Opini
Puing Sanaa: AS, Korban Sipil, dan Bayang Kejahatan Perang

Langit di atas Sanaa bergetar dengan dentuman yang memekakkan telinga, asap membubung dari puing-puing Kota Tua, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO yang kini terluka oleh serangan udara. Di Hodeidah, jeritan warga sipil bergema di pasar yang hancur, korban dari kekuatan tak terlihat di langit. Laporan terbaru mengungkap bahwa serangan udara AS telah merenggut nyawa 107 warga sipil, termasuk anak-anak, dan melukai 223 lainnya, memicu kecaman dari senator AS dan pertanyaan tentang hukum internasional. Namun, di balik data dan puing, ada cerita yang lebih dalam—tentang akuntabilitas, kemanusiaan, dan harga dari kebijakan militer yang mengabaikan nyawa tak berdosa.
Di jantung Yaman, konflik ini bukan sekadar statistik. Kementerian Kesehatan Yaman mencatat bahwa serangan udara AS sejak pertengahan Maret telah menghancurkan kehidupan di daerah padat penduduk seperti Sanaa dan Hodeidah. Pasar di Sanaa, tempat warga berbelanja kebutuhan sehari-hari, kini menjadi kuburan. Pelabuhan Ras Isa, jalur penting untuk bantuan kemanusiaan, lumpuh akibat bombardir. Serangan terhadap Kamaran Island dan Bani Hushaish menunjukkan pola eskalasi militer yang tidak pandang bulu, memperburuk krisis di negara yang sudah dilanda kelaparan dan perang selama satu dekade. Sementara Ansar Allah, target utama AS, tetap teguh, warga sipil menanggung beban terberat dari strategi ini.
Kecaman mulai menggema dari dalam negeri AS sendiri. Tiga senator Demokrat—Chris Van Hollen, Elizabeth Warren, dan Tim Kaine—menulis surat kepada Menteri Pertahanan Pete Hegseth, menuntut penjelasan atas kematian warga sipil. Mereka menyebut sikap pemerintahan Trump sebagai “pengabaian serius terhadap nyawa manusia” dan mempertanyakan kepatuhan terhadap standar AS untuk mitigasi bahaya sipil serta hukum internasional. The Washington Post melaporkan bahwa pemerintahan ini telah mencabut kebijakan era Biden yang dirancang untuk melindungi warga sipil selama operasi militer. Hegseth, seorang veteran dan mantan tokoh Fox News, pernah menulis dalam bukunya, The War on Warriors, bahwa “musuh kita harus mendapat peluru, bukan pengacara,” sebuah pernyataan yang mencerminkan pendekatan agresif yang kini dipertanyakan.
Serangan terhadap Kota Tua Sanaa, dengan bangunan berusia berabad-abad yang kini rusak, menambah lapisan pelanggaran lain. Konvensi Den Haag 1954 melarang penyerangan terhadap situs budaya kecuali dalam keharusan militer yang jelas, namun AS belum memberikan pembenaran yang meyakinkan. Hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, menuntut pembedaan antara kombatan dan warga sipil serta proporsionalitas dalam serangan. Dengan 107 kematian sipil dan kerusakan infrastruktur vital, pertanyaan muncul: apakah manfaat militer dari serangan ini sebanding dengan harga kemanusiaan yang dibayar? Kurangnya transparansi dari Pentagon, yang hanya mengklaim “menyadari laporan” korban sipil, memperdalam skeptisisme tentang komitmen AS terhadap hukum global.
Di sisi lain, Ansar Allah memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat narasi mereka. Pemimpin mereka, Sayyid Abdul-Malik al-Houthi, dalam pidato televisi menyatakan bahwa AS adalah dalang di balik agresi Israel di Gaza dan bahwa serangan di Yaman adalah bagian dari agenda AS-Israel yang mengancam kemanusiaan. Ia memuji ketahanan rakyat Yaman dan operasi militer mereka, seperti serangan Haifa, sebagai bukti kegagalan strategi AS. Al-Houthi juga menyerukan solidaritas Arab untuk mendukung Palestina, menghubungkan perjuangan Yaman dengan isu regional yang lebih luas. Meskipun narasinya memobilisasi dukungan, tindakan Ansar Allah, seperti mengganggu pelayaran di Laut Merah, turut memperpanjang penderitaan warga sipil dengan mengacaukannya rantai pasok global.
