Connect with us

Opini

Rawan Osman: Boneka Zionis dan Propaganda Murahan

Published

on

Radboud University di Belanda baru saja menjadi panggung bagi propaganda murahan yang dikemas dengan rapi dalam bentuk “kuliah akademis.” Di bawah sorotan lampu, Rawan Osman, yang mengaku sebagai Arab Zionis, melafalkan skrip yang sudah lama kita kenal: Palestina tidak ada, “Israel” adalah korban, dan orang-orang yang berjuang untuk kebebasan mereka adalah sekadar pecundang. Betapa inovatif.

Tentu saja, ini bukan sekadar Osman. Dia hanyalah wajah baru dari strategi tua yang dimainkan berulang kali. Ada satu aturan emas dalam propaganda: jika kau ingin menyembunyikan kolonialisme, gunakan seseorang yang seharusnya berada di pihak yang dijajah. Zionis tahu ini sejak lama. Osman hanyalah boneka yang dirancang untuk menampar bangsanya sendiri.

Orientalisme, seperti yang diuraikan Edward Said, selalu bekerja dengan cara yang sama. Barat dan Zionis tidak cukup hanya menjajah; mereka harus mendikte bagaimana rakyat jajahan berpikir. Osman adalah produk sempurna dari konstruksi ini—dilatih, dibentuk, dan dipersenjatai dengan narasi yang menggambarkan Palestina sebagai entitas fiktif, sejarah sebagai kebohongan, dan perlawanan sebagai kejahatan.

Namun, bahkan dengan semua kepalsuan yang diajarkan, realitas tetap lebih keras daripada propaganda. Di luar ruang kuliah mewahnya, di jalanan Radboud, mahasiswa dan aktivis meneriakkan kebenaran. “Zionis tidak diterima di sini!” Mereka bukan sekadar marah; mereka muak dengan skenario berulang di mana penjajah berpura-pura menjadi korban dan korban dicap sebagai agresor.

Osman menyebut Palestina sebagai proyek yang gagal. Ironis, mengingat satu-satunya proyek yang benar-benar membutuhkan propaganda miliaran dolar untuk bertahan hidup adalah “Israel.” Sebuah entitas yang perlu memproduksi tokoh-tokoh seperti Osman untuk membuktikan keberadaannya, karena realitasnya sendiri tidak bisa bertahan tanpa kebohongan yang terus-menerus didaur ulang dan dipaksakan.

Tentu saja, Osman tidak berdiri sendiri. Dia didukung oleh StandWithUs, mesin propaganda zionis yang didanai untuk menyebarkan disinformasi ke seluruh dunia. Mereka tahu bahwa dengan wajah Arab yang bersedia menjual dirinya, mereka bisa menciptakan ilusi bahwa bahkan “orang Arab” pun setuju dengan penjajahan. Sebuah teknik klasik kolonialisme: pecah belah dan kuasai.

Namun, propaganda yang buruk tetaplah propaganda yang buruk. Bahkan dengan Osman berdiri di podium, bahkan dengan StandWithUs menyokongnya, fakta di lapangan tetap tak terbantahkan: anak-anak Palestina masih dibunuh, rumah mereka masih dihancurkan, dan Gaza masih menjadi penjara terbesar di dunia. Tidak ada pidato yang bisa menghapus kenyataan ini.

Osman mencemooh perlawanan Palestina, menyebut mereka “pecundang.” Tapi sejarah tidak mencatat pecundang sebagai mereka yang melawan penindasan, melainkan mereka yang menjilat sepatu penjajah dengan harapan mendapatkan remah-remah dari meja kekuasaan. Jika ada yang kalah di sini, itu adalah mereka yang menggadaikan harga diri mereka demi beberapa keping perak.

Dalam setiap narasi yang dibangun Osman, ada upaya untuk mereduksi perjuangan Palestina menjadi sekadar “kesalahan strategi.” Seolah-olah masalahnya bukanlah penjajahan brutal selama 75 tahun, melainkan sekadar taktik yang salah. Ini adalah kebohongan yang diulang dalam sejarah kolonial: bahwa yang dijajah selalu salah, dan yang menjajah selalu membawa “peradaban.”

Dengarkan baik-baik, ini bukan soal strategi, bukan soal kalah atau menang dalam perang. Ini adalah soal hak dasar manusia yang dirampas secara sistematis. Osman boleh berkata apa pun yang dia inginkan di hadapan para akademisi yang membayar tiket untuk mendengarnya, tapi bagi seorang ibu di Gaza yang menguburkan anaknya, kata-kata Osman tidak lebih dari muntahan kolonial yang menjijikkan.

Osman mengatakan, “Palestina tidak ada.” Sebuah argumen yang cukup menggelikan, mengingat Zionis telah menghabiskan puluhan tahun untuk mengebom, membunuh, dan mengusir sesuatu yang katanya “tidak ada.” Entitas yang tidak ada tidak perlu dihancurkan. Entitas yang tidak ada tidak perlu dipadamkan dengan undang-undang apartheid dan kekerasan militer. Osman, dalam absurditasnya sendiri, adalah bukti bahwa Palestina itu nyata.

Propaganda semacam ini tidak berusaha untuk meyakinkan orang-orang yang benar-benar peduli dengan kebenaran. Ini ditujukan bagi mereka yang masih ragu, mereka yang bisa disesatkan oleh narasi yang tampaknya masuk akal tetapi sebenarnya busuk dari akarnya. Ini bukan soal menyampaikan fakta, ini soal menanamkan kebingungan, membuat opini publik terpecah, dan memberikan ruang bagi penjajahan untuk terus berlanjut.

Dan tentu saja, mereka akan terus menggunakan model Osman yang lain di masa depan. Jika bukan dia, maka akan ada lagi yang siap menggantikannya, karena dalam industri propaganda zionis, selalu ada tempat bagi mereka yang bersedia menjual jiwa mereka demi sedikit validasi dari sang penjajah. Begitulah cara kolonialisme bekerja: ia tidak hanya menghancurkan tubuh, tetapi juga mencuri pikiran.

Namun, sekeras apa pun mereka mencoba, realitas tetap lebih kuat dari kebohongan. Palestina tetap ada, perlawanan tetap ada, dan semakin banyak orang di dunia yang melihat dusta zionis semakin transparan. Osman dan mereka yang seperti dia mungkin bisa menipu beberapa orang, tetapi mereka tidak bisa menghentikan arus sejarah. Dan sejarah tidak akan mencatat mereka sebagai pemenang, melainkan sebagai pengkhianat yang menjual kebenaran demi kekuasaan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *