Connect with us

Opini

Rakyat Jerman Berubah: Tekan Israel demi Kemanusiaan Gaza

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk politik global yang seolah tak pernah henti berputar, sebuah fakta menarik muncul dari negeri yang selama ini dikenal sebagai pusat demokrasi dan keseriusan berpolitik—Jerman. Sebuah survei baru mengungkapkan sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja: mayoritas masyarakat Jerman, tepatnya dua pertiga dari mereka yang disurvei, mendukung peningkatan tekanan diplomatik kepada pemerintah Israel terkait tindakan di Jalur Gaza. Di sebuah negara yang secara historis punya ikatan kuat dengan Israel, yang bahkan menjadikan perlindungan Israel sebagai misi moral pasca-Holocaust, suara ini terasa bagaikan musik aneh di telinga para politikus dan pelaku diplomasi tradisional.

Laporan survei yang dilakukan oleh Infratest Dimap Institute untuk ARD ini, pada periode awal Agustus, menyingkap realitas yang mungkin bagi sebagian orang adalah ironi terbesar abad ini. Bahwa dua pertiga warga Jerman setuju bahwa pemerintah mereka harus “memperbesar tekanan” kepada Israel demi perubahan kebijakan di Gaza, sementara 62 persen bahkan menolak gagasan bahwa Jerman punya tanggung jawab khusus kepada Israel melebihi negara lain karena masa lalunya yang kelam. Bayangkan, negeri yang sejak lama menganggap diri sebagai “pelindung moral” Israel, kini mulai mempertanyakan kenapa mereka harus menanggung beban itu sendirian—seolah sejarah adalah sebuah rantai yang kini mulai digeser, bahkan diputuskan oleh rakyat biasa di sudut-sudut kota Berlin, Hamburg, dan Munich.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa yang terjadi di balik perubahan pandangan ini? Apa yang membuat masyarakat Jerman, yang selama ini digambarkan dengan stereotypenya sebagai bangsa yang patuh pada nilai-nilai sejarah dan kesetiaan politik, mulai mendesak pemerintah agar memutar haluan? Jawabannya, sesederhana sekaligus sesakit itu, terletak pada sebuah tragedi kemanusiaan yang kian memburuk. Gaza, yang selama bertahun-tahun dikepung dan menjadi medan pertempuran yang tak kunjung usai, kini menjadi simbol penderitaan anak-anak kelaparan, perempuan kehilangan suami dan anak, dan warga sipil yang nyaris tak berdaya menghadapi kekuatan militer superpower regional. Ribuan nyawa melayang, nyaris separuhnya adalah perempuan dan anak-anak, dan semua itu seolah menjadi bahan tontonan dunia, tanpa aksi nyata yang menggugah kemanusiaan.

Krisis kemanusiaan inilah yang sepertinya memukul kesadaran masyarakat Jerman. Ketika laporan tentang kelaparan anak-anak Gaza, kekurangan obat, dan kematian akibat blokade dan serangan militer berulang kali muncul di layar kaca dan media sosial, tidak mungkin lagi orang-orang bisa berpura-pura bahwa konflik itu hanyalah soal politik dan keamanan. Mereka melihat wajah manusia, bukan sekadar angka atau retorika diplomatik. Di sinilah letak paradoksnya: sebuah negara yang sudah sangat lama menjalin hubungan erat dengan Israel, kini dituntut oleh rakyatnya sendiri untuk mengambil sikap yang lebih “manusiawi,” dan bukan hanya berdasarkan tanggung jawab sejarah.

Namun, perubahan pandangan ini tak semudah sekadar perubahan sikap moral. Pemerintah Jerman, khususnya di bawah Kanselir Friedrich Merz, menemukan dirinya di persimpangan jalan yang rumit. Di satu sisi, ada tekanan keras dari kelompok oposisi, organisasi hak asasi, dan bahkan mitra Uni Eropa untuk menangguhkan ekspor senjata ke Israel—senjata yang selama ini menjadi andalan pertahanan negara Yahudi tersebut. Pada akhirnya, Merz mengumumkan penangguhan izin ekspor senjata yang bisa digunakan di Gaza, sebagai respons atas “keputusan pemerintah Israel memperluas ofensif militer dan menguasai Kota Gaza.” Ini bukan keputusan yang dibuat secara tiba-tiba. Ia adalah jawaban terhadap tekanan publik dan kenyataan di lapangan, sekaligus pertanda adanya ketegangan dalam koalisi pemerintah sendiri.

Ironisnya, keputusan ini justru memicu konflik internal, terutama dengan Christian Social Union (CSU), partai yang dikenal punya hubungan dekat dengan Israel. Mereka merasa dikejutkan karena tak diajak bicara sebelumnya, menambah drama politik yang kadang terasa lebih seru daripada panggung teater. Sementara itu, partai Sosial Demokrat (SPD) yang sejak awal menentang kebijakan militer Israel mendapat angin segar, seolah rakyat Jerman sedang mengirimkan pesan keras: cukup sudah dukungan tanpa syarat, sudah waktunya menegakkan keadilan dan kemanusiaan.

Dari sudut pandang global, ini adalah momen yang patut direnungkan. Jerman, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Eropa dan pemasok senjata kedua terbesar ke Israel setelah Amerika Serikat, mulai menunjukkan sinyal-sinyal perubahan sikap yang tidak bisa dianggap enteng. Dunia menyaksikan dengan seksama bagaimana sebuah negara yang selama ini menjadi benteng dukungan bagi Israel mulai mempertimbangkan ulang perannya. Ini bukan hanya soal senjata, tetapi juga soal legitimasi politik dan moral di mata dunia.

Bagi Israel sendiri, perubahan sikap ini tentu bukan kabar yang menyenangkan. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa salah satu sekutu terdekatnya di Eropa mulai mengerutkan aliran dukungan yang selama ini dianggap begitu stabil. Potensi pembatasan ekspor senjata dan kritik diplomatik yang meningkat dapat melemahkan posisi Israel di kancah internasional. Ini bisa menjadi sinyal bahwa dunia tidak lagi akan menerima narasi satu sisi, dan menuntut Israel untuk membuka ruang dialog dan reformasi kebijakan yang lebih berkeadilan.

Saya sendiri, sebagai orang yang mengamati dinamika ini dari jauh, merasa ada pelajaran besar yang bisa diambil. Bahwa politik tidak pernah bisa sepenuhnya dilepaskan dari moral dan kemanusiaan. Bahwa dukungan tanpa syarat, meski dilandasi sejarah yang berat sekalipun, harus diuji ulang ketika menyangkut nyawa dan penderitaan manusia. Dan yang terpenting, bahwa suara rakyat, sekecil apapun mungkin terdengar, bisa mengguncang bangunan politik yang tampaknya kokoh dan tidak tergoyahkan.

Pada akhirnya, laporan ini adalah cermin bagi kita semua. Bukan hanya untuk Jerman, Israel, atau Palestina, tetapi juga bagi kita yang melihat dari jauh. Sebuah pengingat bahwa di balik kekuatan politik, ekonomi, dan sejarah, ada suara kemanusiaan yang tak boleh diabaikan. Dan mungkin, dengan perubahan pandangan seperti yang terjadi di Jerman, harapan akan dunia yang lebih adil dan manusiawi tidak sepenuhnya sirna, bahkan di tengah reruntuhan konflik yang tampaknya tak berkesudahan. Kita diajak untuk tidak hanya menjadi penonton, tapi juga menjadi bagian dari perubahan, sekecil apapun itu, demi masa depan yang lebih baik.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Ketika Rakyat Melawan Kebijakan Pro-Zionis - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer