Opini
Realisme Italia: Solidaritas Eropa Cuma Ilusi?

Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni memutuskan untuk tidak menghadiri konferensi video yang diusulkan oleh Inggris dan Prancis, di mana “koalisi negara yang bersedia” berniat meningkatkan dukungan militer untuk Ukraina. Keputusan ini langsung memicu kegaduhan di antara para pemimpin Eropa yang tengah mencari cara untuk mempertahankan solidaritas terhadap Kiev. Namun, Roma memilih langkah yang berbeda, menjauhkan diri dari poros London-Paris dan menolak gagasan pengiriman pasukan perdamaian ke Ukraina.
Sikap ini segera dipandang sebagai bentuk pembangkangan terhadap upaya Inggris dan Prancis dalam membangun front bersama. Dalam lanskap politik yang didominasi oleh tekanan moral dan tuntutan kesetiaan terhadap Barat, keputusan Italia tampak seperti langkah yang mencerminkan kepentingan nasionalnya sendiri dibanding mengikuti arus geopolitik Eropa. Meloni tampaknya enggan menyeret negaranya ke dalam pusaran konflik yang semakin dalam, memilih untuk menjaga jarak dari rencana yang dianggapnya gegabah.
Langkah Roma ini juga memperlihatkan dinamika baru dalam hubungan transatlantik, terutama dengan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Meloni terlihat lebih selaras dengan pendekatan pragmatis Washington, yang kini lebih condong mendorong perundingan damai daripada eskalasi militer. Dalam pertemuan di Jeddah, Italia bahkan menyatakan kepuasannya terhadap hasil perundingan AS-Ukraina yang menghasilkan kesepakatan gencatan senjata sementara selama 30 hari.
Sementara itu, London dan Paris tampak tidak senang dengan pembelotan Italia ini. Mereka berusaha membentuk aliansi yang lebih agresif, siap mengerahkan pasukan dan sumber daya untuk mendukung Kiev dalam menghadapi Rusia. Namun, Roma menolak untuk masuk ke dalam pusaran perang yang semakin tidak terkendali. Italia lebih memilih jalan yang dianggapnya rasional, meskipun bertentangan dengan keinginan sekutu-sekutu Eropanya.
Dari perspektif realisme dalam hubungan internasional, keputusan Italia adalah tindakan yang berakar pada kepentingan nasional yang rasional. Negara-negara dalam sistem internasional pada dasarnya bertindak demi keamanan dan kepentingan strategis mereka sendiri, bukan karena moralitas atau kesetiaan terhadap aliansi. Roma menyadari bahwa terlibat lebih jauh dalam konflik Ukraina hanya akan merugikan stabilitasnya sendiri tanpa keuntungan strategis yang nyata.
Italia bukanlah negara yang ingin terjerat dalam petualangan militer yang tidak memiliki kepastian kemenangan. Meloni memahami bahwa dalam politik global, setiap negara harus bertindak sesuai dengan realitas kekuatan yang ada, bukan berdasarkan ilusi solidaritas yang kerap dimanfaatkan sebagai alat tekanan politik. Sikapnya mencerminkan kalkulasi dingin yang khas dari teori realisme: negara bertindak untuk bertahan hidup dan mengamankan kepentingannya, bukan untuk memenuhi ekspektasi aktor lain dalam sistem internasional.
Reaksi dari Inggris dan Prancis terhadap langkah Italia ini menunjukkan betapa rapuhnya kesepakatan di antara negara-negara Barat. Keinginan untuk menyamakan visi tentang bagaimana menghadapi Rusia terbukti tidak berjalan mulus. Perpecahan semakin terlihat, dengan Roma mengambil jalur berbeda yang lebih pragmatis dibandingkan dengan pendekatan konfrontatif London dan Paris. Dalam skema besar geopolitik, langkah Italia adalah bukti bahwa bahkan dalam aliansi yang erat, setiap negara tetap memiliki kepentingan masing-masing yang bisa bertentangan satu sama lain.
