Opini
Rampas Aset Koruptor: Janji Manis atau Drama Politik?

Di negeri yang tanahnya subur, tapi moralnya kadang kering kerontang, ada pemandangan yang bikin hati miris sekaligus geli: koruptor hidup bak raja, pamer aset curian, sementara rakyat cuma bisa menatap dengan dompet kosong dan harapan yang kian pudar. Dialog di Metro TV itu, dari studio yang riuh hingga obrolan podcast yang nyaring, menyeruak bagai teriakan: “Saya mendukung undang-undang perampasan aset! Enak aja, udah nyolong, enggak mau kembalikan, gue tarik aja deh!” Tapi, setelah hampir dua dekade, RUU Perampasan Aset masih terkatung-katung, bagai perahu kertas di lautan birokrasi, tak kunjung jadi undang-undang.
Bayangkan, sejak 2008, ketika PPATK pertama kali mengusulkan ide ini, RUU ini sudah jadi bahan obrolan panjang—dari era Susilo Bambang Yudoyono, berjalan pelan bagai siput di koridor DPR, sampai Jokowi mengirim surat presiden di 2023, yang ternyata cuma numpang lewat. Kini, di bawah Prabowo Subianto, yang dengan gagah berorasi soal perang melawan korupsi, janji itu masih manis di bibir, tapi kosong di tindakan. “Mendukung,” katanya. Tapi, seperti kata Asep Iwan, mantan hakim yang tak bisa menahan tawa getir, “Mendukung doang mah omon-omon! Perintahkan dong, Pak, biar DPR gerak!” Ironi yang cerdas, bukan? Presiden dengan koalisi 80% di parlemen, tapi RUU ini tetap jadi anak tiri, disisihkan demi alasan yang terdengar mulia tapi bau politik.
Korupsi di Indonesia bukan cuma soal nyolong duit. Ini soal merampok mimpi, mencuri masa depan anak-anak yang cuma bisa belajar dari buku bekas atau layar ponsel pinjaman. Data ICW bikin jantungan: tahun 2023, kerugian negara akibat korupsi capai Rp56 triliun, tapi yang balik ke kas negara cuma Rp7 triliun—12,5% doang! Bayangkan, uang itu bisa bikin sekolah yang layak, rumah sakit yang nggak antre, atau jalan yang nggak bolong-bolong kayak permukaan bulan. Tapi, koruptor malah pamer mobil mewah, rumah bak istana, dan liburan ke Paris, sementara rakyat disuguhi janji-janji manis yang berulang bagai kaset rusak. RUU Perampasan Aset, dengan pendekatan Non-Conviction Based (NCB), janji bakal rampas harta tanpa nunggu vonis pengadilan. Tapi, kenapa masih dipetieskan di laci DPR, bagai dokumen usang yang cuma numpang debu?
Ada aroma politik busuk di balik ini. Di studio Metro TV, dari Saut Situmorang sampai Almas Syafrina, semua sepakat: RUU ini bisa jadi bumerang buat pejabat yang punya kekayaan tak wajar—unexplained wealth, istilah yang bikin bulu kuduk pejabat nakal berdiri. Bayangkan, seorang menteri atau anggota DPR dengan gaji resmi Rp50 juta sebulan, tiba-tiba punya vila di Bali dan kapal pesiar. Dari mana? “Warisan nenek,” katanya, sambil tersenyum licik. RUU ini bakal paksa mereka buktikan asal-usul harta, dan kalau nggak bisa, rampas! Tapi, justru karena potensi “senjata makan tuan” ini, banyak yang main tarik-ulur. Bambang Pacul, mantan Ketua Komisi III, blak-blakan: “Ini soal lapor ke ketua partai dulu, Mbak. DPR nurut bos masing-masing.” Lucu, tapi nyeri. DPR yang katanya rumah rakyat, ternyata cuma pelayan ketum partai.
