Opini
Raja Ampat: Antara Tambang dan Dogma

“Raja Ampat bukan tanda kosong!” Seruan itu menggema lantang dalam diskusi publik Rosi di Kompas TV, 12 Juni 2025. Kalimat ini bukan sekadar retorika; ia lahir dari kemarahan kolektif atas eksploitasi tambang nikel yang mengancam salah satu permata terakhir laut Indonesia. Di tengah gempuran kepentingan industri, pemerintah memang telah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat karena melanggar ketentuan. Namun, PT Gag Nickel tetap beroperasi, seakan-akan hukum hanyalah formalitas tanpa daya paksa. Langkah setengah hati ini memunculkan kegelisahan mendalam: ketika urusan lingkungan, yang sejatinya berkaitan langsung dengan kehidupan dan keadilan, justru terancam oleh dogma agama yang dibawa oleh sebagian ormas ke dalam ranah kebijakan publik.
Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata yang memikat dunia dengan terumbu karangnya yang megah. Ia adalah rumah bagi masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari laut. Kini, rumah itu terancam. Logam berat seperti arsenik dan merkuri menyusup ke dalam tanah dan air, merusak ekosistem dan meracuni kehidupan. Iqbal Damanik dari Greenpeace mengungkapkan bahwa di berbagai pulau kecil seperti Wawonii, Kabaena, dan Weda, tubuh warga telah tercemar limbah tambang. Anak-anak tak lagi bebas bermain di pantai, udara penuh polusi, dan air bersih menjadi kemewahan. Padahal, Peraturan Menteri KKP No. 53 Tahun 2020 dengan tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 100 km², termasuk Pulau Gag. Pertanyaannya: mengapa PT Gag masih dibiarkan beroperasi?
Dalam diskusi yang sama, Ulil Abshar Abdalla dari PBNU menyampaikan pandangan berbeda. Menurutnya, tambang adalah jalan menuju kemajuan: listrik menyala, anak-anak bisa sekolah, dan perekonomian bergerak. Pandangan ini tentu sah dalam alam demokrasi. Namun, ketika narasi tersebut mulai menyematkan label seperti “wahabisme lingkungan” atau “fear mongering” kepada para aktivis, maka diskursus menjadi kabur. Istilah-istilah bernuansa keagamaan itu tak lagi sekadar kritik, melainkan bisa menjelma menjadi alat polarisasi sosial. Apalagi ketika yang mengucapkannya mewakili ormas besar yang menerima konsesi tambang. Tuduhan lama terhadap aktivis lingkungan sebagai “agen asing” kini berlipat ganda: mereka juga dianggap menentang nilai-nilai suci.
Kekhawatiran ini bukan paranoia. Di negeri dengan sensitivitas tinggi terhadap simbol dan narasi keagamaan, pelabelan seperti itu bisa berujung pada delegitimasi moral. Aktivis lingkungan tiba-tiba menjadi “anti-agama,” bukan hanya “anti-pembangunan.” Beban ganda ini menjadikan perjuangan mereka semakin berat—berhadapan tidak hanya dengan perusahaan atau negara, tapi juga dengan otoritas moral yang membalut kepentingan tambang dalam jubah agama.
Di sinilah bahaya terbesar muncul. Ketika perdebatan lingkungan keluar dari ranah data dan sains, dan masuk ke medan pertarungan dogma, maka ruang diskusi rasional menyempit. Padahal data sangat jelas. Kementerian Kehutanan mencatat deforestasi Indonesia telah melampaui batas yang disepakati. Krisis iklim tengah berlangsung—pulau-pulau kecil di Pasifik tenggelam, banjir rob semakin rutin merendam wilayah pesisir, dan kebakaran hutan menyapu Kalimantan Tengah. Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan bahwa pertambangan adalah “abnormally dangerous activity.” Ini bukan opini, tapi hukum.
Namun, dalam diskusi yang sarat simbol, aktivisme justru dicurigai sebagai penghambat kemajuan. Ulil menyebut penolakan terhadap tambang sebagai “narasi jahat.” Padahal, cadangan nikel yang menjadi alasan utama pertambangan ini diprediksi oleh Kementerian ESDM akan habis pada 2050. Maka, apa yang sebenarnya kita kejar? Kemajuan atau kerusakan permanen?
Kutukan sumber daya alam seolah menjadi ironi abadi bagi Indonesia. Lihat Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat—wilayah kaya sumber daya namun tetap dililit kemiskinan struktural. Di Morowali, hilirisasi nikel tak serta merta meningkatkan kesejahteraan warga. Data Bappenas menunjukkan banyak warga lingkar tambang hidup dalam lumpur, tanpa air bersih, dan ironisnya, tanpa listrik di atas tanah batu bara. Seorang nelayan di Raja Ampat, dikutip oleh Mongabay (2023), dengan getir berkata, “Laut kami rusak, ikan hilang, kami nelayan mau makan apa?”