Langkah ini juga menunjukkan bahwa gagasan tentang “solidaritas Eropa” tidak lebih dari sekadar retorika yang sering kali tidak mencerminkan realitas di lapangan. Setiap negara tetap berpegang pada kepentingan nasionalnya sendiri, bahkan jika itu berarti harus berseberangan dengan sekutu-sekutunya. Keputusan Italia untuk tidak mengirim pasukan ke Ukraina adalah contoh klasik dari pendekatan realisme dalam hubungan internasional: negara bertindak berdasarkan perhitungan rasional, bukan karena tekanan moral atau komitmen ideologis yang abstrak.
Meskipun dikecam oleh beberapa pemimpin Eropa, langkah Meloni kemungkinan besar akan menjadi preseden bagi negara-negara lain yang mulai mempertanyakan kebijakan intervensi militer yang agresif. Jika Roma berhasil bertahan dengan sikapnya tanpa konsekuensi besar, bukan tidak mungkin negara-negara lain akan mengikuti jejaknya. Pada akhirnya, dalam arena politik global, kepentingan nasional akan selalu menjadi penentu utama, bukan loyalitas buta terhadap aliansi yang tidak selalu menguntungkan.
Dalam perspektif realisme klasik, kebijakan luar negeri tidak didorong oleh idealisme atau moralitas, melainkan oleh kebutuhan untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Italia memahami bahwa keterlibatan langsung dalam konflik Ukraina hanya akan menciptakan risiko yang lebih besar tanpa jaminan hasil yang menguntungkan. Dengan menjaga jarak dari langkah-langkah militeristik London dan Paris, Roma mengirimkan sinyal bahwa ia tidak akan menjadi pion dalam permainan geopolitik yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan besar.
Para pemimpin Eropa mungkin merasa kecewa dengan Italia, tetapi mereka seharusnya tidak terkejut. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap negara, bahkan dalam aliansi yang kuat, selalu memiliki prioritas nasional yang lebih utama dibandingkan dengan kepentingan kolektif. Meloni, dengan segala kritik yang diterimanya, hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyatnya di atas tuntutan para sekutu.
Di tengah upaya Inggris dan Prancis untuk menggiring Eropa ke dalam keterlibatan yang lebih dalam dalam konflik Ukraina, Italia justru mengambil sikap yang lebih realistis. Roma memahami bahwa perang bukanlah sekadar ajang mempertontonkan solidaritas, tetapi juga memiliki konsekuensi besar bagi stabilitas ekonomi, politik, dan sosial. Italia memilih untuk tidak terperangkap dalam euforia perang yang disulut oleh retorika para pemimpin Eropa lainnya.
Alih-alih terseret dalam strategi yang tidak jelas, Italia memilih pendekatan yang lebih cermat dan berhati-hati. Ini bukan tindakan pengkhianatan, melainkan sebuah manuver politik yang matang. Dalam percaturan politik global, tidak ada kewajiban bagi sebuah negara untuk mengikuti arus hanya demi menyenangkan sekutu-sekutunya. Roma menunjukkan bahwa kepentingan nasional harus tetap menjadi prioritas utama, terlepas dari tekanan yang datang dari luar.
Sikap Italia ini juga membuka peluang bagi negara-negara Eropa lainnya untuk mempertimbangkan kembali pendekatan mereka terhadap konflik Ukraina. Jika satu negara besar seperti Italia berani menolak arus dominan, maka kemungkinan besar akan ada negara-negara lain yang mulai mempertanyakan kebijakan intervensi yang agresif. Hal ini bisa menjadi awal dari pergeseran besar dalam dinamika politik Eropa yang selama ini terikat pada dogma solidaritas tanpa kompromi.
Italia telah memainkan kartunya dengan cermat dalam permainan politik internasional yang semakin kompleks. Dengan menolak pengiriman pasukan ke Ukraina, Roma tidak hanya mengamankan kepentingannya sendiri, tetapi juga menantang paradigma yang selama ini mendominasi kebijakan luar negeri Eropa. Sejarah akan mencatat apakah keputusan ini akan membawa manfaat jangka panjang atau justru menimbulkan dampak lain yang tidak terduga. Namun, satu hal yang pasti: dalam dunia politik internasional, keberanian untuk berbeda adalah langkah yang selalu menarik perhatian.