Pemerintah, yang seharusnya jadi lokomotif, malah ikut main rem. Prabowo bilang, “Saya dukung!” Tapi, seperti kata Asep, dukungan tanpa perintah itu cuma angin sepoi-sepoi, bukan badai yang bikin koruptor gemetar. Ketua DPR Puan Maharani bilang, “Tunggu KUHAP selesai dulu.” Yusril Ihza Mahendra, Menko Hukum, malah lebih dingin: “Belum ada urgensi buat Perpu.” Wow, kalau Rp56 triliun digondol koruptor bukan urgensi, apa lagi yang darurat? Banjir Jakarta? Atau harga cabai naik? Ini Indonesia, tempat korupsi dianggap musuh bangsa, tapi penjeraannya sering cuma jadi bahan candaan di warung kopi.
Padahal, Indonesia sudah tanda tangan UNCAC di 2006, yang bilang kekayaan ilegal harus dirampas. Konsepnya sudah matang, naskah akademis sudah dibikin sejak zaman Ramlan, mantan Jaksa Agung Muda. Tapi, seperti kata Saut, “Kita ini jagonya bikin konsep, tapi nol eksekusi.” DPR bilang takut kriminalisasi kalau RUU ini disahkan sekarang. Hasbiallah Ilias, anggota Komisi III, ngotot KUHAP harus selesai dulu biar nggak ada penyalahgunaan. Tapi, Almas dari ICW menukas tajam: draf RUU 2023 sudah punya batasan ketat, jadi alasan kriminalisasi cuma kedok buat nunda-nunda. Ini kayak bilang, “Jangan operasi tumor dulu, tunggu pasien sehat!” Absurd, tapi itulah logika yang dipakai.
Di sisi lain, obrolan podcast dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bikin kita tersenyum miris. Dia cerita, dulu di Jakarta, dia hapus honor-honor fiktif, bikin anggaran transparan, dan rampas celah korupsi. “Gaji kecil bukan alasan nyolong, itu soal keserakahan!” katanya, dengan nada yang bikin kita pengen tepuk tangan, tapi juga sedih. Ahok bilang, kalau pemerintah serius, tinggal keluarkan Perpu, kasih time frame, misalnya 17 Agustus, dan selesai. Tapi, apa kabar? Pemerintah malah main tunggu-tungguan, kayak penyakit “besok-besok aja” yang udah mendarah daging.
Lalu, kenapa RUU ini penting? Karena korupsi bukan cuma soal duit, tapi soal keadilan. Uang Rp56 triliun yang dirampok bisa bikin anak-anak sekolah nggak putus, ibu-ibu nggak antre beras, dan bapak-bapak nggak cuma bermimpi kerja layak. RUU ini janji pulihkan kerugian negara, kasih efek jera, dan bikin koruptor mikir seribu kali sebelum nyolong. Tapi, seperti kata Almas, tantangannya nggak cuma di undang-undang. Penegak hukum kita, dari polisi sampai jaksa, harus punya nyali dan integritas. Kalau cuma cherry-picking—galak ke musuh politik, lembek ke kawan—RUU ini cuma jadi macan kertas.
Ada harapan? Tentu. Rakyat Indonesia, meski sering disuguhi janji basi, punya nurani. Ahok bilang, “Rakyat tahu mana yang jujur, mana yang culas.” Tapi, nurani rakyat perlu didukung pemimpin yang berani. Prabowo, dengan koalisi raksasanya, punya kuasa bikin RUU ini jadi kenyataan. Tinggal perintahkan, kasih tenggat, atau keluarkan Perpu. Tapi, kalau cuma “mendukung” sambil nunggu KUHAP yang entah kapan selesai, kita cuma akan ketawa miris di warung kopi, sambil ngeluh, “Indonesia, Indonesia.”
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Dorong pemerintah, teriak di medsos, atau minimal, jangan golput. Korupsi ini musuh kita semua, dan RUU Perampasan Aset bisa jadi senjata. Tapi, senjata nggak berguna kalau cuma dipajang. Ayo, Pak Prabowo, perintahkan DPR, rampas harta koruptor, dan buktikan bahwa “mendukung” bukan cuma gaya-gayaan. Kalau nggak, ya sudahlah, kita nikmati aja drama politik ini sambil ngopi, dengan senyum getir di bibir.