Connect with us

Opini

Rakyat vs Senjata: Ironi Prioritas Politik Inggris

Published

on

Ribuan orang berjalan di jantung London pada hari Sabtu, 7 Juni 2025, suara mereka bergema di Portland Place hingga Whitehall, meneriakkan “Tax the Rich” dan “Welfare Not Warfare.” Spanduk bertulisan “Nurses Not Nukes” melambai di tengah kerumunan, menangkap kemarahan dan keputusasaan. Ini bukan sekadar demonstrasi; ini adalah jeritan rakyat Inggris yang merasa ditinggalkan pemerintahnya sendiri. Di bawah kepemimpinan Keir Starmer, Partai Buruh yang diharapkan membawa perubahan justru melanjutkan penghematan, memotong tunjangan sosial, sambil menggelontorkan miliaran untuk senjata dan perang di Ukraina. Realitas ini menyakitkan—dan ironis.

Kegelisahan ini terasa begitu nyata. Bayangkan seorang lansia di London yang kehilangan tunjangan bahan bakar musim dingin, terpaksa memilih antara memanaskan rumah atau membeli makanan di tengah musim dingin yang membeku. Atau seorang penyandang disabilitas, seperti yang disinggung Kate Hardie dalam laporan The Guardian, yang “hancur” karena pemotongan Personal Independence Payments. Ini bukan angka di kertas; ini soal nyawa. Angela Grant dari serikat PCS berkata, “Orang-orang mati karena tak punya makanan di perut mereka.” Sementara itu, pemerintah mengalokasikan £4,5 miliar untuk Ukraina, termasuk £350 juta untuk 100.000 drone hingga April 2026, dan berencana meningkatkan anggaran pertahanan hingga 3% PDB. Ironi ini terasa seperti tamparan: rakyat kelaparan, tapi pemerintah sibuk mengirim senjata ke medan perang.

Laporan dari RT dan The Guardian menyoroti inti masalah: prioritas politik yang salah. Anggaran pertahanan Inggris untuk 2024/25 mencapai £64,6 miliar, sekitar 5% dari total pengeluaran publik £1.278,6 miliar. Bandingkan dengan kesehatan (£193,3 miliar) dan kesejahteraan (£313 miliar), yang jelas jauh lebih besar. Tapi angka-angka ini menipu. Pertumbuhan anggaran NHS hanya 2,3% per tahun sejak 2015, tak cukup untuk mengatasi daftar tunggu rumah sakit yang membengkak pasca-pandemi. Pemotongan tunjangan bahan bakar dan batas tunjangan dua anak—yang masih dipertahankan—memperparah penderitaan kelompok rentan. Sementara itu, anggaran militer melonjak, dengan tambahan £2,2 miliar untuk 2025/26, menuju £79,7 miliar pada 2027. Demonstran bertanya: mengapa rakyat harus berkorban demi ambisi geopolitik?

Di Indonesia, kita tak asing dengan ketegangan serupa. Bayangkan warga Jakarta yang berjuang dengan kenaikan harga BBM, sementara pemerintah mengalokasikan Rp 543 triliun untuk pertahanan pada 2025, termasuk pembelian jet tempur dan kapal selam. Sementara itu, subsidi kesehatan dan pendidikan sering kali terasa minim, dengan rumah sakit umum kekurangan alat dan sekolah negeri penuh sesak. Seperti di London, rakyat Indonesia juga bertanya: mengapa anggaran besar untuk militer, tapi layanan dasar tertatih-tatih? Konteks lokal ini memperkuat empati kita terhadap demonstran di London. Kita tahu rasanya merasa diabaikan demi prioritas yang terasa jauh dari kebutuhan sehari-hari.

Kembali ke London, suara Diane Abbott dalam laporan The Guardian menambah dimensi emosional. Ia menyebut pernyataan Starmer tentang imigrasi—yang menyamakan imigran dengan “pulau orang asing”—sebagai “fundamentally racist.” Ini bukan sekadar kritik politik; ini seruan dari seorang anak imigran yang tahu bagaimana pendahulunya membangun Inggris. Abbott menolak narasi bahwa imigran adalah masalah, dan justru menuding Starmer meniru retorika Reform UK yang populis. Ini menyakitkan karena Partai Buruh seharusnya menjadi suara progresif, bukan pengikut arus konservatif. Kate Hardie, seorang pemilih setia Buruh selama 39 tahun, kecewa hingga bersumpah tak lagi mendukung partai itu. “Pemotongan ini tidak perlu,” katanya, menggambarkan penderitaan teman-temannya yang penyandang disabilitas.