Namun, menyalahkan Ansar Allah saja mengabaikan akar masalah. Narasi AS yang menggambarkan mereka sebagai “teroris” yang didukung Iran sering kali menyederhanakan konflik Yaman, mengesampingkan keluhan lokal terhadap intervensi asing dan dampak sanksi ekonomi. Analis Yaman seperti Mohammed Albasha memperingatkan bahwa serangan udara AS justru dapat meningkatkan rekrutmen Ansar Allah, karena kemarahan atas kematian warga sipil memperkuat narasi perlawanan mereka. Data dari PBB menunjukkan bahwa lebih dari 24 juta warga Yaman—80% populasi—membutuhkan bantuan kemanusiaan, dan serangan terhadap infrastruktur seperti pelabuhan hanya memperdalam krisis pangan dan kesehatan. Di tengah kelaparan yang meluas, setiap serangan yang salah sasaran adalah pukulan bagi harapan bertahan hidup.
Pemerintahan Trump tampaknya memprioritaskan tujuan geopolitik—melemahkan kelompok yang didukung Iran dan mendukung sekutu seperti Israel—di atas kewajiban hukum dan kemanusiaan. Pernyataan Hegseth bahwa AS akan mematuhi Konvensi Jenewa tetapi tidak akan “mengutamakan konvensi internasional di atas kepentingan Amerika” mencerminkan pendekatan yang berbahaya. Dengan menghapus langkah-langkah perlindungan sipil era Biden, pemerintahan ini menunjukkan kesediaan untuk menerima “kerusakan kolateral” demi keunggulan militer. Namun, harga dari sikap ini bukan hanya nyawa warga sipil, tetapi juga kredibilitas AS sebagai pemimpin global yang menjunjung supremasi hukum.
Bayang-bayang pelanggaran hukum internasional kini membayangi. Jika serangan ini terbukti disengaja atau bagian dari pola pelanggaran sistematis, tanggung jawab bisa merembet hingga ke puncak rantai komando, termasuk presiden. Meski begitu, AS bukan anggota Mahkamah Pidana Internasional, dan veto di Dewan Keamanan PBB hampir pasti akan melindungi pejabat AS dari penuntutan. Namun, ketidakpatuhan terhadap hukum global dapat memicu kecaman diplomatik, merusak hubungan dengan sekutu, dan memperkuat narasi anti-AS di Timur Tengah. Laporan dari organisasi seperti Amnesty International atau investigasi PBB bisa menjadi alat untuk menyoroti pelanggaran tanpa harus melalui pengadilan.
Lalu, apa jalan ke depan? Investigasi independen oleh badan seperti PBB diperlukan untuk memverifikasi laporan korban sipil dan kerusakan budaya. AS harus menghentikan serangan di daerah padat penduduk dan memprioritaskan bantuan kemanusiaan untuk meringankan penderitaan warga Yaman. Dialog regional yang melibatkan Ansar Allah, Arab Saudi, dan Iran, meskipun sulit, adalah satu-satunya cara untuk meredakan konflik. Tanpa langkah ini, siklus kekerasan akan terus berputar, dengan warga sipil sebagai korban utama. Yaman bukan sekadar medan perang; ia adalah cermin dari kegagalan dunia untuk mengutamakan kemanusiaan di atas ambisi geopolitik.
Di Sanaa, puing-puing Kota Tua berdiri sebagai saksi bisu. Setiap batu yang runtuh, setiap nyawa yang hilang, adalah pengingat bahwa perang tidak hanya menghancurkan tubuh, tetapi juga warisan dan harapan. Dunia tidak bisa terus memalingkan muka. Akuntabilitas harus ditegakkan, bukan hanya untuk menghukum, tetapi untuk memastikan bahwa anak-anak Yaman bisa hidup tanpa bayang-bayang bom. Kemanusiaan menuntut lebih dari sekadar kata-kata; ia menuntut tindakan, keberanian, dan komitmen untuk menempatkan nyawa di atas kekuasaan.