Connect with us

Opini

Puzzle yang Hilang di Balik Rencana Gaza–Indonesia

Published

on

Ada cerita yang berjalan di atas panggung dengan pencahayaan megah, tapi di belakang tirai ada bayangan yang tak mau keluar. Kita disuguhi narasi bahwa Indonesia akan membawa seribu warga Gaza ke Pulau Galang untuk “perawatan”. Kata itu diulang, seakan menjadi mantra yang menenangkan, menghapus tanda tanya di kepala. Tapi justru di sanalah letak kegelisahannya: ada satu kepingan cerita yang hilang. Potongan penting yang, entah sengaja atau tidak, tak disampaikan.

Saya tak bicara soal niat baik. Saya percaya, niat awal mungkin murni: menyelamatkan nyawa, memberi pengobatan, meredakan penderitaan. Namun kebaikan yang berjalan di medan politik tak pernah steril. Selalu ada persyaratan, pintu rahasia, dan ruang negosiasi yang tak semua orang boleh masuk. Dan di sinilah absurditas itu menganga: Gaza adalah wilayah terkepung, di mana sebutir obat pun tak bisa masuk tanpa restu Israel. Lalu bagaimana bisa seribu manusia keluar?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya tidak pernah muncul gamblang. Apakah pemerintah sudah bicara dengan Israel? Kalau iya, mengapa tidak diumumkan? Kalau tidak, apakah kita sedang memamerkan janji yang secara logistik mustahil dilakukan? Kita semua tahu, bahkan kargo bantuan kemanusiaan sering tertahan berminggu-minggu di perbatasan. Jadi, mengevakuasi orang-orang ke Indonesia tanpa izin pihak yang memblokade? Seperti mencoba mengambil ikan dari akuarium yang dikunci rapat—kecuali si pemilik memberikan kunci itu sendiri.

Laporan Times of Israel menambah lapisan keganjilan. Mereka mengklaim ada pembicaraan antara Israel dan Indonesia soal relokasi warga Gaza. Ini bukan kabar kecil. Jika benar, berarti ide membawa seribu orang ini lahir, atau setidaknya tumbuh, dari ruang pembicaraan yang juga dihadiri pihak yang sedang menggempur Gaza. Pemerintah Indonesia bilang ide ini sudah ada sejak April 2025, bahkan sebelum berita Israel itu muncul. Tapi justru di situlah puzzle ini makin rumit. Siapa memulai pembicaraan? Dan mengapa potongan kronologinya tak klop?

Saya rasa publik berhak curiga, karena ada jarak antara cerita resmi dan logika di lapangan. Pemerintah mengatakan mereka akan mengembalikan warga Gaza setelah perawatan. Kedengarannya mulia, tapi sejarah pengungsi Palestina penuh kisah pahit: begitu keluar, pintu pulang nyaris selalu tertutup. Bukan karena mereka menyerah, tapi karena kekuatan yang memblokade memang tidak berniat membiarkan mereka kembali. Lalu, jaminan macam apa yang membuat kita percaya kali ini berbeda?

Bahkan jika ada pernyataan tertulis dari Israel, siapa yang akan menegakkannya? Tanpa mekanisme internasional yang kuat, janji itu tak ubahnya tiket sekali jalan. “Sementara” bisa menjadi permanen, seperti barang titipan yang tak pernah diambil kembali. Di titik ini, kita harus bertanya: apakah Indonesia sedang menyelamatkan nyawa, atau tanpa sadar ikut mengosongkan Gaza dari penduduknya?

Bayangkan analogi sederhana: ada seorang tetangga yang memblokir rumah orang, lalu membiarkan kita membawa penghuni rumah itu dengan janji akan dikembalikan. Apakah kita yakin rumah itu akan tetap utuh saat mereka kembali? Apakah kita yakin tetangga itu akan membuka pintu? Atau lebih buruk, apakah rumah itu masih ada? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak muncul di siaran pers, tapi membisik di kepala siapa pun yang mau berpikir kritis.

Pulau Galang bukan nama asing dalam sejarah pengungsian Indonesia. Pernah menjadi tempat singgah pengungsi Vietnam, lalu rumah darurat bagi pasien Covid-19. Tapi kali ini konteksnya berbeda. Kita berbicara tentang orang-orang yang datang dari zona perang, yang mungkin tidak akan kembali karena bukan mereka yang memegang kunci rumahnya. Menempatkan mereka di Pulau Galang berarti menaruh mereka di ruang tunggu tanpa kepastian. Ruang yang bisa jadi hanya pintu belakang dari sebuah pengusiran besar-besaran.

Kita juga perlu menyadari betapa mahalnya reputasi politik luar negeri. Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu pembela paling lantang bagi Palestina. Langkah yang salah di sini akan menjadi noda yang tak mudah dihapus. Dunia Arab, bahkan masyarakat sipil di negeri ini, bisa melihat kita sebagai negara yang secara tak langsung membantu proyek pemindahan penduduk—walau dibungkus dengan kata “perawatan”. Kata itu memang lembut, tapi tidak cukup untuk menutup luka yang lebih dalam.

Ada jalan lain yang lebih aman secara moral: mengirim tenaga medis dan bantuan ke perbatasan Gaza, bekerja sama dengan Mesir atau Yordania, atau membangun fasilitas di lokasi yang masih terjangkau penduduk. Opsi ini mungkin lebih rumit secara teknis, tapi menjaga prinsip: warga Gaza tetap di tanah mereka, dan Indonesia tetap di pihak yang mempertahankan hak itu. Tapi sayangnya, opsi ini jarang sekali dibicarakan.

Yang membuat situasi ini makin mengusik adalah diamnya pemerintah pada detail-detail paling krusial. Tidak ada penjelasan terbuka tentang jalur diplomasi yang ditempuh. Tidak ada nama pihak ketiga yang menjamin pemulangan. Tidak ada transparansi tentang siapa yang memilih seribu orang itu. Semuanya seperti cerita setengah matang—kita hanya mendapat potongan-potongan yang belum dirangkai menjadi gambar utuh. Dan dalam dunia politik, gambar yang tidak utuh sering berarti ada bagian yang sengaja disembunyikan.

Bisa saja pemerintah merasa ini tak perlu diumbar demi alasan taktis. Tapi di sisi lain, ini menyangkut uang negara, reputasi diplomasi, dan yang terpenting, nasib seribu jiwa. Membiarkan publik hidup dalam kabut informasi hanya akan menambah kecurigaan bahwa kita sedang bermain di papan catur milik orang lain, bukan papan kita sendiri.

Akhirnya, puzzle ini akan tetap mengganggu sampai pemerintah menjawab pertanyaan paling mendasar: apakah evakuasi ini benar-benar murni inisiatif kita, atau bagian dari agenda yang lebih besar? Karena jika ternyata yang kedua, maka Pulau Galang akan dikenang bukan sebagai monumen kemanusiaan, melainkan sebagai penanda sebuah kesalahan strategis—dan moral—yang tidak akan mudah dilupakan. Kita tak butuh jawaban yang indah; kita butuh kebenaran, utuh, tanpa potongan yang hilang.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer