Opini
Raja Ampat di Ujung Tanduk Tambang Nikel

Di tengah kemegahan Hotel Pullman, Central Park, Jakarta, pada 3 Juni 2025, empat suara berani mencuri perhatian dalam gelaran Indonesia Critical Minerals Conference & Expo. Tiga aktivis Greenpeace dan seorang perempuan muda Papua membentangkan spanduk kuning bertuliskan, “What’s the true cost of your nickel?” dan “Save Raja Ampat from nickel mining.” Seruan itu bukan sekadar protes, melainkan jeritan nurani yang menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Namun alih-alih didengar, keempatnya justru diseret petugas keamanan dan dibawa ke Polsek Petamburan.
Sebagai penulis, saya merasa terusik. Aksi damai yang menyuarakan kepedulian terhadap alam seharusnya mendapat ruang, bukan represi. Raja Ampat bukan hanya milik Papua; ia adalah pusaka dunia yang kini terancam oleh ekspansi tambang nikel. Di hadapan peristiwa ini, kita tak sedang menyaksikan insiden biasa, melainkan sebuah peringatan atas pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan.
Raja Ampat adalah mahakarya ekologi. Wilayah ini merupakan rumah bagi sekitar 75 persen spesies terumbu karang dunia, lebih dari 1.400 jenis ikan karang, serta sekitar 700 jenis moluska. Di Selat Dampier, pari manta menari dalam arus deras; di rimbunnya hutan, cenderawasih botak — burung endemik Papua — menjadi daya tarik bagi para peneliti dan wisatawan. UNESCO menetapkannya sebagai Global Geopark pada 2023, dan National Geographic memasukkannya dalam daftar 25 destinasi terbaik dunia pada 2024.
Namun di balik pengakuan itu, realitas di lapangan menyimpan ironi. Greenpeace melaporkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah dibuka untuk tambang nikel. Dari 16 izin tambang yang beredar, 13 di antaranya berada di dalam wilayah geopark. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif; ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap ekosistem yang tak tergantikan. Pemerintah yang semestinya menjadi pelindung warisan ini malah membiarkan pelanggaran terang-terangan terhadap UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Yang lebih menyakitkan, semua ini terjadi di tengah potensi ekonomi yang sebenarnya berbasis keberlanjutan. Tahun 2020, sektor ekowisata menyumbang sekitar Rp7 miliar atau 15 persen Pendapatan Asli Daerah. Homestay, pajak kapal wisata, dan kontribusi dari kartu wisata telah menjadi sumber nafkah utama warga lokal. Di Waisai, banyak keluarga bergantung pada kunjungan para pengamat burung yang datang dari berbagai penjuru dunia. Namun, apa yang akan terjadi jika sedimentasi tambang merusak terumbu karang, jika kapal tongkang lalu lalang mencemari laut? Apakah semua itu akan tetap ada, ataukah tinggal kenangan?
Lebih jauh, peristiwa ini menunjukkan betapa lemahnya otonomi daerah dalam menghadapi investasi besar. Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, secara terbuka menyatakan tak memiliki kuasa penuh, sebab wewenang utama berada di tangan pemerintah pusat. Ketimpangan struktural ini menjadikan masyarakat Papua hanya sebagai penonton atas nasib tanah leluhurnya sendiri. Ketika keterlibatan lokal diabaikan, legitimasi pembangunan pun dipertanyakan.
Kita patut bertanya: di mana tanggung jawab negara? UU No. 1/2014 jelas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat. Namun kenyataannya, lima Izin Usaha Pertambangan tetap diberikan. PT Gag Nikel bahkan masih aktif beroperasi. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Mengapa kerusakan ini baru mendapat perhatian setelah Greenpeace menyuarakannya? Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memang menghentikan sementara kegiatan tambang pada 5 Juni 2025, dan Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq menjanjikan langkah hukum. Tetapi tindakan itu terlihat sebagai reaksi terhadap tekanan publik, bukan hasil kesadaran dan prinsip.
Kita memerlukan lebih dari sekadar penghentian sementara. Kita memerlukan pembatalan izin secara permanen, sanksi tegas bagi pejabat yang lalai, dan pembenahan total sistem perizinan yang selama ini rawan disusupi kepentingan.