Di sinilah pertanyaan etis kembali muncul: ketika ormas keagamaan seperti PBNU ikut masuk ke bisnis tambang, bagaimana kita bisa memisahkan argumen ekonomi dari bias kekuasaan? Dogma keagamaan bisa meminggirkan suara-suara kritis, bahkan menafikan dampak lingkungan yang kasatmata. Padahal, konstitusi menjamin hak atas lingkungan hidup yang layak. Iqbal menekankan bahwa ini soal tanggung jawab lintas generasi. Kita sedang membicarakan hak anak-anak atas udara bersih, air yang aman, dan masa depan yang bisa mereka bangun.
Krisis iklim bukan fiksi ilmiah. Ia nyata. Pulau-pulau tenggelam, banjir di Demak merendam kampung Timbulsloko selama berbulan-bulan, dan ribuan jiwa menjadi korban kabut asap kebakaran hutan setiap tahun. Ini bukan “menakut-nakuti,” tapi peringatan berdasarkan data. Ketika dogma mengaburkan kenyataan, maka akal sehat kita ikut tenggelam.
Namun di tengah kegelisahan itu, secercah harapan tetap bersinar. Gerakan #SaveRajaAmpat telah memaksa pemerintah mencabut empat IUP. Ini bukti bahwa tekanan publik mampu memengaruhi kebijakan. Acara seperti Rosi yang memberi ruang pada aktivis seperti Iqbal menjadi oase di tengah padang gurun polarisasi. Tapi perjuangan belum selesai. Jika dogma terus digunakan untuk membungkam suara lingkungan, maka para aktivis harus semakin strategis—mengandalkan data, memperluas koalisi dengan masyarakat adat, dan menggandeng tokoh-tokoh lokal yang memiliki kepercayaan di komunitasnya.
Mengapa kita masih terjebak dalam dikotomi palsu antara pembangunan dan perlindungan lingkungan? Negara seperti Indonesia, yang kaya akan energi alternatif—matahari, angin, dan laut—seharusnya tak perlu menukar bentang alamnya demi setumpuk nikel. Negara-negara Eropa yang telah lebih dahulu beralih ke energi terbarukan pun terus menghadapi tantangan. Namun mereka memilih jalan itu demi keberlanjutan. Mengapa kita tidak?
Dogma yang digunakan sebagian ormas bukan hanya soal pilihan kata, melainkan soal kekuasaan dan kontrol atas narasi. Ketika PBNU secara terbuka mengakui menerima konsesi tambang, maka batas antara kepentingan publik dan privat menjadi kabur. Data JATAM (2025) mencatat bahwa tambang nikel di Raja Ampat telah menyebabkan sedimentasi dan deforestasi besar-besaran, mengancam habitat laut yang rapuh. Di sisi lain, indeks pembangunan manusia di wilayah tambang tetap rendah, menandakan bahwa “kemajuan” yang dijanjikan tak kunjung menyentuh rakyat.
Solusi tetap ada. Aktivis seperti Iqbal menyerukan transisi menuju ekonomi non-ekstraktif: dari tambang ke manufaktur, dari kerusakan ke keberlanjutan. Riset Greenpeace (2023) bahkan memperkirakan bahwa pergeseran ke industri hijau dapat menggandakan GDP nasional dalam satu dekade. Ini bukan angan-angan, tapi strategi yang bisa dirancang dan dijalankan. Kita memiliki potensi energi bersih yang belum tergarap maksimal. Lalu mengapa kita masih memilih jalan usang yang hanya menyisakan kerusakan?
Krisis iklim tidak sedang menunggu. Ia sudah mengetuk pintu rumah kita. Banjir yang melanda Pantura, kebakaran yang melalap hutan Kalimantan, dan tambang yang mengancam pulau-pulau kecil hanyalah awal dari eskalasi. Paris Agreement menargetkan suhu bumi tak naik melebihi 1,5 derajat Celsius, namun deforestasi kita justru meningkat. Jika narasi dogma terus membungkus isu ini, maka kita sedang melangkah mundur dari masa depan yang lestari.
Akhirnya, dari tambang menuju dogma, kita dipaksa merenung: apakah bumi ini akan kita keruk habis demi kenyamanan sesaat, atau kita rawat untuk warisan anak cucu? Narasi agama yang digunakan untuk membenarkan tambang harus dikaji ulang. Jeritan laut Raja Ampat, tangis nelayan yang kehilangan penghidupan, jangan sampai ditenggelamkan oleh perdebatan yang menyesatkan. Ini bukan sekadar isu lingkungan—ini soal keadilan. Dan keadilan, seharusnya, tidak berpihak pada mereka yang paling kuat, tapi pada mereka yang paling terdampak.
Jika kita tak berani berkata jujur hari ini, mungkin nanti hanya kartu pos yang tersisa—bergambar laut biru Raja Ampat yang telah tiada, menjadi simbol hening dari suara-suara yang tak pernah didengar.
Sumber: Diskusi Rosi Kompas TV, 12 Juni 2025; pernyataan Iqbal Damanik (Greenpeace) dan Ulil Absar Abdala (PBNU); Peraturan Menteri KKP No. 53/2020; keputusan Mahkamah Konstitusi; Paris Agreement; data Kementerian ESDM; kutipan warga Raja Ampat dari Mongabay (2023); riset Greenpeace (2023); data JATAM (2025).