Connect with us

Opini

Rakyat Melawan, Pemerintah Menyambut Normalisasi Israel

Published

on

Hampir delapan dekade sejak tanah Palestina dijajah dan dijarah, dunia Arab rupanya masih menolak lupa. Atau, setidaknya, rakyatnya. Sebab laporan terbaru dari Arab Barometer menunjukkan hal yang sebenarnya sudah lama diketahui—tapi selalu dicemaskan untuk diakui secara lantang—bahwa mayoritas warga negara-negara Arab menolak normalisasi hubungan dengan zionis. Dan yang paling menarik: penolakan ini bukannya melemah, tapi justru kian menguat setelah 7 Oktober 2023, hari di mana Gaza kembali menjadi neraka dunia. Ketika banyak elit Arab justru memeluk penjajah, rakyat mereka menyalakan api perlawanan dari puing dan luka.

Survei Arab Barometer gelombang kedelapan yang dilakukan dari September 2023 hingga Juli 2024, menjadi potret kolektif sebuah perasaan yang tak lagi bisa disangkal. Di delapan negara yang disurvei—dari Irak, Yordania, hingga Maroko—tak satu pun yang mencatat dukungan terhadap normalisasi dengan zionis lebih dari 13%. Coba bayangkan: delapan negara, ratusan juta jiwa, dan hanya sedikit persen yang bersedia menyapa penjajah dengan tangan terbuka. Yang lain? Mereka tahu, tak ada “normalisasi” yang bisa dilakukan dengan darah yang belum kering.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tapi mari kita beri tepuk tangan kecil—dan agak sumbang—untuk para pemerintah yang dengan penuh semangat tetap meneken kesepakatan dagang dan keamanan dengan negara yang setiap beberapa bulan menambah daftar panjang kejahatan perang. Bukankah itu bentuk “kedaulatan”? Bahwa mereka bisa dengan bebas mengabaikan kehendak rakyatnya demi akses ke teknologi pengawasan, drone mutakhir, dan, tentu saja, dukungan diplomatik dari mereka yang punya kursi veto di PBB. Dalam dunia ini, ternyata menjadi korban sejarah tak cukup. Kita juga harus pura-pura lupa, agar dianggap “beradab.”

Dari Maroko yang dukungannya pada normalisasi jatuh dari 31% menjadi 13%, hingga Yordania yang hanya menyisakan 3% dukungan, grafik penolakan itu menukik seperti moralitas para pendukung normalisasi. Bahkan di Mauritania—negara yang jarang masuk radar geopolitik besar—dukungan tinggal empat persen. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah jeritan sunyi dari masyarakat yang tahu bahwa mengakui zionis sama dengan menginjak-injak luka mereka sendiri. Di tiap kepala yang menjawab “tidak” dalam survei itu, tersimpan sejarah panjang: pengusiran, pembantaian, pendudukan, dan dusta-dusta yang dibungkus dalam bahasa diplomatik.

Dan bukan hanya soal normalisasi. Survei yang sama juga menunjukkan bahwa bagi masyarakat Arab, zionis adalah ancaman nomor wahid. Di Lebanon, 79% menjawab bahwa “Israel” adalah ancaman utama regional. Di Palestina, 63%. Di Mesir, 54%. Angka-angka ini bicara lebih jujur ketimbang para pemimpin yang bersalaman sambil menyeka tinta perjanjian dari jari mereka. Sialnya, generasi muda di beberapa negara malah lebih tumpul dalam membaca bahaya ini. Mungkin karena mereka dijejali konten influencer yang lebih sibuk menata feed Instagram daripada menata masa depan Palestina. Atau mungkin karena sistem pendidikan kita sudah terlalu lama dikuasai oleh teks-teks steril yang takut menyebut kata “penjajahan.”

