Opini
Ramadan Berdarah: Tradisi Brutal Israel Tiap Tahun

Tentara Israel menyerbu lingkungan di Nablus pada hari Jumat sebagai bagian dari ofensif militer yang sedang berlangsung di Tepi Barat bagian utara yang diduduki. Serangan ini dilancarkan tepat sebelum dimulainya bulan suci Ramadhan, ketika umat Islam bersiap untuk hari pertama puasa pada hari Sabtu. Sungguh sebuah tradisi “jahat” yang dijaga dengan penuh ketekunan. Sebab, apa itu Ramadan tanpa sedikit—atau banyak—teror dan pembantaian?
Seperti koki yang telaten menyiapkan menu spesial untuk tamunya, Israel tak pernah absen menghadirkan kejutan di bulan suci. Tahun demi tahun, Ramadan menjadi ajang eksperimen yang menyenangkan bagi mereka. Jika tahun lalu sukses dengan penggerebekan di Masjid Al-Aqsa, maka tahun ini, mereka mencoba sesuatu yang lebih brutal: penggusuran massal, serangan udara, dan sedikit bumbu tank di Jenin. Oh, jangan lupa, target utama tetap warga sipil, karena mereka adalah ancaman nyata bagi negara yang mengaku paling demokratis di Timur Tengah.
Jangan salah, ini bukan sekadar kejahatan perang biasa. Ini lebih dari itu. Ini adalah pertunjukan “seni” yang dirancang dengan penuh perhatian. Bagaimana caranya menebar ketakutan, menghambat ibadah, dan tetap bisa berdalih bahwa ini semua soal keamanan? Sebuah mahakarya propaganda yang terus dikemas ulang agar dunia tetap bingung dan tidak terlalu peduli. Lagipula, siapa yang masih terkejut? Ramadan 2021, 2022, 2023—semuanya memiliki pola yang sama. Umat Islam berkumpul, beribadah, lalu dihantam dengan bom dan peluru. Mungkin ini cara Israel mengingatkan dunia bahwa mereka tak ingin ada Ramadan yang damai.
Dalam pikiran mereka, mungkin Ramadan adalah waktu terbaik bagi Israel untuk menumpahkan darah, sebab dunia Muslim sedang sibuk dengan doa dan ibadah. Ini juga waktu terbaik untuk menguji seberapa besar kemunafikan global. Tahun lalu, tentara mereka menginjak-injak sajadah di Al-Aqsa, menembakkan gas air mata ke jemaah, dan menangkap orang-orang yang hanya ingin beribadah. Tahun ini? Mungkin mereka akan mencoba sesuatu yang lebih spektakuler. Drone di atas Masjid Al-Aqsa? Serangan udara saat iftar? Semua kemungkinan terbuka.
Sementara itu, komunitas internasional juga memainkan perannya dengan sangat apik. Mereka akan mengeluarkan pernyataan keprihatinan, mengirim utusan untuk “menyelidiki” situasi, dan mungkin, hanya mungkin, mengusulkan resolusi di PBB yang sudah pasti akan diveto. Ritual ini tak boleh dilewatkan, sebab ia adalah bagian dari drama besar yang kita saksikan setiap Ramadan. Tentu saja, media-media arus utama akan tetap setia menampilkan narasi yang sama: “ketegangan meningkat,” “Israel berhak membela diri,” dan “konflik yang kompleks.” Hebat betul bagaimana sebuah negara pendudukan bisa membela diri dari rakyat yang ia jajah.
Di tengah semua itu, rakyat Palestina harus terus membuktikan bahwa mereka adalah manusia. Mereka harus mati dengan cara yang cukup tragis agar dunia sudi menoleh. Jika hanya kehilangan rumah, itu belum cukup. Jika hanya kehilangan keluarga, itu juga belum cukup. Mereka harus benar-benar hancur agar dunia mulai ragu-ragu, sebelum kembali lupa seminggu kemudian. Tahun demi tahun, Ramadan di Palestina bukanlah tentang ibadah dan refleksi spiritual. Ini adalah bulan bertahan hidup.
Israel tahu persis kapan harus menyerang. Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga bulan di mana solidaritas umat Islam meningkat. Apa cara terbaik untuk menghancurkan itu? Sederhana: serang mereka di saat paling rapuh, ketika mereka tengah berpuasa, ketika mereka berkumpul untuk shalat, ketika dunia Muslim hanya bisa marah di media sosial. Sebab mereka tahu, setelah kemarahan itu reda, takkan ada konsekuensi nyata.
Jadi, selamat datang di Ramadan 2025, edisi spesial dengan lebih banyak penggerebekan, lebih banyak korban, dan tentu saja, lebih banyak pembenaran yang absurd. Tahun depan, skenarionya mungkin sedikit berbeda, tetapi inti ceritanya tetap sama. Sebab, bagi Israel, Ramadan bukanlah bulan suci. Ini adalah bulan di mana kejahatan mereka bisa bersinar lebih terang, tanpa ada yang berani memadamkannya.
Dan kita, sebagai dunia yang katanya beradab, akan kembali menonton, mengecam di media sosial, lalu melanjutkan hidup seolah tak terjadi apa-apa. Sampai Ramadan berikutnya, ketika siklus ini diulang lagi, dengan lebih banyak darah, lebih banyak air mata, dan lebih banyak kemunafikan global yang membungkusnya dengan kata-kata manis tentang “hak asasi manusia” dan “perdamaian dunia” yang nyatanya hanya berlaku bagi mereka yang dianggap layak untuk hidup.