Pelajaran dari masa lalu seharusnya membuat kita lebih bijak. Ingat kasus Teluk Benoa di Bali: reklamasi akhirnya dibatalkan, tapi hanya setelah perlawanan publik berlangsung bertahun-tahun. Atau ketika kapal pesiar Inggris menabrak terumbu karang Raja Ampat pada 2017 — pemerintah baru bertindak setelah insiden itu mendapat sorotan media internasional. Sampai kapan kita akan terus bersikap reaktif?
Ketika aktivis menyuarakan kritik, aparat malah merespons dengan penahanan. Kiki Taufik dari Greenpeace menegaskan bahwa menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional. Namun, empat aktivis itu tetap dibawa ke kantor polisi dengan alasan “mengganggu jalannya acara.” Meskipun mereka akhirnya dibebaskan, kejadian ini menunjukkan bahwa negara lebih cepat membungkam suara rakyat daripada menindak pelaku perusakan lingkungan.
Raja Ampat adalah alarm, dan ia bukan satu-satunya. Kerusakan lingkungan akibat tambang nikel juga terjadi di Sulawesi, Halmahera, Obi, Wawonii, dan Kabaena. Tahun 2022, ekspor nikel memang menyumbang devisa hingga USD 12,35 miliar. Namun, bisakah angka itu menggantikan laut yang mati, hutan yang lenyap, dan masyarakat yang kehilangan mata pencaharian?
Kini pemerintah menggulirkan wacana pembangunan smelter di Papua. Tetapi jika dilakukan tanpa kajian lingkungan yang menyeluruh dan tanpa pelibatan masyarakat lokal, maka smelter itu hanya akan memperpanjang penderitaan ekologis. Koordinasi lintas kementerian memang sedang dibahas, sebagaimana dikatakan oleh Dirjen Minerba, Teddy Indra Wijaya. Namun, tanpa langkah nyata, publik hanya akan menaruh curiga.
Masalah yang lebih mendasar adalah sistem perizinan kita. Kasus-kasus seperti di Sangihe dan Tanah Laut memperlihatkan bahwa izin bisa keluar tanpa pengawasan ketat. Amdal sering kali hanya formalitas — disusun demi memenuhi syarat, bukan untuk melindungi lingkungan. Inilah akar yang harus dibereskan: tata kelola sumber daya alam yang rapuh dan mudah disusupi kepentingan.
Jika tidak ada reformasi menyeluruh, Raja Ampat akan menjadi satu dari sekian banyak kisah kehilangan. Alam kita tak akan sanggup bertahan di bawah gempuran eksploitasi tanpa kendali. Dan rakyat — khususnya masyarakat adat — akan terus menjadi korban dari pembangunan yang timpang.
Mari kita merenung: dua puluh tahun dari sekarang, apakah pari manta masih akan menari di Selat Dampier? Apakah cenderawasih botak masih berkicau dari balik pohon-pohon tinggi? Ataukah semuanya tinggal dalam cerita yang dituturkan dengan getir? Apakah anak-anak di Waisai masih bisa menikmati alam yang lestari, ataukah mereka akan tumbuh di antara ceruk tambang dan udara penuh debu?
Kita tidak bisa menunggu sampai semuanya terlambat. Maka, saya menyerukan:
* Cabut seluruh izin tambang ilegal di Raja Ampat.
* Hukum tegas pejabat yang gagal menjalankan amanahnya.
* Libatkan masyarakat Papua dalam setiap proses pengambilan keputusan.
* Lakukan reformasi menyeluruh atas sistem perizinan dan pengawasan lingkungan.
Raja Ampat adalah cermin dari keindahan Indonesia dan sekaligus ujian atas keseriusan kita melindunginya. Jika kita gagal menjaganya, maka kita telah gagal sebagai bangsa.
Inilah panggilan bagi semua — rakyat, aktivis, media, dan pemangku kebijakan — untuk tidak lagi menutup mata. Pemerintah harus belajar dari luka-luka masa lalu. Kita membutuhkan sistem yang melindungi sebelum bencana terjadi, bukan sekadar menanggapi setelah semuanya terlambat.
Jika Raja Ampat hilang, apa lagi yang tersisa untuk diwariskan?
Sumber:
- https://www.tempo.co/hukum/kronologi-penangkapan-aktivis-greenpeace-di-acara-konferensi-nikel-1642897
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4g24kk3nm8o
- https://www.tempo.co/hukum/dampak-tambang-nikel-di-raja-ampat-versi-greenpeace-1654703
Pingback: Pulau Gag: Tambang Nikel Ancam Warisan Raja Ampat - vichara.id