Opini
ReArm Europe: Mimpi Besar, Realita Nol!

Uni Eropa sedang bermimpi. Sebuah mimpi megah tentang kebangkitan militer, tentang kejayaan yang bisa mereka klaim di hadapan dunia. Mereka menyebutnya ReArm Europe Plan, rencana ambisius yang digembar-gemborkan sebagai langkah strategis untuk memperkuat pertahanan. Tapi, mari kita jujur—ini bukan strategi, ini adalah opera sabun politik. Sebuah pertunjukan yang dirancang untuk menciptakan ilusi ketangguhan, sementara dunia tahu persis dalam keadaan seperti apa Eropa saat ini: terpuruk, pecah, dan penuh omong kosong.
Laporan terbaru mengungkapkan bahwa negara-negara Eropa Selatan seperti Italia, Spanyol, dan Prancis menolak ide pinjaman untuk mendanai proyek ini. Mereka khawatir akan menambah beban utang yang sudah berat. Sementara itu, Jerman dan Belanda—negara dengan mentalitas fiskal hawkish—menolak gagasan utang bersama, khawatir akan menjadi preseden buruk. Maka, apa yang tersisa? Perdebatan tanpa akhir, tarik-menarik kepentingan, dan tidak ada jalan keluar yang nyata. Seolah-olah Eropa lupa bahwa kekuatan militer tidak hanya soal angka di atas kertas, tetapi tentang kesepakatan politik yang solid—sesuatu yang mereka tidak miliki.
Ursula von der Leyen, arsitek utama rencana ini, ingin meninggalkan warisan kepemimpinan yang besar. Dia membayangkan Eropa yang mandiri dalam pertahanannya, berdiri gagah menghadapi ancaman global, khususnya Rusia. Tapi ada satu masalah mendasar: Eropa tidak siap. Mereka terjebak dalam ilusi kehebatan, sementara ekonomi mereka melemah, industri pertahanan mereka lesu, dan ketergantungan mereka pada AS tetap tak tergantikan. Ketika AS mulai mengalihkan perhatiannya ke Asia dan Donald Trump memberi sinyal bahwa Washington tidak akan lagi menjadi penjaga keamanan gratis bagi Eropa, barulah UE tersadar bahwa mereka harus bertindak. Tapi yang mereka lakukan hanyalah bertengkar di meja rapat.
Italia dan Spanyol mengusulkan agar pengeluaran untuk perbatasan, keamanan siber, dan infrastruktur dimasukkan dalam kategori belanja militer agar bisa lolos dari batasan fiskal UE. Ini bukan solusi, ini adalah trik akuntansi. Mereka tidak benar-benar ingin meningkatkan pertahanan, mereka hanya ingin mengakali aturan. Prancis, dengan utang yang sudah di atas 110% dari PDB, memilih untuk tidak ikut serta dalam klausa darurat yang memungkinkan lebih banyak pinjaman. Mereka sadar bahwa pasar keuangan akan bereaksi negatif. Sementara itu, Jerman, meskipun berencana menghabiskan 500 miliar euro untuk memperkuat militernya, lebih memilih menggunakan uang sendiri daripada berutang dengan UE. Dengan kata lain, setiap negara bermain untuk kepentingan sendiri, tetapi tetap ingin terlihat seolah-olah mereka bersatu.
Eropa ingin menunjukkan ketegasan terhadap Rusia. Mereka ingin dunia percaya bahwa mereka siap menghadapi ancaman geopolitik. Tapi Rusia sendiri menertawakan gagasan ini. Moskow tahu betul bahwa UE tidak memiliki kekuatan yang nyata untuk menandingi mereka secara militer. Bahkan dengan dukungan penuh dari AS, Eropa masih gagal memberikan perlawanan yang signifikan terhadap agresi Rusia di Ukraina. Bagaimana mungkin mereka bisa lebih siap tanpa dukungan Washington? Semua ini hanyalah retorika kosong yang dimaksudkan untuk menjaga harga diri mereka di panggung internasional.
Lebih ironis lagi, UE tidak hanya gagal membangun strategi pertahanan yang nyata, tetapi juga terus menciptakan ketergantungan yang lebih dalam. Mereka ingin terlihat gagah, tetapi tetap meminta perlindungan AS. Mereka ingin mandiri, tetapi tidak mau menanggung konsekuensi finansialnya. Mereka ingin kekuatan militer yang kuat, tetapi takut untuk benar-benar mengalokasikan dana yang diperlukan. Jika ini bukan definisi dari delusi geopolitik, maka tidak ada lagi yang bisa dijadikan contoh.
Dan di balik semua drama ini, ada satu pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari ReArm Europe Plan? Jawabannya jelas: kompleks industri militer. Ini adalah proyek raksasa yang dirancang untuk menguntungkan segelintir perusahaan senjata, yang akan mendapatkan insentif pajak dan kontrak besar-besaran. Sementara itu, rakyat Eropa—yang sudah terbebani dengan inflasi, krisis energi, dan stagnasi ekonomi—harus menanggung biaya dari mimpi buruk ini. Von der Leyen mungkin ingin membangun warisan, tetapi yang dia lakukan hanyalah melempar Eropa ke dalam jebakan utang yang lebih dalam.
Jika UE benar-benar serius tentang pertahanan, mereka seharusnya fokus pada membangun sistem keamanan kolektif yang efisien dan realistis. Mereka seharusnya mencari cara untuk mengoptimalkan anggaran pertahanan tanpa harus berutang miliaran euro yang hanya akan memicu lebih banyak perpecahan. Tapi kenyataannya, UE tidak serius. Mereka hanya ingin terlihat serius. Dan itulah perbedaan besar antara kepemimpinan sejati dan politik sandiwara.
Eropa terlalu sibuk dengan pencitraan, sibuk membuat kesan bahwa mereka masih memiliki relevansi di panggung dunia, sementara kekuatan mereka semakin tergerus. Mereka menampilkan diri sebagai kekuatan global, tetapi mereka bahkan tidak bisa menyepakati cara membiayai ambisi militer mereka sendiri. Mereka berusaha menampilkan kesatuan, tetapi faktanya mereka adalah kumpulan negara dengan kepentingan bertabrakan, masing-masing lebih peduli pada utang nasional mereka sendiri daripada pada solidaritas yang mereka gembar-gemborkan.
Sementara itu, rakyat Eropa dipaksa menyaksikan pemimpin mereka memainkan drama yang sama berulang kali. Mereka dijanjikan keamanan, tetapi yang mereka dapatkan adalah pajak lebih tinggi dan utang yang semakin menumpuk. Mereka diberi janji kejayaan militer, tetapi yang terjadi justru ketergantungan yang semakin dalam terhadap Amerika Serikat. Mereka dijanjikan kebangkitan Eropa, tetapi yang mereka lihat adalah benua yang semakin kehilangan daya saing dan stabilitas ekonominya.
ReArm Europe Plan bukan sekadar proyek gagal, ini adalah simbol dari semua yang salah dengan Eropa saat ini: ketidaktegasan, retorika kosong, dan kegagalan untuk memahami realitas global. Ini bukan langkah menuju kekuatan, melainkan upaya putus asa untuk menyembunyikan kelemahan. Ini adalah ilusi yang mereka coba jual kepada dunia, berharap bahwa jika mereka cukup sering mengulanginya, mungkin seseorang akan percaya.
Tapi sayangnya, dunia tidak sebodoh itu.