung. Dari sudut pandang realisme, mereka gagal merespons ancaman dengan cara yang efektif. Dari sudut pandang liberalisme, kerja sama mereka lebih banyak retorika daripada aksi nyata. Dari perspektif ekonomi-politik, industri pertahanan tidak siap untuk ekspansi besar-besaran. Dan dari perspektif sosiologi militer, masyarakatnya sendiri tidak memiliki mentalitas yang cocok untuk kembali menjadi kekuatan militer utama.
Dengan semua ini, proyek rearmament Eropa tampak seperti eksperimen yang ditakdirkan untuk gagal. Jika mereka tidak bisa mengatasi krisis personel, birokrasi, dan mentalitas pasifis, maka semua miliaran euro yang dianggarkan hanya akan menjadi angin lalu. Di saat dunia bersiap menghadapi ketidakpastian geopolitik, Eropa justru sibuk berdebat tanpa solusi nyata.
Mungkin sudah saatnya mereka berhenti bermimpi tentang kejayaan masa lalu dan mulai menghadapi kenyataan pahit: tanpa perubahan fundamental, mereka hanya akan menjadi pemain figuran dalam panggung geopolitik dunia.