Tetapi di sisi lain, yang menarik—dan menyentuh, kalau tidak ingin disebut tragis—adalah bagaimana rakyat biasa justru melakukan perlawanan dengan cara yang mereka bisa. Di Yordania, sejak Oktober 2023, rakyat turun ke jalan tiap hari. Pemerintah mereka bahkan menarik duta besar dari Tel Aviv, namun di waktu yang sama membungkam kelompok Islamis dan mempersempit ruang gerak organisasi yang menentang normalisasi. Di Kuwait, protes mungkin dilarang, tapi 84% warganya memboikot perusahaan pro-zionis. Di dunia digital, solidaritas melimpah. Orang-orang biasa, yang tak punya kursi di parlemen atau mikrofon di konferensi, menyumbangkan sedikit gaji mereka untuk Gaza. Mereka menuliskan status Facebook, menyematkan bendera Palestina di bio, atau sekadar bercerita kepada anak-anak mereka tentang tanah yang hilang.

Dan lihatlah bagaimana rakyat mulai menghukum sekutu-sekutu zionis dengan senjata yang sederhana tapi ampuh: ketidaksukaan. AS, Prancis, Inggris—semua mengalami penurunan drastis dalam tingkat penerimaan. Di Maroko, tingkat kepercayaan pada Inggris anjlok 38 poin. Di Mauritania, AS turun 19 poin. Dan siapa yang naik? China. Karena dalam dunia yang makin mirip panggung wayang, siapa yang tidak terlihat ikut membunuh, dianggap kawan. Atau setidaknya, bukan musuh. Dunia sedang bergeser. Polarisasi bukan hanya soal Timur dan Barat, tapi antara mereka yang punya ingatan dan mereka yang memilih amnesia kolektif.

Ada ironi pahit di sini. Normalisasi dilakukan atas nama “masa depan” dan “kemajuan.” Tapi rakyat tahu, tak ada masa depan yang bisa dibangun di atas reruntuhan keadilan. Maka jika pemerintah mereka menandatangani perjanjian damai dengan tangan kanan sambil mengunci mulut rakyat dengan tangan kiri, rakyat akan bicara dengan cara lain. Lewat boikot. Lewat seni. Lewat doa. Lewat gerakan senyap yang pelan tapi mengakar. Seperti akar pohon yang menolak dicabut, walau tanahnya terus digali.

Dan barangkali inilah esensi zaman kita: perlawanan tak lagi hanya milik senjata dan demonstrasi. Ia kini hadir dalam klik, dalam pilihan belanja, dalam sikap terhadap berita yang kita baca dan bagikan. Ketika negara-negara tunduk pada kepentingan geopolitik dan kapital global, masyarakat dunia mulai menciptakan bentuk-bentuk baru dari keadilan yang tak butuh parlemen. Dari boikot di gerai kopi hingga pemutusan kontrak akademik, dunia sedang menguji satu hal: apakah keadilan masih mungkin, tanpa kekuasaan formal.

Kita tahu, suara rakyat tak selalu jadi dasar kebijakan. Tapi sejarah, lebih dari sekali, telah membuktikan bahwa suara rakyat bisa menjadi ombak. Dan ombak tak bisa ditandatangani dalam perjanjian damai.

Jadi ya, pemerintah bisa terus melangkah dalam orbit normalisasi, menyebutnya sebagai “diplomasi strategis” atau “langkah visioner.” Tapi rakyat tahu betul: tak ada yang bisa dinormalisasi dari penjajahan. Dan selama kebenaran itu masih hidup di hati masyarakat, meski dibungkam di podium-podium internasional, Palestina belum kalah.

Bahkan ketika Gaza dibungkam, rakyat dunia mulai bersuara. Bahkan ketika bendera Palestina diturunkan dari gedung pemerintahan, ia dikibarkan dari balkon rumah-rumah biasa, dari dinding mural, dari profil pengguna media sosial. Mungkin, seperti kata seorang aktivis, “kita tidak akan menyelamatkan Palestina esok pagi.” Tapi selama kita tak menyerah hari ini, penjajah takkan pernah bisa tidur dengan tenang.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer