Opini
Pusat Ekonomi Eropa Goyah, Jerman di Ujung Jurang

Bosch, raksasa otomotif dunia, kembali mengumumkan pemangkasan karyawan. Setelah rencana pemecatan 5.500 orang, kini ribuan pekerja lainnya terancam kehilangan pekerjaan. Penyebabnya? Ekonomi global yang melambat, industri otomotif yang terhuyung, dan persaingan ketat dari China. Jerman, yang selama ini dianggap sebagai mesin ekonomi Eropa, mulai tersendat.
Stefan Hartung, CEO Bosch, mengakui tantangan besar yang harus dihadapi perusahannya. Transisi dari mesin bakar ke listrik terjadi lebih lambat dari perkiraan, sementara industri otomotif Jerman harus bertahan di tengah konsumsi yang melemah dan daya beli yang menurun. Ini bukan sekadar masa sulit—banyak yang khawatir ini adalah awal dari perubahan struktural besar yang bisa mengguncang ekonomi Jerman.
Sebagai tulang punggung ekonomi Eropa, kemunduran Jerman menimbulkan pertanyaan: apakah Uni Eropa cukup kuat untuk bertahan, atau justru semakin rapuh? Prancis bergulat dengan demonstrasi buruh, Italia dihantui utang yang menggunung, Spanyol terjebak dalam krisis politik, sementara Inggris telah menarik diri lewat Brexit. Semua berharap Jerman tetap kokoh, tetapi tanda-tanda kerapuhan semakin kentara.
Jika industri otomotif Jerman meredup—Mercedes, BMW, Volkswagen kehilangan pamor—maka citra Eropa sebagai pusat manufaktur global bisa runtuh. Dunia mungkin tak lagi melihat Eropa sebagai pemimpin industri, tetapi sebagai peninggalan kejayaan masa lalu yang menghiasi ensiklopedia bidang otomotif.
Sumber energi menjadi tantangan lain. Keputusan untuk memutus ketergantungan pada gas Rusia setelah perang Ukraina membuat harga energi melonjak. Pabrik-pabrik yang dulu beroperasi tanpa henti kini harus mengkalkulasi ulang biaya listrik sebelum menyalakan mesin produksi. Sementara itu, China semakin agresif menguasai pasar global dengan teknologi inovatif dan harga yang lebih kompetitif. Amerika Serikat pun memanfaatkan situasi dengan menarik perusahaan-perusahaan yang mencari lingkungan bisnis yang lebih menguntungkan.
Di Jerman sendiri, masyarakat mulai merasakan tekanan. Upah stagnan, harga naik, dan kepercayaan terhadap masa depan ekonomi mulai memudar. Populasi yang menua juga menjadi tantangan serius lainnya, dengan kekurangan tenaga kerja terampil yang semakin terasa. Di sisi lain, kebijakan fiskal ketat Uni Eropa membatasi ruang gerak Jerman untuk mengambil langkah cepat dalam menyelamatkan nadi industry mereka.
Namun, permasalahan Jerman tidak hanya bersumber dari luar. Kesalahan kebijakan ekonomi dalam negeri turut memperparah keadaan. Ketergantungan yang terlalu tinggi pada ekspor membuat Jerman sangat rentan terhadap gejolak global. Ketika permintaan melemah di luar negeri, Jerman tidak memiliki pasar domestik yang cukup kuat untuk menyeimbangkan penurunan tersebut. Selain itu, regulasi lingkungan yang semakin ketat juga menambah beban industri, sementara inovasi di bidang energi hijau masih berjalan lambat, seperti kura-kura yang berjalan menyusuri pantai.
Di sisi politik, kepemimpinan yang kurang tegas juga memperburuk keadaan. Para politisi lebih sibuk berdebat tentang transisi energi dan kebijakan pajak daripada mencari solusi konkret bagi industri yang tengah sekarat. Sementara itu, kelompok populis mulai menguasai panggung, menawarkan solusi instan yang sering kali tidak realistis tetapi menarik bagi masyarakat yang frustrasi.
Inilah ujian bagi Eropa bersatu. Jika Jerman tak mampu menyelamatkan dirinya, siapa yang akan menolong? Retorika kebersamaan di Uni Eropa diuji oleh realitas ekonomi yang semakin sulit. Negara-negara anggota lainnya juga menghadapi krisis masing-masing, sehingga solidaritas ekonomi menjadi semakin sulit diterapkan. Bantuan finansial dari Uni Eropa pun mungkin tidak cukup untuk menyelamatkan Jerman jika fundamental ekonominya sendiri tidak diperbaiki.
Jika Jerman jatuh, dampaknya akan terasa jauh lebih luas. Rantai pasokan global bisa terganggu, nilai euro bisa anjlok, dan pasar keuangan bisa bergejolak. Bank-bank besar Eropa yang banyak terpapar utang Jerman juga bisa mengalami kesulitan likuiditas, yang berpotensi memicu krisis keuangan baru. Ini bukan hanya soal Jerman—ini tentang bagaimana dunia menghadapi kemungkinan guncangan pada salah satu pilar ekonomi global.
Saat ini, para pemimpin Eropa tampaknya masih menunggu keajaiban. Namun sejarah menunjukkan bahwa tanpa tindakan konkret dan strategi baru, kejatuhan bisa menjadi kenyataan yang sulit dihindari. Jika Jerman tidak segera bangkit dengan kebijakan yang lebih fleksibel, diversifikasi ekonomi, dan investasi besar-besaran dalam inovasi teknologi, maka Uni Eropa harus bersiap menghadapi masa depan yang jauh lebih suram.
Kondisi ini juga menunjukkan betapa lemahnya sistem ekonomi Eropa yang terlalu mengandalkan satu negara sebagai lokomotif utama. Negara-negara Eropa lainnya harus mulai memikirkan strategi mandiri untuk menghindari efek domino jika Jerman benar-benar terpuruk. Tanpa langkah konkret, Eropa bisa kehilangan relevansinya dalam ekonomi global.
Pusat ekonomi Eropa kini sedang goyah. Pertanyaannya bukan lagi apakah Jerman bisa bertahan, tetapi seberapa besar dampak dari kejatuhannya nanti. Jika langkah antisipatif tidak segera diambil, Eropa bisa kehilangan perannya sebagai pusat kekuatan ekonomi dan hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah global.