Opini
Punya Dana untuk Israel, Tapi Anak-Anak AS Kelaparan

Di negara yang mengklaim sebagai pusat peradaban modern dan pemimpin dunia merdeka, kenyang ternyata bukan hak yang dijamin. Amerika Serikat, negeri dengan ekonomi triliunan dolar dan arsenal militer terbesar di dunia, menyaksikan warganya—terutama anak-anak—berjuang mencari makan. Di county-county miskin seperti Hancock di Georgia atau Holmes di Mississippi, lebih dari 40 persen anak-anak hidup dalam keluarga yang tak tahu apakah esok mereka bisa sarapan. Tak perlu membayangkan Somalia atau Haiti, cukup arahkan pandangan ke selatan Alabama atau tengah-tengah Bronx.
Namun, saat anak-anak itu duduk di dapur kosong, Washington sibuk mengurus satu hal: mengirim uang ke Israel. Bukan satu atau dua juta dlar, tetapi miliaran. Termasuk yang terbaru: $30 juta untuk mendanai Gaza Humanitarian Foundation (GHF), organisasi bantuan yang dikritik luas karena operasinya disebut “militeristik” dan menyebabkan kematian ratusan warga sipil Gaza yang kelaparan.
Ini bukan ironi biasa. Ini adalah jenis ironi yang membuat lidah kelu dan kepala tertunduk. Negara yang memotong program bantuan pangan untuk rakyatnya sendiri justru dengan percaya diri mengirim dana ke zona konflik untuk mendanai model bantuan yang disertai tembakan. Punya dana untuk Israel, tapi tak punya roti untuk anak sendiri.
Masih segar dalam ingatan, pemerintahan Trump tahun ini menandatangani “Big, Beautiful Bill” yang memangkas $230 miliar dari Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP) selama sepuluh tahun ke depan. Sebagai gantinya, warga miskin diwajibkan memenuhi syarat kerja lebih ketat, bahkan hingga usia 64 tahun. Seolah-olah lapar adalah konsekuensi logis dari malas, bukan karena sistem yang timpang.
Padahal, berdasarkan data dari Morning Consult, angka food insecurity di kalangan dewasa AS telah naik dua kali lipat sejak 2021. Pada Mei 2025, 15,6 persen orang dewasa di AS mengaku tidak cukup makan. Dan di kalangan anak-anak? Lebih tragis lagi: sekitar 14 juta anak hidup dalam rumah tangga dengan akses pangan yang tidak pasti. Tapi nyatanya, bukan mereka yang diprioritaskan.
Krisis pangan ini bukan karena kekurangan bahan makanan atau kegagalan panen. Ini bukan bencana alam. Ini murni karena keputusan politik. Ketika anggaran difokuskan untuk menjaga kekuasaan global ketimbang menyelamatkan masa depan anak sendiri, maka jangan heran jika yang tumbuh di Amerika bukan harapan, melainkan ketimpangan yang makin brutal.
Di sisi lain, konflik di Gaza menyisakan tragedi kemanusiaan tak berujung. Sejak perang besar pecah pada 2023, lebih dari 38.000 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Blokade, kelaparan massal, penghancuran infrastruktur, dan pembantaian terbuka telah terjadi di depan mata dunia. Namun alih-alih menguatkan jalur bantuan netral seperti PBB atau UNRWA, Amerika memilih mendanai GHF—organisasi yang bekerja langsung di bawah pengawasan militer Israel.
Menurut laporan Al Jazeera dan sejumlah organisasi kemanusiaan, GHF mendistribusikan makanan lewat “zona kemanusiaan” yang dibentuk Israel. Namun zona ini bukan tempat aman. Warga Gaza yang mendekati truk bantuan justru sering ditembaki. Ratusan orang tewas. Sistem ini oleh Amnesty disebut sebagai “jebakan yang mematikan dengan label bantuan.” Tapi Departemen Luar Negeri AS menyebutnya sebagai terobosan baru.
Pertanyaannya, terobosan untuk siapa?
Jika bantuan adalah alat diplomasi, maka yang terjadi di Gaza adalah bukti bahwa kemanusiaan telah dijadikan senjata. Warga kelaparan dipaksa antre di bawah bayangan senjata. Lalu dunia diminta percaya bahwa ini adalah “inisiatif baru yang inovatif”.
Saat berita tentang dana $30 juta itu dirilis, media AS lebih sibuk menutupi detailnya. Tak banyak pertanyaan soal siapa yang akan diaudit, ke mana uang benar-benar mengalir, dan berapa nyawa yang telah melayang dalam distribusi “bantuan” itu. Tak banyak pula yang bertanya: mengapa anak-anak Amerika harus hidup dari dapur umum, sementara negara mereka membiayai distribusi makanan yang berakhir dengan tembakan?
Di Philadelphia, Share Food Program melaporkan kenaikan permintaan makanan hingga 120 persen dalam tiga tahun. Tapi relawan kelelahan, dan anggaran terus dipangkas. Bank makanan tumbuh lebih cepat daripada bank keuangan. Sementara itu, paket bantuan militer ke Israel terus disahkan dengan mulus di Kongres.
Jelas bahwa dalam peta prioritas Washington, perut anak-anak Gaza dan AS sama-sama tak penting—yang penting adalah peta geopolitik. Mereka yang duduk di Capitol Hill tampaknya lebih tergugah oleh “hak membela diri” sekutu di luar negeri daripada “hak untuk makan” anak sendiri di Alabama.
Dan rakyat AS mulai sadar. Mereka tahu uang pajak mereka mengalir bukan ke sekolah atau dapur umum, tapi ke ladang konflik. Mereka menyaksikan pemerintahan mereka menjanjikan “demokrasi dan stabilitas global” sambil membiarkan rakyatnya sendiri hidup dari kupon makan dan belanja diskonan. Mereka mendengar pidato tentang “nilai-nilai Amerika” sambil memeriksa saldo kartu SNAP yang makin menipis.
Inilah Amerika di 2025: negara adidaya dengan perut keroncongan. Ia punya rudal, satelit, pangkalan militer di lima benua, tapi gagal memberi makan anak-anaknya sendiri. Ia punya dana untuk mendanai kekacauan, tapi tak punya cukup tekad untuk mengatasi kelaparan domestik.
Dan jika seseorang bertanya, “apa yang membuat Amerika besar?”, maka jawabannya sekarang adalah: kemampuannya menutup mata dari tragedi yang terjadi di depan pintunya.
Ironi paling menyakitkan dari semua ini adalah: anak-anak AS kelaparan bukan karena tak ada roti, tapi karena pemerintahnya terlalu sibuk memberi makan perang.
Maka pertanyaan itu tak bisa lagi dihindari:
Apakah ini benar-benar America First, atau Israel First?
Karena dari tiap anggaran, tiap kebijakan, tiap bantuan yang dikirim, jawabannya semakin jelas: bukan perut anak-anak sendiri yang diutamakan, tapi stabilitas sekutu yang terus dibela. Dan sejarah akan mencatat: Amerika bisa mengalahkan musuh-musuhnya, tapi tak pernah cukup peduli untuk menyelamatkan anak-anaknya sendiri dari kelaparan.