Laporan RT menambahkan lapisan lain: militerisme. Pemerintah Starmer, melalui Strategic Defense Review, berkomitmen meningkatkan produksi jet tempur, rudal jarak jauh, dan kapal selam bertenaga nuklir. Menteri Pertahanan John Healey menyebut ini “pesan untuk Moskow.” Tapi bagi demonstran, ini bukan soal keamanan; ini soal pengalihan dana dari NHS, pendidikan, dan kesejahteraan. Martin Cavanagh dari serikat PCS berkata, “Kami tak akan pernah menerima pemerintah yang lebih peduli pada penjualan senjata daripada kesejahteraan rakyat miskin.” Slogan “Welfare Not Warfare” menangkap kemarahan ini dengan tepat. Bagi rakyat, apa gunanya keamanan nasional jika mereka tak bisa membayar tagihan listrik?

Data memperjelas ketimpangan ini. Meskipun anggaran kesejahteraan (£313 miliar) dan kesehatan (£193,3 miliar) besar, pemotongan spesifik—seperti tunjangan bahan bakar musim dingin—menciptakan dampak nyata. Di sisi lain, pengeluaran militer, meski “hanya” 5% dari total anggaran, terus naik, didanai sebagian dengan memotong bantuan luar negeri dari 0,5% ke 0,3% GNI, menghasilkan £6,1 miliar ekstra untuk pertahanan. Demonstran seperti Corinne Richeux, yang bahkan bersedia pajaknya dinaikkan sebagai orang kaya, menawarkan solusi: “Tax the rich.” Mengapa pemerintah tak memilih jalur ini alih-alih memotong tunjangan lansia?

Pertanyaan ini menggema di mana-mana, termasuk di Indonesia. Kita pernah melihat protes mahasiswa menolak kenaikan BBM atau UU Cipta Kerja, dengan argumen serupa: kenapa elit kaya tak dipajaki lebih, tapi rakyat kecil yang menanggung beban? Di London, Daniel Kebede dari National Education Union menegaskan bahwa kebijakan penghematan ini justru menguntungkan populis seperti Nigel Farage. Ini peringatan keras: jika pemerintah gagal mendengar, ketidakpuasan bisa mendorong polarisasi politik yang lebih dalam, seperti yang kita lihat di Indonesia saat demonstrasi besar-besaran memicu ketegangan sosial.

Tapi, ada sisi lain. Pemerintah Starmer mungkin berargumen bahwa dukungan untuk Ukraina dan anggaran militer bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Konflik di Ukraina mengancam stabilitas Eropa, dan Inggris, sebagai anggota kunci NATO, tak bisa tinggal diam. Anggaran £4,5 miliar untuk Ukraina adalah bagian dari solidaritas global, bukan sekadar ambisi geopolitik. Namun, tanpa komunikasi yang jelas, rakyat melihatnya sebagai pengorbanan kebutuhan mereka. Mengapa tak ada penjelasan bagaimana dana ini juga melindungi kepentingan Inggris? Mengapa tak ada solusi seperti pajak redistributif untuk menyeimbangkan semuanya?

Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: apa artinya menjadi “negara yang kuat” jika rakyatnya kelaparan? Demonstran di London, dengan spanduk dan teriakan mereka, mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal jet tempur atau kapal selam, tapi tentang bagaimana sebuah negara merawat warganya yang paling rentan. Di Indonesia, kita pun bertanya hal serupa: apa gunanya alutsista canggih jika anak-anak di desa tak punya akses pendidikan layak? Mungkin jawabannya bukan memilih antara militer dan kesejahteraan, tapi menemukan cara agar keduanya berjalan bersama.

Saat melihat kerumunan di Whitehall, dengan spanduk “No to Austerity 2.0,” kita diajak merenung: apakah pemerintah mendengar? Starmer mungkin menyebut ini “pilihan sulit,” tapi bagi demonstran, ini adalah pengkhianatan. Mereka tak hanya meminta dana; mereka meminta keadilan, empati, dan prioritas yang manusiawi. Di London, Jakarta, atau mana pun, pertanyaan ini tetap relevan: jika rakyat bukan prioritas, lalu apa yang diperjuangkan sebuah negara?

Sumber:

https://www.rt.com/news/618793-welfare-not-warfare-london-rally/

https://www.theguardian.com/business/2025/jun/07/anti-austerity-march-london-labour-starmer-cuts

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *